Pengarang: Soe Tjen Marching
Tebal buku: 256
Penerbit: Ombak
Resensator: Aziz
Afifi
Identitas merupakan sebuah
tawar-menawar dari pribadi, sosial maupun idiologi. Secara tidak langsung dalam
kata “saya” maupun “aku” identitas pada diri seseorang itu muncul. Tidak
berhenti pada tahap itu saja, dalam tahap seperti itu seorang pribadi juga
berusaha dalam merekontruksi sebuah jati diri yang mereka punya, meskipun dalam
tekanan lingkungan yang ada.
Dalam masyarakat tradisional Indonesia
Benedict Anderson mengatakan persepsi orang dibentuk oleh lingkungan luas,
dengan alam serta ruang sekitar. Sehingga orang menggunakan kata “saya” atau
“aku” masih dianganggap individualistik
atau angkuh, karena telah melepaskan diri dari lingkungan luas. Hal ini
terbukti dengan beberapa sejarah Indonesia yang telah terjadi. Seperti dalam
tradisi oral melayu, sang pendongeng atau pencipta lebih suka menggunakan kata
“hamba”. Ini juga ditorehkan dalam beberapa karya sastra yang ada di jawa, bahkan
babad lebih mengagungkan para raja.
Dalam pendekatan pandangan filsafat,
pembentukan identitas ini menurut Levinas manusia memiliki dua unsur yaitu keterpisahan
dan interioritas. Keterpisahan merujuk pada relasi diri kita dan
orang lain, bahwa pada konsep ini manusia sebagai sesuatu yang berbeda satu
dengan yang lain. Sedangkan dalam konsep interioritas manusia cenderung
terikat pada ego atau sang aku. Sehingga manusia lebih nyaman dengan
dirinya sendiri. disinilah lantas kata “aku” atau “saya” muncul dari seseorang.
Identitas inilah yang lantas menjadi
topik menarik dalam bukunya Soe Tjen Marching. Mencoba menelusuri beberapa
karya otobiografi, biografi sampai diary seseorang, Soe Tjen berusaha
mengungkapnya secara gamblang. Namun dalam pembedahannya terkait identitas ini,
Soe Tjen memfokuskan akan budaya partriarki dalam masyarakat kita.
Budaya yang berpandangan bahwa
lelaki selalu di atas wanita ini berlangsung di Indonesia sudah sangat lama.
Tercatat oleh Soe Tjen bahwa budaya ini dipengaruhi dari tiga masa di Indonesia.
Masa pertama yang memberi corak budaya semacam ini adalah kerajaan. Pengaruh
selanjutnya adalah kolonial dan terakhir pada masa orde baru.
Buku ini mencoba mengali hal
tersebut, terutama pada masa Orde Baru, dimana segala pembentukan wanita ideal
didasarkan pada keluarga yang nasionalis atau berdasarkan pahlawan nasional. Konsep
wanita macak, manak, masak ditekankan dalam zaman ini. Konsep inilah
yang menjadi konstruk di masayarakat kita. Sehingga bisa kita temui anggapan,
jika seseorang keluar asas tersebut, maka mempunyai sifat menyimpang. Bentuk
penyimpangan ini seperti ditunjukkan pada beberapa julukan wanita tomboy
dan lain sebagainya.
Selain itu wanita ideal tak dapat
lepas dari segi kemaskulinan. Bahwa tolak ukur wanita yang ideal adalah wanita
yang mampu melaksanakan beberapa konsep tersebut dengan baik dan tidak
neko-neko. Selain itu konsep menjadi ibu, pendidik dan istri terbaik melekat
dengan kuat dalam zaman ini. Hal inilah yang dirangkum dalam panca darma
wanita: istri sebagai pendamping suami, ibu sebagai pendidik dan pendamping
penerus bangsa, pengatur rumah tangga, pekerja penambah hasil keluarga, dan
anggota masyarakat yang berguna.
Bentuk lain yang dihadirkan oleh
budaya patriarki berupa terciptanya jurang pendidikan yang sangat jauh. Seorang
wanita biasanya hanya berhenti pada tahap tertentu saja. pandangan ini tidak
jauh dari konsep macak, manak, masak tadi. Sebaliknya, seorang lelaki bisa
mencapai pendidikan yang setinggi-tingginya dengan anggapan, bahwa seorang
lelaki adalah tulang punggung keluarga.
Pemberontakan
Orde baru menjadi kekuasaan yang
memanipulasi wanita indonesia. Ini berkaitan dengan idiologi dan politik orde
baru yang terpengaruh sistem hirarki orang jawa. Bahwa pemimpin selalu
dijunjung setengah dewa. Sehingga corak inilah yang lantas ditagkap oleh Soe
Tjen, bahwa Soeharto selalu memposisikan dirinya sebagai negara dan pancasila
sehingga tidak dibantah lagi.
Dalam kondisi yang otoriter semacam
itu, peran wanita sangat minim. Bahwa wanita hanya surga nunut neraka katut.
Tapi tidak menutup kemungkinan pemberontakan akan terjadi. Bahkan pada buku ini
memaparkan bahwa terjadi pemberontakan pada diri wanita. Meskipun pada konteks
pemberontakan itu masih secara tersembunyi melalui beberapa buku catatan
harian.
Memang bentuk wacana dari kekuasaan
adalah mempengaruhi sebanyak-banyaknya manusia untuk menjalankan apa yang telah
dirumuskan. Namun jangan dilalikan dalam sisi lain. Bahwa kekuasaan akan
menghadapi setiap individu yang ada. Meskipun hanya berupa bentuk pemberontakan
secara individu, kajian dari buku harian dan otobiografi ini memberi wacana
bentuk dari sejadinya perempuan Indonesia. Sehingga buku ini bisa menjadi
refrensi mahasiswa dan memberi pandangan baru soal sejarah sendiri. Terlebih membantu
membentuk pandangan baru mengenai wanita
Indonesia sendiri.
Tags
Resensi