Doc. Internet |
//Kepada para mahasiswa yang sedang merindukan kejayaan/Kepada rakyat yang kebingungan dipersimpangan jalan/Kepada pewaris peradaban yang telah menggoreskan/Sebuah catatan kebanggan dilembar sejarah manusia/Wahai kalian yang turun kejalan/Wahai kalian yang rindu kemenangan/Demi mempersembahkan jiwa dan raga untuk negeri tercinta//
Lirik lagu yang bisa dikatakan wajib dinyanyikan oleh
mahasiswa ketika turun ke jalan. Sebuah lagu yang menjadi satu komando demi
mewujudukan tujuan bersama. Namun, apakah sebenarnya lagu ini benar-benar
merasuk kedalam sanubari pewaris peradaban yang turun ke jalan? Atau
jangan-jangan lagu ini hanya menjadi satu suara bersama yang tidak mengandung
apa-apa. Layaknya sekawanan bebek teriak bersama-sama tanpa tahu maksudnya. Yang
hanya menyisakan suara sumbang tidak ada artinya sama sekali.
Karena turun aksi identik dengan aktivis mahasiswa. Dari
sini kemudian timbul pertanyaan, Apakah yang perlu dibanggakan dari keaktivisan
mahasiswa zaman sekarang? Atau apa sebenarnya makna aktivis itu? Dua pertanyaan
ini menjadi landasan dasar dari tulisan ini. Penulis menganggap ada yang perlu
di dekonstruksi pemikiran mahasiswa sekarang ini mengenai aktivis mahasiswa.
Membaca sejarah pergerakan (baca : aktivis) mahasiswa, tentu
kita akan disajikan sebuah tindakan-tindakan heroik yang dilakukan oleh
mahasiswa masa-masa dulu yang kemudian lambat laun menjadi mitos dan
mendogmakan diri. Pasti permulaannya adalah kemerdekaan Indonesia, penurunan
Soekarno, kemudian penurunan Soeharto. Tiga catatan besar inilah yang selalu
menjadi kebanggaan yang diceritakan setiap penerimaan mahasiswa baru. Bahwa
turun ke jalan kemudian bisa menumbangkan rezim yang berkuasa adalah sebuah
catatan kebanggan pewaris peradaban. Apakah sampai sekarang ini, kita masih
selalu mengagungkan cerita-cerita tersebut? Tanpa tahu makna dibalik peristiwa
yang telah terjadi.
Sebelumnya, kembali lagi, kita harus bertanya siapakah atau
apakah aktivis itu? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online disebutkan
arti dari aktivis adalah orang-orang yang melakukan aktivitas. Dari sini, berarti
siapapun yang melakukan aktivitas bisa dianggap sebagai aktivis. Entah itu
aktivitas tidur atau aktivitas demonstrasi. Semua bisa dianggap sebagai aktivis.
Dengan pemaknaan yang luas ini menjadikan semua mahasiswa adalah aktivis. Baik
yang berorganisasi maupun yang tidak berorganisasi. Baik yang demonstrasi
maupun yang tidak demonstrasi. Namun, tentu secara definitif harus ada
pembedaan. Karena dengan adanya pembedaan akan lebih jelas, apa sebenarnya yang
harus dilakukan oleh seorang mahasiswa atau aktivis mahasiswa.
Penulis tidak tahu awal mula mengapa mahasiswa bisa
menyandang sebagai agent of change, agent of intellectual,agent of iron stock, dan entahlah
siapakah yang merumuskan ini. Anggap
saja itu adalah konsepsi yang sudah usang dan kita menyepakatinya. Meskipun konsepsi
tersebut juga absurd. Melakukan perubahan yang bagaimana dan
pertanyaan-pertanyaan lain yang belum terjawab.
Namun permasalahannya adalah bukan soal tersebut. Akan
tetapi ada persoalan lain. Persoalan yang selalu didapati di dunia mahasiswa,
dimanapun kampusnya. Masalah tersebut adalah masalah fanatisme golongan yang
membuat satu golongan superior dan golongan lain inferior. Dengan
superioritasnya menindas golongan inferior.
Atau ada golongan yang merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah yang paling
benar dan yang lain adalah salah. Kemudian ada yang menganggap bahwa mahasiswa
kuliah pulang kuliah pulang adalah contoh mahasiswa yang tidak memiliki kemampuan
lain selain dibidang akademik dan dia termasuk mahasiswa-mahasiswa yang merugi.
Sedangkan mahasiswa yang berorganisasi adalah termasuk golongan-golongan
mahasiswa yang luar biasa. Akhirnya beranggapan bahwa ketika berada
diorganisasi maka sudah bangga bahwa dia adalah aktivis mahasiswa. Masihkah
relevan pengertian ini?
