Desain by: Fahmi as-shidiq |
Malam
itu, aku dengan sengaja menjebak diri sendiri. Terkurung dalam keramaian,
bingar, gigil pendingin ruangan dan asap rokok yang berkelindan menyesakkan
dada. Duduk diam di atas kursi
kayu pahatan di kafe kecil seberang jalan, aku memperhatikan dua orang
ahli masak sigap meracik minuman dan membolak-balik roti diatas pemanggang.
Orang-orang masuk melalui pintu di sebelah kiriku. Semakin malam, semakin
ramai. Semuanya terbahak. Badan mereka bergoyang mengikuti musik. Dalam
keremangan aku bisa melihat jelas berupa-rupa wajah yang ramai ekspresi. Lampu
benderang kuning merah menyorot panggung. Lakon malam itu melompat kesana kemari
dengan mikrofon di tangan. Melolong meneriakan keasyikan mereka, menyaingi lengking
gitar dan gebukan drum yang saling sahut menyahut.
Justru
di tengah hingar bingar itu, aku rasanya lebih bisa berpikir jernih dan tenang.
Menyingkirkan pikiran picik yang sekian lama didoktrin secara paksa dalam otak.
Dalam gelembung kedap bunyi yang kubuat sendiri, suara-suara di kepalakulah
yang menjadi paling riuh. Me-reka angan yang belum sempat ku wujud.
Mengumpulkan keping kenangan yang tercecer diatas lantai pualam yang ku injak
ini.
Tepat
ketika sebuah band indie membawakan salah satu lagu dari grup music Drive , gelas berembun berisi es
jeruk pesananku datang. Kubus-kubus batu es berenang memenuhi sepertiga gelas
kaca itu. Oranye sempurna meski agak masam kurang gula. Mendekati jingga
warnanya, seperti saat ketika datang penghabisan siang kepada malam.
“Selamat
malam sista, ini pesanan nya. Es
jeruk segar special dibuat dengan canda untuk tamu cantik macam sista”, sapa
pramusaji laki-laki berbasa-basi, merayu.
“Terima
kasih sudah bersedia mengantarkan pesanan sista
cantik ini, padahal hanya segelas es jeruk”, balasku dengan tersenyum sembari
memandang wajah pramusaji ini. Lumayan, atau malah terlalu lumayan untuk ukuran
pramusaji yang bekerja di kafe.
“Ah
tak perlu berterima kasih seperti itu. Saya senang dengan pekerjaan ini. Boleh
saya duduk menemani sista, saya lihat
sista seorang diri saja?”, berani
sekali pramusaji ini. Belum lagi ku iyakan perkataanya dia main duduk.
Kucecap
sedikit-sedikit es jeruk ini sambil melirik berdus-dus mie instan di meja-meja
dekat dapur. Berjejer kaleng-kaleng bir disudut
tiap meja. Ditenggak dalam gelak. Perempuan berambut pendek bob dengan
kacamata besar, lelaki botak tinggi berjaket kulit, geng fashionista dengan
dandanan ala model majalah , rombongan bujang di deretan pojok belakang, siswi berseragam
putih abu-abu yang tertawa cekikikan, heran aku kenapa jam segini mereka masih
berkeliaran. Dan beberapa lelaki yang ngotot akan menduduki meja pesanan orang
lain.
“Tamu
disini memang heterogen sista. By the
way, boleh saya mengetahui nama sista?
saya Dika”, ucapannya membuyarkan lamunan sejenak, tangannya minta berjabatan.
Tengoklah pramusaji lelaki ini, aihh terlatih sekali menggarap tamu. Jadi ini
alasannya kenapa kafe pinggir jalan yang tak terlalu besar ini amat terkenal.
Ramai pengunjung, ternyata pegawainya supel dan ramah tamah.
“Ita”,
sahutku tanpa membalas jabat tangannya, dia menarik tangannya dan
manggut-manggut. Ku rasa dia paham kalau aku merasa tak enak dengan sikapnya.
“Ooo
Ita, kamu asli orang sini atau bukan? Kalau saya tebak sepertinya kamu ini anak
perantauan, hehehe”
“Anak
perantauan? Hem, aku disini kuliah. Benar katamu, aku merantau.”
“Ooo
kuliah, jurusan apa Ta?” Banyak tanya
pramusaji ini. Apa dia tidak ada pekerjaan dibelakang.
“Sastra
Indonesia. Kamu sendiri lama bekerja disini Dik? Seberapa menyenangkan
memangnya?”
“Lumayan,
hampir satu tahun. Disini saya banyak mendapat ilmu, banyak kenalan bahkan
banyak masalah, hehehe. Ta, by the way
jurusan kita sama lho”
“Apa?” Antara heran dan kaget aku mendengar jawaban
Dika. Belum aku menanggapi dia sudah nyerocos lagi, memang banyak omong ini si
Dika.
“Iya
Ta, saya kuliah juga jurusan sastra tapi aku cuti satu tahun, semester lima.
Tidak kelihatan seperti mahasiswa memang ya? Kehidupanku sulit Ta, orang tua
bangkrut sedangkan saya masih punya dua adik yang masih sekolah. Sebagai anak
sulung mau tak mau saya harus membantu menyelesaikan masalah”, panjang lebar
Dika bercerita seakan aku ini sahabat lamanya.
