Semarang, EdukasiOnline-- Jambore
Pembaca Mojok telah usai, dan kita sudah pergi ke tempat masing-masing yang dituju.
Akan tetapi, kami putuskan untuk menemui Kepala Suku Mojok, Puthut Eko Ariyanto
(EA) di sela-sela melayani kawan-kawan yang sedang memintanya untuk foto
bersama, tanda tangan atau ngobrol-ngobrol ringan tentang jambore, bukunya dan
obrolan-obrolan lain.
Di sebuah
tempat berbentuk rumah Joglo, samping lapangan Bumi Perkemahan Giri Katon,
Kaliurang, Yogjakarta, kami berbincang. Mulanya, kami membincang tentang
bagaimana perjalanan pendidikannya, kepenulisannya dan tentang Mojok.co.
Namun, padatnya waktu dan banyaknya peserta, membuat wawancara kami sedikit
terganggu. Akhirnya, kami putuskan untuk membuat janjian ulang untuk bertemu nanti
di angkringan Mojok.
Pada 19.20
WIB, 27 Agustus 2017 kami dapat berjumpa lagi di tempat yang kita sudah sepakati
untuk bertemu. “Sudah makan? Aku tak makan dulu ya?,” pintanya. “Iya, mas,“ jawab kami serentak.
Tepat
setelah pertandingan antara Chelsea melawan Everton, kami bisa
berbincang-bincang. Puthut, sapaan akrabnya,bercerita tentang alasan kenapa dia
memilih untuk menjadi penulis. Awalnya, ayah Bisma Kalijaga ini mengaku bingung
setelah lulus dari Jurusan Filsafat di UGM, mau bekerja apa, akhirnya
diputuskan untuk menjadi seorang penulis. Dari sinilah dia mulai berlatih untuk
menulis. “Nggak ada kan pekerjaan filsuf? Ya akhirnya menulis,”
jawabnya.
Laki-laki
lulusan SMP Sale, Rembang ini mengatakan
bahwa sebenarnya sejak dulu dia sudah suka menulis. Bahkan dia mengatakan
tulisannya pertama kali dimuat pada saat dia SMP, “Ketika itu dimuat di koran
lokal, Jayabaya, ada space kecil yang untuk anak-anak,” katanya.
Kebiasaan
membaca buku dan menulis itu akhirnya yang membuat Puthut untuk memutuskan
untuk menulis. “Kebiasaan ini (menulis dan membaca) bukan karena sekolah,
memang dari keluarga sudah membiasakan, karena dulu orang tua guru,”
Baru setelah
lulus kuliah, Karena tidak tahu mau bekerja apa, Puthut memutuskan untuk menjadi
penulis cerpen. Cerpen pertama kali dimuat di Koran Kompas. Meskipun
sesekali juga pernah ditolak. Setelah itu tulisannya mulai bertebaran di
berbagai media. Sudah ratusan lebih cerpen yang telah dibuatnya. “ Mungkin
seratus lima puluhan ya, namun yang bisa di bukukan hanya enam itu ya,”
jelasnya.
Namun sejak
2008, penulis yang mengaku terpengaruh oleh Pramoedya Ananta Toer ini
memutuskan untuk berhenti menulis cerpen, “karena banyak kesibukan, dan rasanya
nggak berkembang, berhenti dulu. Sekarang lebih sibuk di penelitian daripada
nulis fiksi,” jelasnya.
“Kalau
pengaruh sebagai, apa ya, kesetiaan atau orang berkarya Pram ya, kalau bentuk
sih aku dulu belajar hampir semua cerpenis Indonesia, aku pelajari cara mereka
menulis, Seno, Iwan Simatupang, Budi Darma Umar Kayam. Hampir semua karya
mereka aku pelajari,”
Selain dari
penulis Indonesia, Puthut juga menyukai penulis luar Indonesia, O’ Henry. Dia
mengaku menyukainya karena tulisannya pendek-pendek. Hanya beberapa paragraf
saja karyanya. Kemudian saat ditanya, mengapa kebanyakan
cerpennya banyak membincang soal hubungan antar kekasih, apakah hal tersebut
merupakan pengalaman pribadi, penulis ini mengatakan bahwa tidak ada
hubungannya fiksi dengan pengalaman pribadi. “Kenapa ya fiksi selalu
dihubungkan dengan hal tersebut (pengalaman pribadi) dengan karya,” tanyanya
kemudian.
