(Desain/ Fahmi) |
Tulisan ini dibuat untuk menyambut haul Mbah KH. A, Syahid
Kemadu, pada tanggal 18 Rajab. Tulisan ini dilatarbelakangi, adanya kondisi
bangsa Indonesia, yang telah menghadapi berbagai ujian, yang salah satunya
adalah menghadapi sikap intoleran dan radikalisme yang mengatasnamakan agama.
Adanya gerakan intoleran dan radikalis ini, seperti memperjuangkan prinsip
kebenaran. Pada awal kemunculan gerakan ini, terbaca sebagai salah satu gerakan
agama yang "lurus", namun karena ada dukungan dari bebagai pihak,
akhirnya kelompok intoleran dan radikal, telah berani menunjukkan sikap mengaku
paling benar.
Jika diamati dalam kontek kesejarahan, gerakan intoleran dan
radikal sering memanfaatkan konflik keberagamaan dan kekuasaan. Gerakan ini
tidak murni kehendak pribadi atau ketidaktahuan pelakunya terhadap keutamaan
hidup. Misalnya, keutamaan ajaran wahyu yang suci yang mengajarkan kasih sayang
dan keutamaan keragaman.
Kaum intoleran dan radikal, telah banyak menciptakan konflik
keberagamaan untuk membangun kepentingan, kecemburuan, dan persaingan
memperebutkan pengaruh terdepan mengawal agama masyarakat. Demikian juga, dalam
konteks kekuasaan, kaum intoleran lebih banyak terfokus pada bagaimana upaya
memperebutkan kursi panas yang harus mempertaruhkan darah dan kemanusiaan.
Kawasan rawan konflik ini akan menghalalkan transaksi jual beli agama yang
dibungkus dengan dalil dalil kewahyuan dan akan melakukan transaksi jual beli
pengaruh hasil jarahan dari konflik keberagamaan dan kekuasaan.
Sehubungan dengan kemunculan fenomena intoleransi dan
radikalisme, maka seperti telah membuang prinsip kewahyuan dan kebenaran di
tempat sampah konflik yang diciptakan kaum intoleran dan radikal. Fenomena ini
telah mencekam nilai nilai universalitas kebenaran di tengah arus utama
kekuasaan dan kepentingan yang menyusup pada imajinasi kehendak kuasa seseorang
di tengah keberagamaan. Tidak sedikit kejadian aneh dihadapan mata kita, yaitu
yang benar disalahkan dan yang salah dibenarkan.
Karenanya, pada tema kajian ini, penulis menganggap perlu
menghadirkan kembali karamah Mbah KH. A. Syahid Kemadu untuk menyinari suasana
gelap model keberagamaan yang diselimuti gelap malam gulita intoleransi dan
radikalisme atas nama agama.
Penulis mengenal Mbah Syahid kali pertama dikenalkan
ayahanda, KH. A. Tamamuddin Munji sejak usia belasan tahun. Tidak lama
kemudian, setelah mengalami berpindah pindah, keluar masuk sekolah MTs sampai
lima kali, penulis seperti nomaden dalam menuntut ilmu, akhirnya penulis
dimasukkan oleh ayahanda di Pesantren Mbah Syahid, dengan harapan dapat memetik
hikmah bersama beliau dan tidak lagi menjadi nomaden dalam menuntut ilmu.
Dalam kesempatan setiap pertemu Mbah Syahid, penulis selalu
mendengarkan kalam tahmid beliau dan sering nderek beliau menghadiri undangan
ta'ziyah. Bermula dari pendampingan Mbah Syahid, penulis melanjutkan di
pesantren Futuhiyyah Mranggen hingga kuliah di UIN Walisongo Semarang. Di
Futuhiyyah, penulis menuntut Ilmu kepada Mbah KH. MSL. Hakim Muslih dan Mbah
KH. Muthahhar Abdurrahman.
Kehadiran Mbah KH. Syahid Kemadu dan Mbah KH. MSL. hakim
Muslih membuat penulis lebih fokus pada pembelajaran di lingkungan pesantren
NU. Hal ini menjadi titik awal untuk menekuni khazanah klasik tradisi pesantren
dan budaya serta keragaman masyarakat
nusantara. Bagaimana petikan kisah Mbah KH. Syahid menempuh perjalanan
mengikuti jejak kenabian? Jawaban ini akan dapat dijadikan modeling
keberagamaan bagi santri dan masyarakat.
Kehadiran Mbah KH. A. Syahid
Pada zamannya, Mbah KH. A. Syahid tercatat sebagai sufi
besar dalam sejarah gerakan sufistik. Kesufian beliau berhasil mempengaruhi
model keberagamaan para santri dan masyarakat pada zamannya. Berbagai kalangan
dan profesi, telah merasakan kehadiran beliau, adalah kehadiran yang membentuk
kesadaran kehambaan di hadapan Allah dan kesadaran keummatan pada jejak
kenabian, Nabi Muhammad.
Mbah KH. A. Syahid memiliki jalur kenasaban dengan Mbah
Syambu, seorang yang dikenal wali besar pantura yang dimakamkan di samping
Masjid Jami Lasem. Mbah Syahid muda seperti layaknya santri yang lain, menuntut
ilmu dari para Kiai di tengah lingkungan pesantren NU di Rembang. Beliau sangat
mendalam dan memberikan pemahaman kepada para santri tentang ilmu kalam, ilmu
fiqh dan ilmu tasawuf.
Kekhasan beliau selama memberikan pembelajaran, lebih
menekankan kepada para santri untuk mendalami kitab kuning yang dasar.
