Tampaknya kita harus lepas dari kepenatan
berfikir kita. Perihal bagaimana kekisruhan yang dihadirkan oleh beberapa oknum
terkait agama. Perihal bagaimana agama ditunjukkan sebagai bentuk yang
menakutkan, agama sebagai bentuk ‘peperangan’ yang nyata adanya. Juga terkait
nilai baik yang lupa dihadirkan dalam sebuah agama.
Kita harus lari dari segala bentuk
ketakutan itu. Kita tampaknya harus membuat agama baru dan menyertainya dengan
kitab suci, agar ajaran agama itu menjadi kekal. Karena begitulah agama baru
yang dibuat oleh beberapa ormas tampak timbul-tenggelam, sebab mereka melupakan
pengadaan kitab suci yang menjadi pegangan teguh. Mereka hanya menggunakan
bahasa lisan saja yang tak dapat dikutip dan dijadikan tauladan secara nyata.
Saya menduga bentuk inilah yang disadari
oleh Asef Saiful Anwar. Ia mencoba
merefleksikan kekisruhan dan menangkap peristiwa itu dalam bentuk novel.
Mungkin untuk beberapa telinga imajinasi ini akan terasa panas dan liar. Namun
tak ada salahnya kita harus menyimak sebentar ajaran di dalam kitab suci baru Alkudus-nya.
Tiga Ajaran
Seperti halnya kitab suci pada umumnya. Alkudus
memenuhi aspek pengajaran, sejarah dan tentu saja ketauhidan terhadap tuhan. Dalam
aspek pertama bagaimana pengajaran itu ditunjukkan pada pesan moral dan lain
sebagainya, seperti menyayangi sesamanya. Inilah yang ditampilkan dalam surat
pertama dari kitab suci ini. Asef menyebutkan bahwa “sebaik-baiknya manusia
adalah mereka yang mampu menyuburkan ladangnya dengan membaurkan hujan dan
cahaya lalu dengan tekun menanaminya dengan biji-biji yang kelak buahnya
dibagikan kepada sesama (hal.13).”
Sedangkan dalam aspek selanjutnya, pengarang
banyak menunjukkan imajinasinya tentang rosul-rosul dalam kitab ini. Seperti
rekaan adanya manusia pertama Dama dan Waha. Hingga pada bab selanjutnya ia
menyingung beberapa rasulnya sendiri dengan ajaran tersendiri pula. Tentu
cerita ini tidak dihadirkan sama persis sama kitab suci yang sudah ada. Seperti
halnya karya sastra lainnya metafora tetap ada. Menjadi bumbu untuk membantu
sebuah konflik dan klimaks.
Jika dalam Al-Quran kita harus mempercai
Adam dan Hawa sebagaimana kisahnya yang panjang. Dalam kitab suci rekaan ini
kisah teradopsi dalam kisah Dama dan Waha sebagai manusia pertama yang tentu
dengan kisah tersendiri. Memang tokoh ini merupakan tokoh yang sama, tetapi
kisahnya sedikit “dibelokkan” agar mendapat kesan ini adalah kisah fantasi belaka.
Sedangkan aspek ketiga adalah ketauhidan.
Laiknya agama pada umumnya seruan ketauhidan adalah intinya. Agama imajiner bernama ‘Kaib’ dalam kitab ini juga menyerukan hal serupa.
Agama ini juga menganjurkan kita beriman kepada tuhan yang Maha Esa, namun
tidak selalu berada dalam agama yang ada didalam kitab ini. Dalam prespektif
agama ini (red: Kaib) semua agama sama seperti aliran sungai, meskipun
bercabang tetap bermuara pada satu samudra.
Usaha mendamaikan
Seperti yang sudah disinggung diatas,
imajinasi semacam ini seolah sedang memancing di air yang keruh. Apalagi jika
kita melihat latar belakang sekarang ini, orang menjadi beringas karena
kepercayaan tersentuh bisa saja ditafsirkan sebagai ‘penistaan agama’. Namun
kita harus melihat karya ini lebih jauh lagi. Karya ini merupakan bentuk
kejeniusan dari seseorang yang mampu membaca kasus yang telah ada.
Membaca keseluruhan Alkudus saya
menangkap ini adalah bentuk seruan pendamaian diantara kita. Dengan melihat
pada esensi agama yang sebenarnya yaitu melihat nilai baik dalam setiap agama,
bukan menunjukkan wajah marah agama. Sering kadang kita melupakan bahwa ajaran
agama tidak hanya ajaran kepada Tuhan saja melainkan juga kesasama. Begitu pula
dalam agama imajiner (red: Kaib ) ini, yang mencoba memperlihatkan itu kepada
pembaca.
Saya hanya ingin kembali ke awal, kita
harus melepaskan kepenatan kita terhadap kisruh agama dengan membaca Alkudus
sebagai kitab suci imajiner Asef Saiful
Anwar. Mungkin dengan begitu kita akan lebih mudah dalam memahami ajaran agama
yang kita anut sekarang. Hal yang perlu dicatat pula bahwa ini sebuah karya
sastra yang tak luput dari adegan rekaan. Jadi tak perlu sepaneng dan
berpanas hati dalam menanggapi tulisan ini. jadi selamat mebaca dan selamat
mencari sejatinya bagaimana ajaran agama kita.
Judul: Al-Kudus
Penulis: Asef Saeful Anwar
Penerbit: BASABASI
Tahun Terbit: 2017
Tebal: 268
Resensator: Wirdha Ulhayati
Tags
Resensi