Doc. Internet |
Sisa-sisa tumpahan air langit masih terasa. Semerbak tanah bermandikan hujan masih begitu mudah terserap indra penciuman, kegelapan cakrawala perlahan terganti oleh terang dari sang mentari yang malu-malu menampakkan diri. Halte yang awalnya penuh sesak dari orang berteduh mulai kembali sepi.
“Gila! Dingin banget Bro.” Ujaran itu
terdengar bergetar.
“Yaelah, baru juga lo kehujanan beberapa jam
yang lalu, udah ngerekek aja lo!” Dengan santai, ‘Bro’ menyahut, Suaranya
terdengar berat dan lelah karena termakan usia.
“Emang lo udah
berapa lama nongkrong di sini Ki?
“Em,
mungkin dua bulanan Sep.” Dengan malas, Kiki menjawab. Matanya berjalan-jalan
menyoroti sekelilingnya. Di seberang sana ada halte yang tadi begitu ramai.
Sedangkan di samping kanan dan kirinya hanya ada tumpukkan tak terurus dan
begitu bau.
“Ki....”
“Hmm....”
“Tubuh lo
kenapa cacat gitu?” Sesep menatap Kiki seraya melontarkan tanya.
“Weiy!
santai Bro, gue Cuma tanya doang, jangan natap gue kek gitu.” Tubuh Sesep yang
masih basah kuyup, tiba-tiba merasa terbakar oleh mata panas Kiki.
“Gue
kecelakaan, tiga bulan lalu. Keponakan majikan nabrak gue.” Matanya menerawang,
membayangkan kilasan waktu yang telah terlewat.
“Parah! terus
lo kagak dibawa buat berobat gitu?”
“Ya dibawa lah,
yang nabrak gue langsung tanggung jawab saat itu juga, ngebawa gue ke dokter
terbaik. Sekitar seminggu di sana, tubuh gue dibedah sana-sini. Sampai akhirnya
dokter nyerah, dan kaya gini gue sekarang.” Sesep manggut-manggut, mencoba
mencerna ucapan yang keluar dari teman dadakkannya beberapa jam yang lalu.
“Lah terus kenapa lo bisa sampai sini?” Kiki menatap dalam Sesep,
menyelami mata yang menurutnya masih polos. Sesekali matanya mengamati tubuh
Sesep, membuat yang punya tubuh merasa risih ditatap demikian. Sesep takut
pertanyaannya salah lagi, dan membuat Kiki tersinggung.
“Ehem, ya lo liat
dong Ki, tubuh gue udah renta gini, cacat pula, siapa lagi yang mau mempekerjakan
gue? sedih sih waktu pertama kali nerima keaadan kaya gini, tapi mau gimana
lagi? Mungkin ini udah takdir gue.”
“Gue turut sedih Bro, maaf mengungkit masa lalu lo.”
“Ish! udah
sih, nggak usah melow gitu, santai aja... kalo lo sendiri, kenapa bisa sampai
sini, lo kelihatan masih muda, dan tubuh lo oke, nggak kaya gue?”
“Majikan gue
orang berada, dia ngangkut gue dari tempat oke dan berkelas. Gue nggak tau kenapa
dia ngebuang gue, padahal sesuai kata lo, tubuh dan usia gue masih oke buat
dipekerjakan.”
“Menurut gue,
majikan lo bosen kali.” Kiki menerka-nerka alasan majikan membuang Sesep.
“Mungkin iya
kali, soalnya tadi pagi sebelum gue dibuang ke sini, gue lihat ada yang nganter
pengganti gue. Tapi kalo gue boleh jujur ya, gue sedih gitu.... kenapa gue
dibuang gitu aja, padahal gue itu mahal loh.”
“Sudah ah, yang
lalu biarin aja berlalu. Gue yakin ada hikmahnya nanti.”
“Iya Ki,
ngomong-ngomong gue sudah nggak dingin lagi nih, nggak terlalu basah kan gue?”
“Yoi”
Mereka
mengalihkan topik pembicaraan seraya menikmati bau menyengat dan juga padatnya lalu
lintas kota. Sesekali mereka tertawa, karena gurauan yang mereka anggap lucu.
“Ibu! Adek
nemu sepatu!” lengkingan keras dari bocah kecil dihadapan mereka, membuat
percakapan mereka seketika terhenti.
“Wah, masih
bagus banget Ibu! Adek nggak usah beli sepatu lagi, uangnya buat obat kakak
yang lagi sakit aja Bu” Tangan lusuh gadis itu memegang tubuh Sesep, bola
matanya bersinar seolah mendapatkan berton-ton emas.
“Ih! Ibu
dengar nggak sih?” mata gadis itu terarah pada seorang wanita paruh baya, yang nampak
mengais-ngais tumpukkan sampah. Dia menuntut sahutan dari ibunya.
“Apa nak? Ibu
sedang mengumpulkan botol-botol bekas ini.” Nampaknya karena terlalu asyik
dengan pekerjaannya, si ibu malas untuk menoleh barang sejenak.
“Hadap sini
dulu Ibu.”
“Apa?”
“Ini?” Tubuh
Sesep diangkat tinggi-tinggi oleh gadis kecil itu. Kiki yang melihatnya hanya
bisa tersenyum dan memberi isyarat pada Sesep bahwa Sesep telah menemukkan
majikan baru.
“Alhamdulillah,
dapat sepatu baru, bagus lagi, siapa yang buang ya nak?” karena tertarik dengan
penemuan anaknya, Ibu itu langsung menghampiri anaknya dan melontarkan tanya.
“Nggak tahu,
yang penting ini kan sudah dibuang bu, nggak ada pemiliknya lagi, berarti Adek
boleh bawa pulang ya Bu? Buat sekolah, ya... ya... ya?” Melihat binar
kebahagiaan dari anaknya, ibu itu tersenyum dan mengangguk membuat sang anak
bersorak gembira.
Sesep memang pantas dimiliki kembali karena dia masih benar-benar layak pakai. Sementara dirinya? Hanya seonggok kipas tua yang sudah cacat dan tak bisa digunakkan lagi. Jadi? Biarlah dia menikmati masa tuanya di tempat kumuh ini.
Karya: Neng S
Tags
Cerpen