Berseterulah
malam, dingin dan aku. Dalam sabda-sabda senja. Dari angin gunung dan aku
manunggal jadi tubuh. Tak ada yang melupakan aku. Karena aku
hidup dari lisan-lisan mereka. Beberapa orang di kaki bukit itu bercerita tak
henti-henti soal kepahlawanan. Ia akan
mendekati rumah-rumah yang bercahaya, begitulah yang
mereka katakan pada beberapa pintu rumah. Begitulah yang ku dengar dari Aleos.
Para pasukan angin yang kunamai sendiri.
Jadi jangan pernah berkedip kala
engkau di sekitar bukit, diatas pedesaan itu. Kau akan melihat cahaya, seolah
titik gelap yang bersatu. Mereka menyalakannya setiap malam. Setiap gerhana dan
setiap gelap berkuasa pada pedesaan itu.
Kalau saja kau berkata: apakah desa itu takut gelap? Apa yang mereka
takutkan? Apa yang mereka khawatirkan, bukankah seharusnya monster-monster
sudah terbawa ke pulau terjauh? Itu memang benar. Tapi begitulah mereka.
Fa-fi-fo-fam.
Angin berdesir dan kau datang. Dalam kedatangan di antara kami. Antara barat
atau timur. Batu-batu. Ranting-ranting. Maka meretak dan engkau sabda-sabda
abadi. Begitulah mantranya. Maka aku akan datang pada mata-mata mereka, meski
seperti bayangan. Dari sisi yang aku kehendaki. Sesuai mantra mereka. Timur
atau barat.
Aleos selalu berkata padaku. “Jika
tuan datang dari padang bukit timur. Akan ada kelahiran. Maka akan kukabarkan pada mereka suara yang
menggembirakan. Suara -suara pesta akan melambung. Dan sebentar lagi tangis
bayi-bayi akan menghiasi kamar-kamar reot mereka.
Jika tuan datang menemui mereka dari
padang barat. Maka sebaliknya. Tangis-tangis anak-anak desa begitu memilukan. Jangan kau ambil ibuku, aku sangat
menyayanginya. Ia satu-satunya orang yang mengajariku menulis, membaca dan
mencuri. Begitulah yang ku dengar dari salah satu anak disana. Dan tak berapa lama
maka pintu-pintu akan berlumur noda merah darah kambing simbul duka. Sebagai
penghinaan akan mu tuan” katanya dengan menundukkan kepalanya dihadapanku
Aku tak mengerti cerita yang selalu
di ceritakan Aleos itu. Ku rasa aku hanya pengen jalan-jalan. Mengusir
kebosananku. Menikmati apa yang belum ku nikmati sebelum aku dibunuh dengan
licik.
***
Aku akan menceritakan padamu soal itu. Aku tak begitu
ingat soal kematianku. Perihal kematianku, Aleos pulalah yang menceritakan itu.
Sebenarnya aku hanya melihat kegelapan, setelah aku merasakan gigil tak
tertahan dan rasa sakit di sekitar ginjalku. Setelah aku melihat cahaya pulalah
aku merasa terjebak pada tubuh yang berbeda. Dalam kaki berkuku tumpul dan
sedikit ringan ketika aku harus meloncat.
Aleos menceritakan dari awal apa perkaranya. Aku
mengingatnya dengan jelas, bahwa kematianku disebabkan oleh gadis cantik yang
selalu ku sebut gulali. Karena ku pikir
dialah orang yang selalu meredam jiwa kekanak-kananku. Aku jatuh cinta padanya
pada gigil, pada alarm-alarm
perang dalam cerita buku-buku paling asing.
Kekasihku itu juga jatuh cinta padaku dengan arogansi
yang berbeda. Aku mencintaimu seperti mu
juga. Kadang juga kubayangkan kau lebih rumit. Kau adalah cahaya-cahaya jauh
yang tak bisa direngkuh oleh beberapa kaumku. Kau adalah esok. Begitulah
kami saling jatuh cinta dan saling memuji. Sebelum kami mulai saling membenci.