Aktivis mahasiswa adalah mahasiswa-mahasiswa yang
berorganisasi. Menjadi presiden BEM, menjadi Ketua HMJ, menjadi pengurus
diorganisasi-organisasi. Menjadi mahasiswa yang setiap harinya tidak berhenti
beraktivitas. Pagi berangkat kekampus, sore ada diskusi atau rapat, malamnya
ada rapat atau diskusi lagi. Membuat suatu acara besar yang menghadirkan tokoh
terkenal. Peserta yang menghadiri acara tersebut membeludak. Kemudian supaya
lebih sangar, ada intel-intel yang mondar-mandir mengawasi acara tersebut.
Mengeluarkan sebuah karya yang membuatnya terkenal sampai go international dan mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Atau bahkan punya kontak orang-orang terkenal
pemerintahan dan punya banyak jaringan. Kemudian responsif dengan keadaan
sekitar, selalu ikut turun kejalan dimanapun kapanpun dan masalah apapun.
Membaca dan mengoleksi banyak buku kemudian membincangkannya. Apakah ini yang
dinamakan aktivis?
Penulis tidak tahu jawaban kebenaran. Namun, sepanjang dari
perjalanan yang penulis rasakan. Penulis tidak sepakat dengan mahasiswa aktivis
adalah seperti mahasiswa diatas. Semuanya sangat percuma jika berorganisasi
hanya untuk melatih dan mengembangkan soft
skill dan tetek bengek yang lain.
Semua sangat percuma kalau menjadi BEM hanya untuk melatih kepemimpinan, semua
sangat percuma ketika membaca dan mengoleksi buku hanya untuk kepentingan
pribadi saja. Semua sangat percuma kalau menulis dan menerbitkan karya tidak
tahu maksud dari mengapa menulis dan menerbitkan karya. Semua sangat percuma
kalau pendidikan hanya sebagai investasi masa depan. Kalau mahasiswa hanya
sebagai tenaga-tenaga yang akan mengisi perusahaan-perusahaan. Semuanya menjadi
sangat percuma jika ternyata kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa
hanya menjadi kegiatan yang sifatnya ritualistik. Kegiatan yang tidak diketahui
alasan dasar mengapa kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan.
Bagi penulis, aktivis adalah seorang mahasiswa yang sadar
bahwa dia dibelenggu dengan sesuatu. Kemewahan yang dimiliki seoarang
pembelajar atau mahasiswa adalah sebuah kesadaran. Sepakat dengan apa yang
dirumuskan oleh Paulo Freire bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk suatu
kesadaran. Sangat percuma jika ternyata bertahun-tahun kita berada di instansi
pendidikan atau organisasi namun kita tidak sadar bahwa ada satu kekuasaan yang
telah membelenggu. Terlebih, sampai pada akhirnya membentuk pandangan kita. Dan
kita terbawa dengan sistem yang membelenggu tersebut.
Dalam hal ini, bagi penulis tipologi mahasiswa dapat dibagi
menjadi empat. Pertama, mahasiswa yang sadar kalau dirinya berada di sistem dan
tidak mengikuti sistem tersebut. Kedua, mahasiswa yang sadar namun tetap
mengikuti sistem tersebut. Ketiga mahasiswa yang tidak sadar, namun juga tidak
mengikuti sistem. Terakhir mahasiswa yang tidak sadar dan mengikuti sistem
tersebut.
Melihat tipologi ini, jelas bahwa yang menjadi perbedaan
antara mahasiswa satu dengan mahasiswa yang lain adalah mengenai kesadaran.
Jika ternyata mahasiswa sudah berorganisasi tidak sadar dengan pilihannya. Atau
mahasiswa yang tidak berorganisasi juga tidak menyadarinya. Maka penulis
beranggapan, kita telah gagal menjadi mahasiswa.
Jadi, organisasi hadir bukan hanya sekedar menjadi wahana
belajar dan mengembangkan diri selain di kelas. Organisasi hadir adalah sebagai
jalan lain untuk membangun sebuah kesadaran. Kalimat yang ditulis Pramoedya
Ananta Toer dalam pembukaan bukunya, Jejak
Langkah “didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan”.
Kalimat ini mempunyai maksud bukan hanya soal berorganisasi saja, tapi ada
tujuan lain yang lebih penting yaitu membangun sebuah kesadaran nasional. Dalam
roman ini, Pram jelas menunjukkan ada sebuah pembentukan kesadaran ketika sudah
membuat suatu organisasi. Awalnya ketika Sarikat Priyayi yang dibuat oleh Minke
nyatanya tidak bisa membangun sebuah kesadaran akan tindakan semena-mena yang
dilakukan oleh Belanda. Karena anggota dari organisasi ini berasal dari
priyayi-priyayi yang secara tidak langsung melakukan tindakan penindasan.
