dok. internet |
Semarang, EdukasiOnline -- Akhir-akhir ini banyak mahasiswa semester akhir Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, disibukkan dengan memenuhi kelengkapan prasyarat untuk pendaftaran ujian komperhensif. Banyak dari mereka yang terlihat mondar-mandir untuk melakukan pengecekan sertifikat kepada korektor masing-masing jurusan. Tidak sedikit dari mahasiswa yang mengeluhkan perihal masih diberlakukannya Satuan Kredit Ko-Kurikulum (SKK). Padahal sudah ada Imka dan Toefl sebagai prasyarat untuk ujian komperhensif.
Menurut penjelasan dari Durotul Yatima, mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) semester delapan, dengan adanya SKK tersebut membuatnya kuwalahan, pasalnya ia hanya memiliki SKK yang jumlahnya tak seberapa. Akhirnya Ima begitu sapaan akrabnya, meminta-minta SKK ke teman-temannya. “Adanya SKK sebagai syarat mengikuti ujian komprehensif, saya sendiri merasa kewalahan. Sedangkan SKK yang saya miliki terbatas,” tuturnya.
Dalam penilaian SKK meliputi lima aspek yang harus dipenuhi yaitu aspek bakat dan minat, aspek pengabdian pada masyarakat, aspek keagamaan dan kebangsaan, aspek kepemimpinan dan loyalitas, serta aspek penalaran dan idealisme. Namun, adanya keharusan untuk memenuhi lima aspek tersebut menimbulkan prasangka-prasangka di kalangan mahasiswa jika dipikirkan secara rasional seperti yang dituturkan Ima. "Tak pikir mahasiwa yang aktifpun tidak sampai mempunyai SKK sebanyak itu dengan lima aspek tersebut," pikirnya.
Terkait ketentuan poin, tim redaksi juga menanyakan kepada Fina Hidayatur, mahasiswa dari jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI), yang beberapa waktu lalu mengikuti pembekalan terkait SKK dijurusannya. Menurutnya dalam proses penilaian terdapat beberapa kriteria. Pertama, untuk mendapatkan nilai A maka point yang harus dikumpulkan sebanyak delapan puluh lebih. Kedua, jika pointnya hanya tujuh puluh nilainya B. Terakhir apabila hanya mendapatkan enam puluh poin saja maka nilainya terpaksa C.
Dia pun mengeluhkan dengan rentetan point yang begitu banyaknya. Menurutnya point-point itu perlu dikaji ulang. "Bila perlu aspek-aspeknya dikurangi,"imbuhnya.
Setelah tim redaksi mencoba menanyakan terkait pengaruh SKK pada sistem perpoinan di Ujian Komperhensif. Ternyata tidak semua mahasiswa mengetahui betul fungsi dari tetap diberlakukan SKK tersebut. "Sayapun sebenarnya menanyakan manfaat dari pengumpulan SKK ini untuk apa?" keluhnya perempuan semester delapan.
Perempuan inipun menjelaskan lebih lanjut, kemungkinan-kemungkinan yang coba dihadirkan dalam premis-premis menuju kebenaran. Ima mengatakan "Mungkin saja dengan diberlakukannya SKK ini untuk mendorong mahasiswa untuk lebih aktif dalam seminar-seminar yang ada di kampus maupun luar kampus," jelasnya. Lalu Ima pun mencoba mengkaitkan sisi negatif dari adanya sistem pengumpulan SKK.
Menurut ceritanya tidak sedikit dari teman-teman seangkatannya yang melakukan manipulasi dengan menjadikan sertifikat itu sebagai piala bergilir. "Iya terkadang teman-teman joinan SKK dan nanti dibuat gantian," tuturnya. Menanggapi hal itu Ima merasa bahwa mahasiswa diajari untuk berbohong. Tuturnya lebih lanjut “Itu jika melihat SKK dari segi negatif," imbuhnya.
Harapan dari Ima sendiri untuk mahasiswa apabila SKK tetap diberlakukan, mahasiswa harus banyak mengikuti seminar. "Maka banyak-banyaklah mengikuti seminar-seminar," sarannya. Sedangkan untuk birokrasi Ima menyarankan agar lebih ditekankan lagi kejelasan dari pengumpulan SKK itu untuk apa. "Ataukah hanya untuk menambah poin ketika ujian komperhensif atau ada unsur lain yang menguntungkan dalam jangka waktu panjang bagi mahasiswa," resahnya. (Edu_On/Fat)
Tags
Berita