doc. Internet |
“Untung saja bulan dan bintang berada di atas yang tak terjangkau tangan manusia. jika tangan manusia mampu menjangkau ludeslah semuanya”
Gambaran itu
merupakan salah satu kutipan dalam buku Dongeng Tentang Kaum Adigang Adigung Adiguna karya Damarurip, dimana menggambarkan keserakahan manusia. Disinilah
akan dibahas mengenai pernyataan sederhana
itu.
Buku yang
berangkat dari
ketertarikan penulis terkait sorotan Ronald Wright atas lukisan dari Paul
Gauguin ‘D’ Ou Venons Nous? Qeu Sommes Nous? Au Allons Nous? Yang
mengupas tuntas pertanyaan terakhir dari Paul Gauguin. Kalimat berbahasa prancis
itu adalah dari mana kita, siapa kita, kemana kita menuju. Penulis
mencari langkah berbeda, dengan meramu ketiga pertanyaan itu sekaligus dan
mengupasnya secara beruntut.
Pengemasan bahasan dalam buku ini
dibuat seperti dialog dengan mendatangkan lawan bicara. Penulis sengaja membuat
buku ini seolah-olah normal atas ke-abnormalannya.
Penulis terinspirasi dari penyakit Schizophrenia, dimana orang yang
mengidap penyakit ini sering berhalusinasi
dengan suara-suara, seolah ada orang yang berbicara. Disinilah lawan bicara
yang dihadirkan adalah sesosok suara yang akan memulai bercerita, “mendogeng”.
Desain Cerita
Dongeng pertama adalah Ikhwal mereka
dan drama yang dimainkan. Dogeng pertama ini cukup menjawab pertanyaan dari
mana kita berasal? Berawal dari sosok suara yang menceritakan legenda seorang
bernama Dakmenang yang tidak puas akan apa yang ia miliki hingga terus-terus
meminta lebih. Keinginannya untuk mendirikan istana, menjadikan ia berbuat
menebang pohon-pohon yang di milikinya selama ini untuk memenuhi
penghidupannya. Setelah ia menebang pohon itu,
baru ia sadari
ternyata terik matahari sangat menyengat lantas
ia tidak lagi
mempunyai bahan
makanan. Akhirnya ia berpikir untuk menanam lagi tumbuh-tumbuhan, akan tetapi
ternyata tanah sudah tak sesubur dulu sebab ia sering membakar potongan kayu
untuk ia makan.
Ia mengeluh meminta hujan untuk
menyuburkan tanahnya kemabali.
Namun, akibat dari seringnya ia membakar kayu-kayu untuk memuaskan perutnya. Ia
tak sadar jika gas dan uap yang ditimbulkan dari pembakaran tersebut
menyebabkan pencemaran udara. Bertambahnya konsentrasi gas di udara menjadikan
panas matahari tersekap diatmosfir bumi. Dan menjadikan keadaan bumi ini
semakin panas.
Itulah awal cerita buku ini yang
membuat tertarik untuk terus dibaca. Sebab penulis benar-benar menggambarkan
keadaan orang-orang milinium ini yang penuh dengan kepongahan dan
keserakahannya. Inilah desain cerita dengan realita sekarang yang sekedar mencari kepuasan. Seperti contoh
meratakan hutan atau ladang pertanian untuk pabrik-pabrik baru yang dikira
lebih menguntungkan dengan memberikan pundi-pundi uang. Lagi-lagi menghamba
pada materi, hinga muncul kata-kata kapitalis.
Penulis mencoba menyeret lebih jauh
pada pembahasan Adigang, Adigung, Adiguna yang bukan lain adalah judul
dari buku ini. Adigang adalah mereka yang mengandalkan kekuatannya. Adigung
bentuk mereka yang mengandalkan kekuasaan dan
Adiguna yakni mereka yang mengandalkan kepandaian. Disini makna dari
ketiga kata tersebut tidak diartikan secara terpisah namun lebih diartikan
menjadi satu kesatuan dengan membaca Adigangadigungadiguna dalam satu
tarikan nafas.
Menurut penulis makna dari adigangadigungadiguna
yakni semua sifat yang timbul, ditunjukkan atau dimiliki sebagai akibat
dari pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat kehidupan. Jadi
kesimpulan pemaknaan tiga kata yang melebur jadi satu itu mengunggul-unggulkan,
mengagung-agungkan, serta menomor satukan manusia di atas makhluk lainnya,
bahkan di atas pelanet bumi sekalipun. Dimulai dari situlah pembahasan mulai
melebar pada sejarah terbentuknya bumi serta kehidupan makhluk-mahluk di
awal-awal sejarah kehidupan dimulai.
Peradaban Baru
Mengenalkah akan teori big bang Yang
dikatakan banyak orang bahwa itulah awal mula terbentuknya bumi, meletusnya gunung
Krakatau dan semua proses kehidupan yang menjadikan pembentukan-pembentukkan
bumi baru. Pun peradaban-peradaban baru yang turut serta menyertai kehidupan
yang terus berkembang. Semua itu dibahas secara rinci dibuku ini sampai
peradaban industri yang sedang kita jalani sekarang.
Peradaban industri diramalkan bahwa
bertitik pada perekonomian, nyaris bebas sama sekali dari aturan-aturan politis
maupun adat. Jadi kalau orang di peradaban industri merujuk pada perdagangan
bebas, itu berarti mereka menginginkan makanan dan kebutuhan hidup dijual
dengan harga yang paling menguntungkan bagi produsen tanpa memperdulikan
kebutuhan orang-orang miskin dan mereka yang kelaparan.
Cukup masuk akal kalau prioritas
ekonomi didahulukan di atas tanggung jawab sosial. lihat saja sekarang,
nyatanya memang benar begitu adanya bukan? Mereka sempoyongan untuk menghidupi
dirinya sendiri mengejar kesejahteraan masing-masing dan akhirnya menghiraukan
keberadaan orang lain. Seperti halnya kata pepatah Yang
miskin semakin miskin yang kaya semakin kaya.
Memasuki peradaban industri ini alam
menjadi sebuah minaitur yang diperebutkan untuk dikuasai dan dimiliki secara
pribadi. Sehingga sah-sah saja jika dieksploitasi, diperkosa untuk menjadi
pelayan pribadi bagi setiap orang. Hal itu terjadi sebab di era sekarang semua sudah terpengaruh
oleh teknologi dalam industri pengerukan sumber daya alam.
Tidak jauh beda bukan cerita kita
dengan cerita Dakmenang? Yang terus-menerus tak puas dan serakah tanpa
mementingkan orang lain. Perlulah berkaca dari cerita Dakmenag sebelum lebih
jauh melukai bumi terutama diri kita sendiri. Penyesalan itu datangnya diakhir. Tidak akan cukup semua ini untuk kita, ketika kita selalu
berfikir “ini teralu sedikit”.
Membaca buku ini, kita seperti dibawa
pada masa depan yang mengerikan akibat ulah dari manusia. Prediksi-prediksi
dari para peneliti dunia dikupas tuntas untuk menghindari bahaya masa depan
yang terjadi, akibat keserakahan manusia. Impian atas bumi merupakan planet ternyaman tidak akan
terwujut, sebelum kita berhasil cara bagaimana merawat dan meruwat planet ini. Selamat membaca.
Judul : Dongeng Tentang Kaum
Adigang Adigung Adiguna
Penulis : Damarurip
Tahun terbit : 2014
Tebal halaman: 559 hlm
Resensator : Riska Muyasaroh
Tags
Resensi