Gadis
bertubuh ramping ini termangu
sendirian, duduk beralas pasir pantai Durban. Pikirannya
tengah dipenuhi satu hal. Satu hal yang selalu menjadi sumber kesedihanya.
Tangannya mencengkram pasir dengan kuat. Panas di hatinya mengalir hingga ke
mata, menjadikan
danau di kedua matanya meluap. Banjir. Pipinya
banjir air mata.
"Duhai, Tuhan… aku lelah menjalani takdirMu
yang seperti ini." Bibir mungilnya berkata lirih. Ombak pantai yang
biasanya menggoda gadis ini, seolah ikut berduka. Hening.
***
"Binta, susunya diminum. Jamunya
juga jangan lupa dihabiskan, Sayang."
Tegur Ibu Binta. Yang ditegur hanya diam. Hafal dengan perkataan yang keluar
dari bibir ibunya setiap pukul 10 malam.
Binta, begitulah panggilannya. Nama
yang cantik untuk gadis keturunan Indo-Afrika. Nama yang memiliki makna wanita
yang bersama Tuhan. Kulitnya sawo matang, menurun
dari ayahnya yang mempunyai darah Indonesia. Bibirnya mungil, hidungnya mancung
mirip ibunya. Tingginya 155 cm, kurang ideal jika disandingkan dengan
badannya yang memiliki berat 45 Kg. Sedangkan
rata-rata temannya yang memiliki tinggi seukuran dia,
kurang lebih memiliki berat di atas 55 Kg. Tak ayal jika teman-temannya sering
memanggilnya dengan sebutan lelik (bahasa Afrika yang berarti tidak
cantik).
Tubuh gendut dari seorang wanita
adalah salah satu ukuran kecantikan di bumi Binta berpijak sekarang. Dulu, pada
tahun 1990-an era Post Apartheid, pola
makan memengaruhi kehidupan di Negara Afrika Selatan.
Hal itu membuat sebagian besar kaum pecinta shopping ingin memiliki tubuh langsing nan
ramping. Sayangnya tidak lama setelah itu, wabah HIV/AIDS menjalar di setiap
sendi kehidupan, membuat
pemikiran masyarakat tersebut berubah 180 derajat.
Tubuh ramping justru dikaitkan dengan tubuh yang mengidap berbagai macam
penyakit.
Tak ayal jika ibunya mati-matian melakukan segala cara
agar gadisnya menjadi cantik. Berbagai macam cara telah ditempuh. Mulai dari
membawa Binta ke dokter kecantikan hingga ke dokter tradisional. Solusinya pun
beraneka ragam, mulai dari yang bisa diterima logika dengan makan banyak,
bergizi dan berlemak hingga solusi yang susah diterima
nalar seperti memandikan kudanil.
Hasilnya seperti mencari rembulan di siang hari. Gagal. Binta tidak berubah, badannya masih kurus.
***
"Lelah." Jemari Binta menari di atas layar
ponselnya, diterima satelit Palapa
kemudian tampil di depan layar kode pin yang dituju.
"Kenapa? Seandainya bisa
kuambil lelahmu, biar kumasukkan dalam botol lalu kularung di Tanah Lot agar
hilang dimakan ikan paus." Jawab Nyoman.
"Aku benci hidupku. Aku benci mereka yang selalu
mengejekku. Kenapa pula aku tidak bisa seperti mereka. Kenapa?” Balas Binta seolah tak menghiraukan Nyoman. Sepertinya
malam ini bukan malam yang tepat
untuk mengajak Binta bergurau. Nyoman paham, dan dia menjadi pendengar yang
baik untuk sahabatnya.
“Menangislah jika kau ingin.
Seandainya engkau ada di hadapanku, mungkin aku bisa membantumu lebih banyak.”
Timpal Nyoman prihatin.
Dulu, sebelum Binta tinggal di
daerah Durban, Provinsi Kwazulu-Natal.