“Fiksi itu
punya jagadnya sendiri, dia tidak, mungkin adalah pandangan orang pendapat
orang, tapi tidak mungkin dia disusun menjadi sebuah fiksi, rasanya tidak
mungkin. Bahwa itu menjadi komponen triger untuk menulis, tapi itu sebuah dunia
yang sendiri, tidak bisa dilibatkan pengalaman pribadi menjadi komponen
satu-satunya penyusun fiksi ya,” kata penulis Mengantar Dari Luar Ini,
dia juga melanjutkan, “Fiksi sendiri itu harus disodorkan sebagai karya. Bukan
hal yang lain.”
Saat
disinggung perbedaan era sekarang dengan dulu. Ketika tulisan itu di tampilkan.
Antara media cetak dan online. Bagi Puthut, keduanya istimewa asal keduanya
dikurasi. “Berarti ada orang yang memutuskan tentang kelayakan karya. Entah
pertimbangan apapun. Setidaknya itu melalui proses kurasi, jadi bukan karena
kita sendiri yang memutuskan.”
Kemudian di
era digital cerpen itu bentuknya bisa lebih kreatif, karena perkembangan cerpen
ini di tolong oleh media cetak. Sejak dulu media di hari Minggu menyediakan
rubrik untuk cerpen. Namun kelemahannya, ketika di media cetak di batasi.
Sedangkan di digital, karyanya bisa dibebaskan. Dengan kebebasan itu, akhrinya
penulis sekarang lebih kreatif dan canggih.
Mojok.Co
dan Pembaca
Mojok.co sebuah situs web online yang
menyajikan tulisan-tulisan segar dengan slogannya Sedikit Nakal Banyak
Akalnya. Di dirikan pada 28 Agustus 2014 oleh salah satunya Puthut EA. Mojok.co
sempat ditutup karena modalnya sudah habis. Selang beberapa bulan Mojok.co
kembali hadir dengan wajah dan pengelolaan yang baru.
Awalnya
Puthut memiliki perusahaan media sosial marketing, kemudian orang-orang yang
berada di perusahaan inilah yang menggodok mengenai konsep media digital baru.
Dan memang sudah setiap hari bertemu.
Tidak mengumpulkan kembali.
“Mojok
sendiri meniru dari website Malesbanget.com yang basisnya di Jakarta,”
aku penulis buku Para Bajingan yang Menyenangkan ini. Dari Malesbanget.com
inilah Puthut bersama kawan-kawannya mulai mengkonsepkan media yang akan
dibuat. Selama kurang lebih dua mingguan, kemudian disepakati menjadi sebuah
media digital bernama Mojok.co.
Kemudian
dari Malesbanget.com ini, Puthut dkk mulai melakukan diferensiasai.
Perbedaannya adalah pertama, Malesbanget.com lebih kepada guyonan anak
Jakarta, kemudian kedua, website tersebut tidak ingin bersinggungan dengan
sosial dan politik. Di Mojok dibedakan dengan lebih kepada guyonan lokal daerah
dan berani bersinggungan dengan sosial dan politik.
Akhirnya
pada 28 Agustus 2014 lahirlah media digital baru bernama Mojok.co.
Meskipun sempat tutup pada 28 maret 2017 selama beberapa bulan, disebabkan
modalnya yang sudah habis.” Kalau di kami penulis dapat honorarium. Nah dari
sinilah kemudian modal tersebut habis.” Meskipun sebenarnya kata Puthut,
honorarium dalam website tidak begitu penting, “Kalau tulisan bagus ya bagus
saja, tanpa harus mempertimbangkan adanya honor atau tidak,” jelasnya
.
Dalam
membuat media digital, laki-laki kelahiran Rembang ini menyarankan tiga hal.
Pertama adalah harus clear konsepnya dan ada differensiasi dengan media lain.
Kedua, harus konsisten, semisal satu minggu mem-publish lima tulisan,
harus konsisten, setelah itu yang ketiga adalah mulai memperbaiki mutu media
tersebut.
Di Mojok
sekarang ini bukan hanya merambah di media digital saja, Mojok juga merambah
dibidang lain, misalnya di Angkringan Mojok, Mojok Publisher, dan Mojok Store,
“Karena sudah ada brand yang sudah jadi, kenapa harus bikin nama yang
lain, sesederhana itu. Mojok sudah dikenal orang,”
Untuk
mendekatkan media dengan pembaca Mojok, ada satu program yang diselenggarakan
yaitu Gerilya Kepala suku. Program ini untuk menepis anggapan bahwa dalam media
digital pembaca hanya dianggap sebagai angka-angka saja.