Aku sedang memimpin pasukan. Menerobos hutan, batu dan
gigil angin. Dalam kabut-kabut. Dalam cahaya matahari yang serupa lorong-lorong
untuk menembus langit. Tetapi entah mengapa
hari itu benar-benar kudengar dengan sangat gamblang suara-suara parau, jerit
anak kecil dan suara-suara bayi yang kehilangan puting susu ibunya.
Kau tak bisa lakukan ini sebagai hal
kepahlawanan. Karena kau hanya punya dendam. Tidak akan ada perdamaian jika
dendam kau jadikan alas pedangmu. Suara
itu terus menggema. Seolah suara itu menggema melalui beberapa kepala pasukanku
yang bertopi baja. Seolah suara-suara itu mempunyai rumah di kepala mereka.
Aku benar-benar takut. Karena tak ada yang mampu
membendung kata-kata dan isi kepala
mereka. Kecuali kau penggal satu-persatu kepala mereka atau membakar buku-buku
mereka.
Aku benar-benar takut perihal itu. Aku akan mati di
tangan-tangan orang di belakangku. Ketika mereka sudah membicarakanku dengan
begitu rakus. Aku hanya takut. Maka ketika suatu malam datang. Ku curi beberapa
orang dan menyeretnya pergi dari tenda. Lantas membinasakan semua lisan dan
tulisan serta kepala mereka. Kau tak akan
dapat apa-apa dari ini semua, kecuali kau membunuh wanitamu. Ucap salah
satu dari mereka sebelum kehilangan nyawa.
Pada titik itu aku tak mengerti. Aku tak pernah mendengar
penghianatan seorang kekasih. Buku-buku asing yang ku dapatkan bahkan tak
pernah bercerita soal itu. Romeo mati bukan karena Juliet. Pun dengan Qois.
Begitulah yang kudapat.
Aku tak menghiraukan itu. Hingga pada suatu hari,
bawahanku yang selalu bijak mengatakan hal-hal yang aneh, asing. Bahkan aku
menganggapnya ia sedang kerasukan. Tuan
aku tidak kerasukan, ku pikir
tuan harus benar-benar membunuh kekasih tuan. Suaranya tegas dan benar-benar
berwibawa.
Omong kosong macam apa yang baru
saja kau lontarkan. Kekasihku adalah perempuan yang paling setia padaku. Kemaranku memuncak waktu itu. Apa aku juga perlu membunuhmu. Tapi ia
hanya mundur satu langkah. Sembari tertunduk
ala penghormatan ia berkata pasukan kita
sudah mendenguskan kata-kata itu diantara mereka. Mereka saling berbisik soal
tuan. Lebih tepatnya di belakang
tuan. Pasukan akan pecah tuan. Tetap
saja itu hanya omong kosongnya belaka. Pasukan baik-baik saja dan kekasihku
sudah terlalu setia.
Aku bahkan sudah menemuinya setelah perdebatan itu
terjadi. Kekasihku selalu berkata apa
yang kau ragukan? Aku masih untukmu, masih memimpikanmu. Mana mungkin aku
menghianatimu. Ku fikir bagaimana seorang pembunuh dapat semanis itu.
Lupakan! Kegaduhan itu hanya omong kosong saja. Jangan-jangan panglimakulah
yang hendak membunuhku dan merebut semuanya.
Mahaksudku,
ibu, tahta dan kekasihku.
Maka pada malam selanjutnya aku membunuhnya. Mengikatarkan pedang dan
pertanyaan pada lehernya. Aku akan selalu
menjadi panglima tuan. Meskipun aku kau
bunuh. Katanya
begitu.
Mungkin kau akan berfikir itu muslihat saja. Aku
benar-benar membunuhnya. Dan ku gantikan posisinya dengan kawan kekasihku.
Angin gunung turun. Dan lembah-lembah menjadi sunyi.
