Ilustrasi: Edu/aziz |
Umur tujuh belas tahun adalah
impian masa kecil semua orang.
Balon, kue tart,
lilin angka satu
dan tujuh adalah mimpi indah
anak korban perang diri sendiri
Umur tujuh belas tahun saatnya
membuat identitas. Kau benci
kantor kependudukan. Disana
rahasia bukan lagi rahasia.
Identitas adalah telanjang cuma–cuma.
Kau tetap ingin merahasiakan dirimu
dari segala rahasia yang tidak pernah
benar–benar ingin menjadi rahasia.
Seperti soal ujian negara.
Umur tujuh belas tahun kau dan aku
mengenakan baju paling bagus dan
menunggu fana diabadikan kefanaan.
Dipotret dan dicetak dalam kertas kecil
persegi panjang bertuliskan perihal–perihal.
Aku dan kau membenci perihal–perihal
sebab pertanyaan–pertanyaan basa basi di halte bus.
Sejak sebelum umur tujuh belas tahun
Kita lebih suka menanti antrean kasir supermarket
yang tidak peduli perihal–perihal. Tidak pernah
bosan berdiri.
2017
Semua cabang di jalan ini berakhir sama
:keabadian yang terlupa
Bertemu: kata kerja yang menunggu kita pakai
Semua cabang jalan menemu temu di satu titik hanya
jalan kita tidak tahu. Denting waktu deras
mengucur dan menderu sendu kian teguh.
Kita bisa bertemu di
awan itu.
Hujan kian bertaji namun aku
terpikir ada keabadian menanti.
Tapi jalan kadang gelap kadang remang kadang terang
Aku ingin selalu terang kadang remang tiada gelap.
Tapi aku suka bermain dengan Tuhan.
Kita takut melihat satu
sama lain dari kejauhan, lagi.
Takut abadi pada pembedaan.
Lika liku luka dan senja mengerubung aku
Jalanku telah jadi derita menghantar abadiku
Tak sempat terucap frasa indah untukMu
Kirim kordinatmu!
Sebelum adidaya sendirimu.
Terlambat. Ku tunggu kau pada yang terlupa.
2017
Hidup bagai di supermarket
Bimbel itu bohong
Kelas gold silver
platinum
Hanya jadi ajang pameran
Kapan aku ke kasir? Membayar semuanya?
Data nilai tersaji
Di atas mangkuk berlukis ayam
Anak–anak suka merengek
Aku takut uangku tidak cukup
Semoga hidup tenang bahagia selalu
Adalah IPK tinggi harapan mahasiswa
Sapardi teman baik Pinurbo
Aku takut jadi tahanan sekuriti
Kawan itu lawan yang tersenyum padamu
Semua larik bukan puisi
Kirimkan aku uang, wahai keluargaku.
2017
Kisah yang lalu kian menepi
masuk kepada ruang abadi
sebagai kenangan esok hari
yang kita ingat dalam puisi
Hari tak bosan dengan wacana
tak bosan dirahasiakannya
hambar dan luka sebab mereka
orang yang mengaku terpercaya
Senja semakin jelas meninggi
satu persatu mereka mati
masuk kepada ruang abadi
Saat tak ada lagi wacana
dunia tidak lagi berada
semua masuk pada tiada
2017
Karena matahari tetap sama
Selalu memancarkan berkas cahayanya
Diantara serak awan lalu menyinariku
Karena angin senantiasa tetap
Selalu menghembus pelan
Menerpa tubuhku yang tegar
Karena langit senantiasa sama
Selalu mewadahi matahari dan angin
Menaungi seluruh yang hidup dibawahnya
Meski aku telah pergi
2017
Karya: A. A
Prayoga Mahasiswa PBI (Pendidikan Bahasa Ingris) 2017
Tags
Puisi