“Sekarang
ini pembaca media digital itu dianggap sebagai number- angka-angka saja,
statistik, saya sebetulnya tidak nyaman dengan itu. Jadi ya harus ada offlinenya.
Supaya kita bisa dekat dengar apa yang dirasakan pembaca mojok. Sebetulnya itu
saja, Saya juga ingin yang offline lah,”
Dengan
kesukaan Puthut sendiri di dalam sastra dan juga pernah menulis puisi. Kemudian
kami bertanya mengenai apakah Mojok ingin bukak rubrik sastra? “Tidak,”
jawabnya singkat. Karena Mojok.co sudah disepakati untuk tidak memasukan sastra
di media ini.
Menulis
: Belajar Mengerti
Kemudian
perbincangan kami terhenti. Ada pertanyaan kembali yang kami ulang soal
kesukaannya penulis luar. Dari mulai O’ Henry hingga Cekov. Tiba-tiba, Kepala
Suku ini menyampaikan penilaian tentang ketidaksukaannya kepada penulis Haruki
Murakami. “Itu saya tidak suka.
Ketidaksukaannya adalah penilaian personal ya,” jelasnya.
“Haruki
Murakami saya tidak suka. Namun, Sebagai apresiator, saya lebih menyukai
percobaannya-percobaanya Haruki untuk mengolah teks.”
Perbincangan
kami kemudian beralih kepada penilaian terhadap sebuah karya. Bagi, laki-laki
yang lahir pada 28 maret ini, pesan atau ide cerita dalam sebuah cerita itu
tidaklah penting dalam sebuah karya.
“Bagi saya
sebagai apresioator dan kreator, pesan itu tidak penting. Saya menikmati film juga begitu. Karena pesan
itu bisa dimaknai secara berbeda oleh apresiator. Jadi kenapa kita harus
terlalu sibuk dengan pesan, toh setiap orang bisa menangkap pesan itu berbeda-beda. Jadi tidak
penting,” katanya.
“Yang
penting apa yang kita dapatkan dari karya tersebut, kenikmatan kah, inspirasi,
atau apapun, kesadaran baru,” lanjutnya, kemudian dia juga mengaku heran dengan
orang-orang yang masih menanyakan tentang pesan atau ide cerita dalam sebuah
karya.
“Kenapa
orang jadi sibuk bertanya, tentang pesannya apa, bagiku ini pertanyaan tolol,”
ujarnya.
“Kan tidak
penting lagi apa yang disampaikan oleh penulis, yang kita dapat apa, itu yang
penting, subjek pembacanya jadi berdaya menghadapi teks. Kita ini kan manusia,
bukan robot, bukan mesin. Kita ini orang hidup jadi berdaya atas teks yang kita
baca. Kenapa kita harus bertanya pesan penulis apa,”
Perbincangan
kami jadi hidup kembali, kemudian kami bertanya kembali mengenai bagaimana
tips-tips untuk penulis pemula. Dia menyebutkan satu cara, yang juga
dilakukannya saat dia memutuskan untuk menjadi seorang penulis.
“Kalau mau
jadi penulis ya latihan yang benar jadi penulis. Penulis itu bukan pekerjaan
gampang, Kalau mau kiat yang lebih jelas jadi penulis dari saya, coba selama dua bulan setiap hari
menulis. Nanti akan anda rasakan
bedanya, setelah melakukan hal itu, harus jadi satu hari, nggak boleh nggak.
Kalau mau menempa diri jadi penulis coba itu, selama dua bulan,” tegasnya.
Bahkan,
ceritanya melanjutkan, dia melakukan latihan tersebut selama enam bulan. “Saya
melakukannya selama enam bulan,” akunya. Meskipun sebenarnya tiga bulan, namun
karena dia sudah berjanji ketika satu hari tidak menulis berarti harus dihukum
selama seminggu, akhirnya enam bulan itulah yang menjadi media latihan
menulisnya.
Atas dasar
hal tersebut, penulis yang sekarang ini menekuni penelitian ini mengaku bingung
dengan penulis sekarang ini. Dari menganggap bahwa menjadi penulis adalah suatu
martabat yang istimewa. Menulis adalah soal mood, atau penulis selalu
diidentikan dengan ketidaksplinan.
