Oleh : M Z Muttaqin
Di balik nama Indonesia tersimpan keberagaman umat sebagai media terwujudnya bangsa yang berwibawa dan kuat, kemajemukan tersebut terbungkus dalam satu istilah yang dikenal sebagai “Bhineka Tunggal Ika”. Istilah itu memberikan stimulus kepada publik untuk mewujudkan rasa tenggang rasa (toleransi) terhadap adanya perbedaan.
Belakangan
ini, suasana Indonesia sempat memanas dimana kasus yang mengarah SARA (penulis
menyebutnya sebagai krisis pluralis) telah banyak menarik partisipasi publik
untuk melakukan aksi radikal dengan dalih ‘penistaan agama’ oleh Gubernur
Jakarta. Menurut dari beberapa sumber, aksi tersebut hanyalah ‘modus’ untuk
menentang model kepemimipinan Ahok yang notabanenya sebagai pemimpin yang tegas,
transparatif, dan profesional, dimana Ia telah banyak memberikan perubahan
terhadap Ibu kota.
Berbagai
langkah di tempuh, mulai dari serangan-serangan melalui media sosial hingga
(yang kita kenal) aksi 212. Sehingga demo yang memakan banyak dukungan dari
aliansi muslim Indonesia, bela Islam, telah berhasil menyeret terdakwah
untuk masuk pada prosesi sidang secara hukum, dan telah memberikan cap negatif
terhadap pencitraannya. Dengan demikian, banyak yang memberikan komentar pedas
terhadap aksinya saat kampanye.
Kerusuhan
yang menjadi sorotan Nasional hingga Internatioal sampai detik ini, telah
banyak media yang masih asyik memberitakannya, dan hal tersebut pada dasarnya
telah menurunkan martabat bangsa (Lebih dalam penulis menganalisa) bahwa
Indonesia saat ini hilang jati dirinya; Bhineka Tunggal Ika. Rasa saling
menghormati terhadap munculnya perbedaan telah luntur seiring banyaknya
kelompok yang menyalahkan (tidak bersikap toleran) terhadap golongan minoritas.
Semangat
bangsa Indonesia yang merdeka tidak luput dari hadirnya keberagaman suku,
agama, ras, dan budaya. Dimana, lebih lanjut, mereka saling gotong royong
menumpas kekejaman penjajah yang pernah meludahi Bangsa ini. Akan
tetapi, realita yang dirasakan oleh kaum minoritas bahwa tidak adanya sikap
toleransi masih diunggul-unggulkan ( sebagai kepentingan) oleh kelompok
mayoritas. Tentunya, hal tersebut mengganggu semangat dan janji untuk mewudjkan
NKRI dengan sebab harus menyalahkan kelompok lain.
Penulis
mengutip pemikiran KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur), Presiden RI tahun 1999-2001,
“Jika kamu
membenci orang karena dia tidak bisa membaca Al-Qur’an, berarti yang kamu
pertuhankan itu bukan Allah, tapi Al-Qur’an.
Jika kamu memusuhi orang yang berbeda Agama dengan kmau, berarti yang kmau
pertuhankan itu bukan Allah, tapi Agama. Jika kmau menjauhi orang yang
melanggar moral, berarti yang kmau pertuhankan bukan Allah, tapi moral.
Pertuhankan Allah, bukan yang lainnya. Dan pembuktian bahwa kamu mempertuhankan
Allah, kamu harus menerima semua makhluk
karena begitulah Allah”
Gagasan yang
Beliau paparkan dimuka publik, sebenarnya, merupakan sebuah pesan sebagai upaya
untuk menghormati berbagai perbedaan yang ada, dan Ia beranggapan bahwa
Indonesia memang ditakdirkan untuk menjadi sebuah Bangsa yang tumbuh dan
berdikari di atas semua golongan. Maka, inilah alasan mengapa penulis
menyantumkan gagasan beliau dalam tulisan ini.
Sebagai Bapak
Pluralis bangsa, Beliau sangat begitu menghormati jalannya keberagaman dan
menjunjung tinggi asas persamaan. Sehingga kala itu, banyak masyarakat
Nusantara yang begitu bangga dengan gagasan-gagasan beliau. Tidak sekali,
beliau tertangkap media yang memberitakan kisahnya dalam menjalin hubungan
(tidak hanya bidang politik) dengan pemuka lintas Agama. Dan semenjak beliau
diberikan amanat untuk memimpin Nusantara, hampir tidak ada peperangan antar
ras atau Agama.
Dan seandainya
(berandai) Guru Bangsa tersebut masih ada hingga sekarang, dapat dipastikan
Indonesia akan minim dengan perselisihan antar suku, kepercayaan, dan budaya. Bagaimana
tidak, Gus Dur, yang pernah menjadi Ketua Umum PKB, meminta kepada
kader-kadernya untuk menerbar rasa tenggang rasa. Dan oleh NU pun, untuk
bersikap moderat atau toleran terhadap perbedaan, khsusunya agama. Dengan
demikian, toleransi adalah upaya serta langkah demi terwujudnya Indonesia yang
kuat.
Gagasan-gagasan
Gus Dur sampai sekarang masih terjaga (banyak yang mengikuti gaya Ia berfikir)
oleh sebagian kelompok. Dan pada intinya, ide-ide Beliau diikuti tidak lain dan
tidak bukan untuk merawat NKRI. Jadi, akan tetap utuh Bangsa ini jika (kita)
sebagai kelompok mayoritas menunjukan rasa tenggang rasa atau toleransi kepada
sebagian kelompok yang lain, mereka hidup berdampingan dan dengan berbeda cara
dalam memerdekakan dirinya untuk keutuhan Nusantara.
Tags
Wacana