“Emm
seperti itu. Dik, kita baru kenal sepuluh menit yang lalu tapi kamu sudah
berceita panjang lebar tentang ini itu. Aku merasa sungkan” Kehabisan kata aku menanggapi omongan Dika.
Tak disangka dia berbeda, aku kira dia anak gaul yang hobi nongkrong ditambah
dia pandai membawa suasana. Ternyata kehidupannya keras.
“Dik, lebih baik kamu melanjutkan pekerjaanmu.
Aku disini sendiri tak apa, terima kasih
sudah mau bercerita kepadaku.” Tambahku, tak enak rasanya mengobrol lama-lama
dengan Dika.
“Wah
iya Ta sampai lupa. Terlalu asik ngobrol dengan kamu si, hehehe. Ya sudah saya
lanjut kerja. Terima kasih sudah mengijinkan saya duduk sebentar disini.
Permisi” Dengan sopan Dika pamit, ku balas dengan senyum dan sedikit anggukan.
Lihatlah,
betapa semua ini adalah hiburan bagi kepala.
Setiap
cecap, isi kepalaku satu demi satu masuk ke dalam gelas. Berenang dalam es jeruk
masam yang tinggal duapertiga.
Semua
orang pasti ingin bahagia. Paling tidak, terlihat bahagia. Tapi kadang
kebahagiaan, seperti pula kebebasan, rupanya memiliki batas lingkar singgungnya
sendiri. Yang bijak selalu bilang, tiadalah bahagia jika untuk itu kita
menyakiti orang. Lihat? Ada batas dimana kebahagiaanmu tidak boleh menjadi
ketidakbahagiaan orang lain. Toleransi serta tenggang rasa. Seperti di buku
cetak PPKn sekolah dasar. Etika bergaul kalau istilahku. Tak boleh sembarang
memang jika ingin damai hidup berdampingan bersama orang lain.
Padahal, kupikir, tak ada kebahagiaan semacam
itu. Kita bisa memilih kebahagiaan macam apa yang kita anggap bahagia. Bebas
saja. Para pecinta berkata bahagia kesayangannya adalah bahagianya meski itu
menyakitkan. Bahagia bagi setiap orang nyata-nyata tak pernah sama. Dua orang
yang memutuskan hidup bersama saja selalu punya definisi bahagia yang berbeda.
Yang satu bahagia bersama yang lain, namun bisa saja ditimpal sebaliknya.
Kebahagiaan seseorang, hampir selalu adalah ketidakbahagiaan bagi orang lain.
Akan selalu ada yang tidak bahagia ketika kamu bahagia. Intinya, kita bisa
bahagia dengan cara kita sendiri tapi sulit membuat orang lain bahagia dengan
cara kita.
Kubus-kubus
es meleleh menjadikan es jeruk dingin dan segar. Gelas kacanya dikeringati
udara yang mengembun mencair memberi jejak pada meja. Harus ada yang hilang
agar yang lain bisa mewujud. Akan selalu ada yang harus meniada demi ada yang
lainnya. Bukankah memang hidup ini selalu seperti itu? Cinta bahkan datangnya
sepaket dengan jatuh. Memiliki pun sama berdampingan dengan kehilangan.
Mencinta lalu membenci, dan tertawa lalu menangis.
Dunia,
memang adalah keutuhan yang berpecah serpih menjadi segala yang berubah wujud
dan tempat saja. Seperti air yang memang sebegitulah sejak dahulunya. Siklus
saja yang membuatnya terlihat berubah, padahal tidak. Segala zat pada akhirnya
hanya saling berubah wujud untuk menyesuaikan dengan yang lainnya. Bergantian.
Bertukaran. Saat ini ada yang harus menguap demi hujan jatuh di tempat lain.
Ada yang harus tak bahagia demi bahagia yang lain. Hanya ada satu zat, dan
itulah yang dapat bergantian.
Batas-batas ada agar kita tahu segalanya memang harus ditukar. Sekali lagi,
segalanya berdampingan.
Sesap
terakhir mengembalikan isi pikiranku ke kepala. Tertinggal sepersekian cairan
oranye masam dingin dalam gelas. Aku berterima kasih untuk malam itu kepada
entah siapa. Mungkin pada kursi yang kududuki, pada lantai pualam kelabu yang
kupijak, pada remang cahaya diruang ini. Kutitipkan lewat beberapa lembar uang
dan senyum tulus kepada perempuan berambut panjang dengan make-up lengkap
yang menyodorkan bill. Hanya segelas es jeruk pakai bill segala, dasarnya tempat makan cara
kota. Dengan seluruh badan yang kuyakin akan berbau asap rokok padahal aku tak
merokok, kutinggalkan riuh rendah ruangan. Pintu menutup di belakangku. Lelaki
tinggi kurus di depanku membetulkan letak kacamatanya dengan wajah tak kalah
masam dari es jeruk tadi. Aku tersenyum
memohon maaf karena membuatnya lama menunggu dan untungnya dia membalas
senyumku.
Dia
mungkin tak tahu bahwa pikiranku habis berenang dalam segelas es jeruk.
Harusnya ia meminum sepersekian sisanya tadi agar aku tak perlu panjang-panjang
bercerita lagi.
Penulis: Ardyon Steville
Tags
Sastra