Lambat laun, Sarikat Priyayi bubar karena tidak ada progress apapun,
lahirlah Sarikat Dagang Islamiyah (SDI) yang beranggotakan bukan hanya seorang
priyayi saja.
Dari SDI inilah kemudian kesadaran itu lambat laun tumbuh dan berkembang. Titik pijakan organisasi adalah mendidik rakyat supaya sadar dengan tindakan penindasan yang dilakukan oleh Belanda. Jika bukan karena kesadaran nasional, tentu tidak akan ada kemerdekaan. Begitupun dengan mahasiswa-mahasiswa yang dicatat sejarah panjang Negara ini. Melakukan perlawan karena didorong oleh kesadaran bersama bahwa ada yang salah dalam pemerintahan saat itu. Inilah yang seharusnya menjadi agenda wajib setiap organisasi yang mengklaim dirinya sebagai organisasi yang besar atau organisasi yang hebat. Organisasi yang mengklaim diri besar dan hebat itu, tanpa ada pembentukan kesadaran, organisasi itu lebih baik mati dan dihancurkan saja.
Dari SDI inilah kemudian kesadaran itu lambat laun tumbuh dan berkembang. Titik pijakan organisasi adalah mendidik rakyat supaya sadar dengan tindakan penindasan yang dilakukan oleh Belanda. Jika bukan karena kesadaran nasional, tentu tidak akan ada kemerdekaan. Begitupun dengan mahasiswa-mahasiswa yang dicatat sejarah panjang Negara ini. Melakukan perlawan karena didorong oleh kesadaran bersama bahwa ada yang salah dalam pemerintahan saat itu. Inilah yang seharusnya menjadi agenda wajib setiap organisasi yang mengklaim dirinya sebagai organisasi yang besar atau organisasi yang hebat. Organisasi yang mengklaim diri besar dan hebat itu, tanpa ada pembentukan kesadaran, organisasi itu lebih baik mati dan dihancurkan saja.
Maka, perlu ada dekonstruksi terhadap pemahaman mahasiswa.
Dekonstruksi adalah tindakan menghancurkan semuanya kemudian membangun lagi,
meskipun dengan materi-materi yang sudah dihancurkan. Anggapan bahwa aktifis
mahasiswa adalah mahasiswa yang berorganisasi. Yang aktifis adalah yang turun
ke jalan. Yang aktifis adalah yang setiap hari rapat. Anggapan itu harus
diganti. Aktifis bukan sekedar ikut organisasi, turun jalan. Aktifis mahasiswa
adalah yang sadar posisinya sebagai mahasiswa dan tahu apa yang harus
dilakukannya. Dengan ini, judge secara sepihak para ‘aktifis organisasi’ bahwa
mahasiswa yang kuliah pulang-kuliah pulang (kupu-kupu) atau yang lain dianggap
sangat menyedihkan, perlu ditinjau ulang. Karena belum tentu mahasiswa yang
kupu-kupu tidak sadar dengan apa yang dipilihnya. Kemungkinan sebaliknya,
mahasiswa yang aktif organisasi-organisasi ternyata tidak sadar alasan dasar
dia berorganisasi. Ini lebih ironis daripada mahasiswa yang sadar, meskipun dia
tidak mengikuti organisasi manapun.
Aspirasi yang Mati
dan Tulinya Pemerintah
Perbincangan yang sering dinyinyirkan antara segolongan
mahasiswa adalah persoalan turun ke jalan
(aksi demonstrasi). Ada yang sangat nyinyir terhadap mahasiswa yang
turun aksi, begitupun sebaliknya. Dalam hal ini, kita perlu merefleksikan
ulang, apa makna demonstrasi bagi kita. Seperti yang kita ketahui bersama dalam
demokrasi Negara kita. Ada berbagai cara untuk menyampaikan aspirasi. Salah
satunya adalah dengan demonstrasi. Dari sini sudah jelas, menyuarakan pendapat
umum diatur oleh undang-undang. Jadi sah-sah saja, kalau mahasiswa melakukan
turun aksi sebagai jalan untuk menyampaikan aspirasi. Yang menjadi permasalahan
adalah ketika mahasiswa yang turun aksi tidak tahu alasan yang jelas mengapa
dia turun aksi. Turun aksi hanya karena didorong oleh mahasiswa-mahasiswa tua
untuk turun aksi. Turun aksi hanya untuk menunjukkan eksistensi diri. Bahkan
turun aksi karena ada pesanan saja. Inilah yang perlu dipertimbangkan ulang.