“Penulis,
seniman itu kenapa diidentikan dengan orang yang tidak disiplin? nggak dong,
harus lebih disiplin, kalau dia memang mengambil jalan hidup seperti itu, dia
sama dengan pekerjaan lain, kenapa harus diistemewakan? Kalau orang lain pengen jadi tukang bangunan
saja, dia harus jadi pengaduk semen, penata bata, “ tegasnya dengan penekanan.
“Kalau mau
benar-benar jadi penulis, cobalah tempa diri. Sekeras mungkin. Kecuali kalau
itu hanya jadi hobi. Silakan seperti itu. Anda mau jadi tentara yang hobi
nulis, ya gakpapa, atau wirausahawan yang nulis, ” pesannya kemudian.
Dengan
melakukan latihan menulis dengan keras ini, Puthut menyakinkan bahwa nanti
pasti akan mudah dalam menghadapi persoalan. “Saya kira saya pernah dekat
dengan orang-orang teater, Yang punya
kedisiplinan tinggi seperti itu juga bagus. Olah tubuhnya disiplin, Latihannya
disiplin, ketika mereka menghadapi persoalan-persoalan dihidup mereka ya
bagus.”
Begitupun
dengan Pramoedya, “Pram, saya kira karena latihan-latihan dia menulis, sehingga
dia punya daya hidup yang kuat sekali. Yang lain tergoda untuk pindah profesi
dia enggak. Saya hidup untuk menulis, dan menulis untuk hidup. Clear
statement-nya. Semua resiko diambil,” yakinnya dengan mantap.
Selain cerita
tentang Pram, Puthut juga suka dengan cerita Albert Einsten ketika ditanyakan
seseorang bagaimana bisa menjadi sepertinya. “Saya suka Einsten ketika ditanya
seseorang. Bagaimana bapak bisa seperti ini. Apa yang saya lakukan untuk bisa
seperti anda. Beli lem taruh kursi anda, lalu duduki. Artinya jangan pergi dari
pekerjaan anda.”
Mencontohkan
salah satu kru Mojok, Fawaz, seorang penulis dan penyunting, Puthut menilai
bahwa perubahannya sangat drastis. Ketika menempa diri secara keras dalam menulis.
“Kalau dulu
nilainya dua sekarang delapan atau sembilan. Dia banyak belajar dari penulis
yang lain, cak Rusdi (Rusdi Mathari) misalnya,” ceritanya, selain Fawaz, Armandhani, salah satu penulis
Mojok juga disinggung, bahwa tiap hari Armandhani menulis. Dia mengaku termasuk
orang yang mengikuti blognya, dan memang produktif sekali.
Ketika
ditanyakan apakah kita harus memperhatikan kritikan seseorang setelah menulis
sebuah karya, penulis yang merupakan fans AS Roma ini mengatakan bahwa jangan
terlalu memperhatikan kritikan dulu. Bagi dia, kritikan itu tidak membuat karya
lebih jelek, begitu juga dengan sanjungan tidak membuat karya lebih bagus.
Ada dua
sikap yang penting menurut penulis kelahiran 1977 ini, jangan pernah takut
dengan kritikan dan sanjungan. Karena baginya, kritikan itu tidak membuat karya
menjadi jelek, dan sanjungan tidak membuat karya menjadi bagus. Sehingga sikap
keduanya adalah kritikan dan sanjungan, itu bisa sama-sama penting bisa
sama-sama dan sama-sama tidak penting. “Kalau kritikan bagus bisa memicu kita
memproduksi yang bagus, kalau sanjungannya bisa membuat optimistis ya bagus,”
kata penulis buku Isyarat Cinta yang Keras Kepala ini.
Bagi Puthut,
menulis adalah bukan belajar mengingat akan tetapi belajar mengerti. “Kalau aku
sih nggak ya (belajar mengingat), lebih belajar mengerti apa yang dimaksud
dengan tulisan itu. Misalnya fakta dan fiksi itu, tapi aku sudah ngerti apa
yang dimaksud fakta dan apa yang dimaksud fiksi itu,” pungkasnya.
Perbincangan
kami usai karena beberapa kawan berpamitan untuk pulang. Dan kami selesaikan
perbincangan, sekaligus nonton bareng pertandingan sepakbola antara
Liverpool dan Arsenal.(Edu_On/ Aam)