Ketika umur Binta masih 10 tahun, keluarga
Binta sempat tinggal sebentar di daerah
Tanjung Nusa Dua,
Bali. Di sana Binta memiliki sahabat
laki-laki bernama Ida Bagus Nyoman, Anak dari karib ayah Binta.
Orang tuanya memberi nama Ida bagus
Nyoman karena mereka berasal dari
golongan pendeta, dan
nyoman yang
berarti anak keempat. Sayang,
Nenek Binta yang merupakan ibu dari ibunya Binta sakit keras. Memaksa keluarga Binta pulang ke Afrika dan bertahan hingga sekarang.
Jarak yang jauh bukan kendala bagi
persahabatan mereka. Terlebih sekarang teknologi sudah canggih. Komunikasi
jarak jauh menjadi lebih cepat, meski masih kalah jika dibandingkan dengan kecepatan cahaya. Dahulu sebelum Black Berry Mesanger (BBM) ramai
digunakan, Nyoman dan Binta berkomunikasi
via e-mail. Namun seiring dengan menjamurnya ponsel android di pasaran, mereka bersepakat
beralih ke BBM.
***
Pukul
05.30 pagi, Durban, Afrika Selatan.
"Bu, Binta malas pergi ke
sekolah."
"Kenapa?" Jawab ibunya
dengan tenang, seolah paham apa yang tengah menggelayuti pikiran Binta.
"Nanti ada pengukuran berat dan
tinggi badan untuk bisa mengikuti kontes Kecantikan.
Aku pasti gagal dengan memalukan, bahkan sebelum tubuh kurusku menaiki
timbangan." Jelas Binta.
Ibunya tersenyum, tangannya membelai
rambut Binta yang sedang makan di
sebelahnya. Lama mata ibu menatap anaknya, tatapan lembut yang
menentramkan. Sudah satu tahun
ini Binta sering merajuk seperti itu.
"Sayang,
kau selalu cantik di hadapan ibu. Tak peduli
berapapun berat badanmu. Pun tak peduli meski kau suka kwyl (mengiler bahasa Afrika) ketika tidur." Ibu Binta
akhirnya bersuara. Dicubitnya hidung anak gadisnya, sedangkan tangannya yang lain memeluk kepala Binta yang
sudah bersandar di dada ibunya.
"Minggu depan ayah mau ke Bali
beberapa hari, dan sepertinya saat itu kau sedang liburan. Bagaimana kalau kau
menemani ayah. Siapa tau di sana ayah kehausan, ingin kau buatkan kopi
Bali." Timpal ayah Binta yang sedari tadi menikmati telur orak arik.
"Apa Yah?
Bali?" Binta
mulai tertarik, mungkin dengan menikmati panorama di sana dan berkopi darat
dengan Nyoman, masalahnya bisa terselesaikan. Setidaknya berkurang satu ons.
"Tidak ada siaran ulang." Goda ayah Binta.
"Binta ikut ya Yah." Suara Binta bersemangat.
"Ada syaratnya," kalimat
ayah menggantung.
"Kalau hanya membuat kopi Bali
kesukaaan ayah, Binta siap 24 jam." Sahut Binta, takut jika
tawaran ayahnya dicabut.
"Hahaha, bukan itu Binta, Kau harus terus
semangat sekolah.
Jangan pernah memikirkan kalimat teman-teman yang berniat menggodamu. Anggap
saja itu wujud perhatian mereka sebagai teman. Bukankah Ibu sudah bilang kamu
itu cantik, seperti Ibumu." Jawab ayah sembari melirik istrinya. Yang dilirik tersenyum dengan pipi
merona.
"Kalau
diganti syarat lain bagaimana Yah?"
Jawab Binta menegosiasi.
"Oh ya sudah kalau kamu tidak
mau ikut, Itu berarti kau tidak akan bertemu Nyoman." Jawab ayah yang
kemudian berpamitan pada Ibu binta dengan mencium keningnya.
Binta akhirnya menerima syarat itu.