Selain itu, anggapan bahwa turun ke jalan adalah tindakan
yang sangat percuma bagi mahasiswa yang nyinyir terhadap mahasiswa yang turun
aksi juga perlu dinyinyiri. Teringat dengan tulisan salah satu teman, mengenai
semut yang membawa air kemudian disiramkan ke api yang digunakan untuk membakar
Nabi Ibrahim. Jawaban semut itu ketika diperingatkan oleh kawannya. Dengan
menyiramkan air minimal semut tersebut menunjukan dia berada dipihak mana. Jadi
turun aksi betapapun tidak didengarkan oleh pemerintah, paling tidak menunjukan
suatu sikap kita terhadap permasalahan tersebut. Selain itu, pasti lambat laun
satu orang bergerak nanti akan memengaruhi satu dua orang yang lain.
Meskipun persentasi aspirasi kita menjadi pertimbangan
sebuah keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah nol persen. Pemerintah
mungkin hanya tertawa ketika melihat rakyat dan atau mahasiswa melakukan aksi
turun jalan untuk menyuarakan aspirasi. Bahkan mungkin sampai mati
berpuluh-puluh orang, pemerintah tidak akan bergeming dalam mempertahankan
keputusannya.
Dari sini, mahasiswa sebagai garda terdepan dalam
menyuarakan aspirasi rakyat (dibentuk karena kesadaran)tentu harus memikirkan
ulang, bagaimanakah turun jalan ini menjadi sebuah ancaman dan menjadi
pertimbangan ketika pemerintah mengeluarkan kebijakannya. Mahasiswa dan rakyat
menjadi macan yang mengaung dengan keras dan menakutkan, bukan kucing yang
dibohongi oleh tikus-tikus. Bahkan kemudian ketika diberikan tulang ikan lari
dan tertawa-tawa.
Gerakan turun jalan, seharusnya menjadi auman keras bahwa
pemerintah harus mempertimbangkan ulang kebijakan yang telah dikeluarkannya. Namun
nyatanya, pemerintah seakan tuli akan aspirasi rakyatnya. Banyak
kebijakan-kebijakan yang seolah-olah itu adalah kebijakan yang paling baik
untuk rakyat dan kemajuan NKRI. Padahal kebijakan tersebut hanya menguntungkan
para investor dan kaum borjuis-borjuis. Sudah banyak aspirasi rakyat yang diabaikan.
Suara-suara rakyat hanya menjadi ocehan orang gila yang tak pernah didengarkan.
Pemerintah hanya mendengar suara-suara para pemegang saham, suara
investor-investor, suara-suara Negara-negara asing yang menggoyah-goyahkan
karakter bangsanya.
Apakah yang menjadi masalah utama? Penulis beranggapan
permasalahan utamanya adalah soal kesadaran. Kesadaran dari pemerintah sebagai
pemegang amanat rakyat. Pemerintah harusnya dalam mengambil keputusan bukan hanya melalui sudut
pandang bahwa kebijakannya adalah demi kemajuan bangsa. Bahwa kebijakannya
adalah demi kemaslahatan bersama. Pemerintah harus lebih jeli dalam mengambil
keputusan. Apakah keputusan tersebut menjadi kebutuhan primer yang dibutuhkan
oleh rakyatnya. Atau jangan-jangan itu hanya menguntungkan segolongan saja.
Sebuah kebijakan yang hanya berlabelkan modernitas dan kemajuan kemudian
semuanya sah-sah saja untuk diputuskan.
Jadi dalam hal ini, ketika ada penindasan, bukan berarti
untuk melepaskan penindasan itu kita harus melakukan penindasan sebaliknya
kepada para penindas. Akan tetapi kita harus menyadarkan para penindas
tersebut. Lalu bagaimana membangun kesadaran? Jalan paling cepat adalah
revolusi. Selain revolusi, jalur lain namun membutuhkan jangka panjang adalah
melalui jalur pendidikan. Pemuda terlebih mahasiswa menjadi penanggungjawab
utama dalam membangun kesadaran tersebut. Setelah itu berhasil, baru kita patut
berbangga menyanyikan lagu yang penulis sebutkan diawal tulisan ini.
Berorganisasilah untuk membangun sebuah kesadaran. Dekonstruksi
dan hancurkan organisasi tersebut kalau hanya menciptakan seoarang
penindas-penindas baru!
Kemudian terkutuklah bagi kita yang selalu mendewakan
kompetisi-kompetisi. Terkutuklah bagi kita yang menganggap kita adalah yang
terbaik dan yang lain merugi. Terkutuklah bagi
kita yang merasa bahwa kita adalah orang hebat yang tidak akan ada
tandingannya di generasi yang akan datang. Terkutuklah bagi kita yang merasa
menjadi dewa, kemudian setiap perkataan adalah dogma-dogma yang harus
dilaksanakan. Terkutuklah bagi kita semua!
AhmadAamAhmad
Orang biasa yang ingin jadi luar biasa
Tags
Wacana
Terkutuklah Saya.
BalasHapus