Kekasihku datang dengan sangat cantik. Berbaju merah. Kenapa kau memakai warna merah? Bukankah kau selalu mengatakan padaku
bahwa merah terlalu berbahaya. Ia menjawab dengan sangat manis: tak apa menenangkanmu sesekali, sebelum kau
benar-benar abadi sampai kelupaanmu datang dan memusnahkanmu juga. Lantas
ia memelukku, sangat erat, hampir-hampir ia remukkan iga-igaku. Dan aku
bertanya serindu itukah engkau?
“Ya...,nanti, untuk waktu yang
sangat lama aku akan merindukanmu. Tanpa menangis dan terisak. Namun rindu
dengan senyuman......”
dalam ucapan dan pelukan itu. Aku merasakan ada sesuatu yang menembus di
sekitar ginjalku. Gigil merasuk dan beberapa angin tiba-tiba membawaku.
Begitulah
kau mati tuan. Kata Aleos
padaku saat itu.
***
Berseterulah
malam, dingin dan aku. Dalam sabda-sabda senja. Dari angin gunung dan aku
manunggal jadi tubuh. Tak ada yang melupakan aku. Karena aku hidup dari
lisan-lisan mereka. Begitulah kisah-kisah itu berlangsung.
Bukit-bukit
tegak. Aleos datang padaku. “Apakah tuan akan pergi ke padang barat?”
“Tidak”
“Kenapa tuan? itu tugas
tuan”
“Tidak Aleos”
“Tuan harus
lakukan itu”
“Tidak Aleos”
Aku
tak punya kata-kata selain itu rasanya. Aleos melangkah satu langkah kebelakang
ala perhormatan dan berkata jika tuan
telah sadar. Maka tuan akan binasa. Katanya sedikit liris.
“Kenapa
orang-orang dalam kampung itu benar-benar mengenalku, Aleos?”
“Merekalah anak
turun kekasih tuan, kekasih tuan begitu merindukan tuan. Tanpa menangis. Maka
ia ceritakan semuanya pada anak-anaknya soal tuan. Tak lama cerita itu menyebar
ke seluruh kota, dan begitulah tuan hidup”
“Apa yang mereka
ceritakan?”
“Segalanya tuan”
***
Entah
mengapa. Setelah rembulan benar-benar penuh aku disana. Padang barat. Untuk
mengejar kupu-kupu. Pada malam itu pulalah malam mulai mencekam. Desa-desa
manusia itu di penuhi dengan tangis dan raungan. Begitu keras. Begitu
memilukan.
Pada
saat yang sama dengan raungan itu pulalah Aleos datang padaku. Dengan kemarahan
tapi tetap sopan “apa yang kau lakukan tuan?”
“Apa?” aku
bingung
“Kenapa kau
berada di padang barat begitu lama?”
“Aku hanya
menikamati angin, tak lebih”
“Kau membunuh anak
kekasihmu tuan, semua tuan”
“Apa yang kau katakan ini,
aku tidak paham?”
“Dengar tuan,
sampai kapan pun aku tetap setia padamu, tapi kau tak boleh sembarang
bertindak, kau akan tetap akan menjadi tuanku”
“Apa yang kau
katakan Aleos?”
“Setelah ku
jelaskan semua kau akan kembali hilang tuan, jadi tidak akan ku jelaskan
untukmu. Paham!”
“Ayolah Aleos.
Aku hanya ingin hidupku digampangkan tanpa pertanyaan tanpa semua teka-teki”
“Baiklah tuan”
suaranya terdengar patuh “jangan pernah menyesal, kau adalah dewa. Dewa kehidupan
dan kematian Jika kau berada pada padang timur orang akan bersukaria sembari
bersukur, akan ada bayi yang dilahirkan dan sebaliknya tuan, jika kau berada
pada padang barat maka kesedihan itu akan melambung disana, kota menjadi
meraung dan terasa begitu pilu”
Tiba-tiba
tubuhku gigil. Sangat gigil. Dan badanku menjadi debu. Terbang. Melintasi
pohon, cahaya dan air mata orang-orang desa.
“Aku akan selalu setia padamu” kembali dan lagi-lagi Aleos
mempertegas dirinya untukku sebagai panglimaku yang kesekian waktu.
Oleh: Aziz Afifi