Dia langkahkan kaki dengan gontai menuju tempatnya menimba Ilmu. Di jalan, dia
bertemu dengan beberapa gerombol gadis "cantik"
yang meliriknya dengan seribu maksud. Binta yang biasanya kebal, kini
membalas dengan tatapan melotot. Maklum, emosinya sedang menemui klimaks. Gerombolan itu malah bersuara "Jangan dekat-dekat lelik nanti
ketularan penyakitnya." Sambil berlalu pergi.
Binta ingin melepas sepatu, kemudian
melemparkannya ke gerombolan itu. Namun diurungkannya. Dia masih tak
tega melihat kakinya tak ber alas. Pun gerombolan tersebut yang berlari
menjauh.
****
"Ragtig Oningin." Panggil seorang bertubuh gendut dengan rambut warna merah. Si rambut merah tengah memanggil satu per satu nama yang ada di buku
absennya. Pemilik nama kemudian maju, diukurnya berat badan dan tinggi badan serta
gelambir lemak di perutnya.
"150 cm, 50 kg, 2 gelambir lemak di perut.” Si rambut merah
mengerutkan dahi sebentar lalu berteriak “Standar!!"
Binta yang melihat dari jauh memilih
berlari menjauh. Perpustakaan adalah
pelariaannya. Membaca apa saja yang ditangkap matanya. Hari ini kaki-kaki jam
berjalan begitu lambat bagi Binta. Begitu juga 6 hari ke depan. Dia sudah tak
sabar bertemu dengan Nyoman. Hanya Nyoman lah satu-satunya harapan. Jawaban
dari masalahnya.
Afrika
Selatan memiliki iklim yang
serumpun dengan Indonesia.
November adalah awal dari jarum-jarum
bening berguguran
dari langit. Membuat basah sekeliling.
Membasahi pasir pantai Durban. Meski hari ini jarum-jarum bening itu
tidak datang besar-besar dan lebat. Meski tetap keroyokan, jarum-jarum itu
memilih datang lembut dan pelan. Hanya gerimis.
Dari Senin sampai kembali Senin
lagi, Binta tak pernah absen singgah barang sejenak di Pantai yang masuk
kategori 7 pantai terindah di dunia itu.
Pantainya bersih nan jernih, ombak yang sedang
serta keindahan mentarinya membuat Binta tak pernah merasa bosan berlama-lama di sini. Terlebih sekarang, ketika sebuah
harapanya pada Tuhan belum atau bahkan tidak dijawab.
Ditepisnya perasaan-perasaan buruk
itu. Bukankah Tuhan
menjawab setiap pinta? Kupejamkan
mataku untuk memohon kepadamu agar aku menjadi cantik. Setidaknya kau naikkan berat badanku 10 Kg saja.
***
17 November 2014, Tanjung Nusa Dua,
Bali.
“Ping!” Pesan pembuka Binta terkirim kepada Nyoman. Ditunggunya 5 menitan, tetapi
belum juga di R (read/baca) Nyoman. Binta yang tidak sabar ingin segera
bersua dengan Nyoman akhirnya
mengirim pesan BBM lagi.
“Aku tunggu kau satu jam lagi di
sini. Di tebing tempat kita awal bertemu dulu.” Nyoman yang sedang menyiapkan
sesajian untuk Dewa, terkejut membaca BBM Binta.
“Kapan kau ke sini? Sekarang berada di koordinat
mana?” Jawab Nyoman.
“Di tebing Garuda Wisnu Kencana (GWK).” Balas Binta.
“Oke, aku ke sana.” Tutup Nyoman.
Binta menunggu. Kedua sudut bibirnya masih horizontal. Belum mau melawan gravitasi.
Rumah Nyoman yang masih satu kompleks dengan pure Tanah Lot hanya butuh
waktu 47 menit untuk sampai ke GWK.
Sesampai di sana, Nyoman pertajam mata. Disapunya sekeliling, berharap menemukan
Binta.
Dicarinya di taman depan kepala
garuda, di patung kuku dewa Wisnu, di sumber suara musik khas Bali. Nihil.
Akhirnya dia ingat tempat pertama mereka bertemu. Nyoman kemudian lari. Dari
jauh dilihatnya seorang gadis yang tengah duduk sendirian di atas tebing.
Rambutnya hitam tergerai hingga pinggang.
Nyoman berjalan pelan, mendekat. Gadis itu menengok ke belakang, hatinya
terasa ada sesuatu yang tengah mendekat. Gadis itu tersenyum, Nyoman juga.
Nyoman kemudian duduk di samping Binta.
Tiga puluh menit berlalu tanpa kata.
Berdua justru sibuk dengan pikiran yang sama, Nyoman dan Binta bingung
bagaimana memulai percakapan.
“Hai gadis Afrika, sudah terlihat
dewasa ya sekarang.” Akhirnya Nyoman membuka pembicaraan.
“Kau juga.” Binta menjawab datar.
“Sepertinya lelahmu belum dimakan
ikan paus.” Jawab Nyoman menggoda.
Mereka berdua akhirnya tertawa. Di atas tebing, di
bawah mereka tepat
patung jari Dewa Wisnu, serta hamparan rumput hijau. Asri sekali. Berbincang ke
sana ke mari. Hingga akhirnya Binta
mengungkapkan seluruh penatnya. Menangis, Binta
menitikkan air mata di
depan Nyoman.
“Berteriaklah, jam-jam matahari akan
tenggelam pengunjung agak sepi. Mereka lebih memilih ke Kuta Beach atau
Sanur Beach untuk menikmati sunset yang indah.” Nyoman pun berteriak seolah memberi
contoh pada Binta dengan
menyebut huruf vokal a.
“AKU INGIN PERMOHONAN KU KAU JADIKAN
NYATA TUHAN!!!!” Binta berteriak
puas.
“Tenanglah
sahabat, sebentar lagi permohonanmu akan terkabul,” batin Nyoman.
***
Malamnya, Binta dan ayahnya
berkunjung ke rumah Nyoman.
Perbincangan dua keluarga
tersebut terasa seperti kopi Bali yang diseruput ayah Binta. Kental dan gurih. Meski
tidak segurih pikiran Binta sekarang. Benaknya dipenuhi pertanyaan. Kenapa
sedari tadi aku tidak melihat gadis yang bertubuh gemuk? Kenapa kebanyakan dari
mereka justru bertubuh lebih kecil daripada aku?
“Hayo, Binta melamunkan apa?” Sapa
ayah Nyoman.
“Eh anu, kok gadis-gadis di sini
tubuhnya
kurus-kurus. Apa mereka punya banyak penyakit? Eh maksud Binta kenapa di sini
jarang Binta temui Gadis bertubuh gemuk Pade?” jawab Binta.
“Hahaha. Coba kamu browsing sendiri.” Nyoman yang
menjawab. Binta bersungut-sungut.
“Sayang, besok ayah pulang. Kamu
baik-baik ya di sini. Ayah dan ibu sudah bersepakat menitipkanmu pada Pade
Ketut.” Ucap ayah Binta. Binta merajuk, dia kemudian lari ke mobil meminta
pulang ke penginapan.
Sebenarnya Binta bingung harus
bahagia atau sedih. Harus pasrah dengan keputusan orang tua atau memberontak.
Dilupakan sejenak masalahnya dan memilih browsing. Dengan rasa
penasaran, ia mencari jawaban kenapa kebanyakan tubuh gadis di sini kurus.
Binta terkejut dengan hasil browsingnya.
Ternyata definisi “cantik” yang ia telan sekarang berbanding terbalik dari
definisi cantik sesungguhnya. Binta tersenyum bahagia, tak ada lagi Binta yang
menangis karena tidak cantik. Binta cantik kok, batinnya. Binta
terlelap, tak sabar ingin segera memeluk ibunya esok. []
Karya: Rica Dian Pratiwi