Alasannya, untuk menguasai kitab besar, harus menguasai dan memahami hingga
mendasar yang bersumber dari kitab yang dasar. Kitab dasar ini, yang telah
meringkas pembahasan: pertama, kajian khazanah klasik atau kajian abad
pertengahan. Kedua, kajian karya dari para Ulama Nusantara.
Dalam suasana pembacaan kitab Minhajul Abidin, penulis yang
saat itu duduk di depan, Mbah KH. A. Syahid bertanya kepada para santri yang
sedang memaknai atau mengabsahi kitab Minhajul Abidin: bagaimana pemahaman
kalian terhadap makna zuhud? mendengarkan pertanyaan ini, para santri belum ada
yang menjawab, beliau melanjutkan penjelasannya, bahwa zuhud itu bersihnya hati
diri dari selain Allah, termasuk bersihnya hati dari semua bentuk sikap dan
perbuatan yang mengandung dosa. Beliau menambahkan, model zuhud yang seperti
ini sulit dipahami dan dilakukan seseorang. Karenanya, beliau memberikan
langkah praktis mempraktekkan makna zuhud, yaitu menjadikan pandangan dan sikap
kita supaya tidak terikat pada harta, tahta, wanita, dan pemenuhan kebutuhan
biologis yang tidak sesuai dengan prinsip kewahyuan.
Maqam zuhud harus dimulai dari proses perbersihan hati
(tazkiyah an nafsi), seperti mengkosongkan hati dari sikap dan perbuatan
tercela, lalu menghiasi hati dengan sifat sifat yang terpuji (mahmudah) dan
masuk pada kesadaran relasi suci yang terintegrasi antara Allah dan Nabi
Muhammad. Sikap dan perbuatan zuhud ini, harus dikuatkan pula dengan jalan
selalu mengharapkan RidlauNya, merasakan cemas dan kekhawatiran berada pada
jarak yang kian menjauh dari Allah.
Bersamaan dengan kedua prinsip ini, perlu dikuatkan dengan
sikap selalu menjaga cinta kepada Allah. Sikap Mencintai Allah, bermakna tidak
menduakan Allah dengan yang lain. Hati hanya tertuju kepada Allah. Menjaga
hati, agar tidak tercerabut dari hakikat cinta kepada Allah. Hal yang
mencerabut cinta hakiki, seperti cinta kepada makhluk, karena cinta kepada
makhluk tidak dapat dipersatukan dengan cinta kepada Allah.
Zuhud perspektif Mbah Syahid ini, dalam pandangan penulis
sangat menarik. Karenanya, di beberapa kesempatan penulis selalu mengutip
perspektif beliau. Zuhud perspektif Mbah KH. A. Syahid: pertama, menyimpan
pengalaman yang menandai cakupan makna zuhud yang terefleksikan dari perjalanan
sufistik beliau (suluk). Kedua, tentang cinta kepada Allah harus fokus ke Allah
tanpa tergantung pada hal hal yang lain yang akan menjadi pembatas (hijab)
manusia dan Allah.
Jadi, model pembelajaran Mbah KH. A. Syahid benar benar
bersifat terbuka dan menunjukkan sikap serta perilaku Sang Salik yang ramah dan
santun dalam meretas pemahaman yang demokratis. Sikap ramah ini terbaca dari
model pembelajaran Mbah KH, A. Syahid, yang dalam konteks tertentu bersikap
serius dan konsisten bagaimana mempotensikan para Santri. Misalnya, ketika
mengkaji teks klasik sering memulai dengan memancing pertanyaan kepada para
santri.
Kesemua model pendampingan Mbah KH. A. Syahid ini, telah menandai
perkembangan sejarah tasawuf seorang salik mengelola batinnya dan bathin para
santri untuk menyuburkan aspek spiritual ajaran Islam. Dengan kata lain, apa
yang dilakukan Mbah KH. A. Syahid, adalah bagian dari ajaran tasawuf. Hal ini
bertujuan untuk menghindarkan para santri dan masyarakat dari bahaya nestapa
manusia modern. Misalnya, kerusakan keseimbangan psikis dan keretakan
eksistensial manusia. Fenomena yang lebih buruk dari keretakan eksistensi
manusia pada aspek kecerdasan spiritual, emosional, intelektual, dan sikap.
Kisah Mbah KH. A. Syahid memberikan pembelajaran kepada
zamannya dan zaman sesudahnya, bagaimana menghidupkan potensi empat unsur
kecerdasan manusia: spiritual, emosional, intelektual, dan sikap. Perjuangan
Mbah KH. A. Sahid, adalah
sisi lain dari perjuangan Ulama Nusantara untuk menerangi
gelapnya dunia kemanusiaan pada zamannya hingga hari ini: bagaimana mewujudkan
kerukunan dan keseimbangan hidup manusia secara lebih sempurna? Upaya Mbah KH.
A. Syahid ini bukan hanya pada tataran permukaan tapi telah sampai ke
akar-akarnya.
Jadi, kehadiran Mbah Syahid menunjukkan bukti, bahwa dalam
perkembangan sejarah tasawuf mengalami perjumpaan dengan kehidupan nyata yang
rasionalis, empiris, saling terkait dan dinamis. Hal yang dapat dirasakan dari
ilmu tasawuf, adalah memberikan jawaban bagi permasalahan kemanusiaan secara
umum, tidak sebatas hanya problem keumatan (Islam). Doktrin yang dikembangkan
para sufi memiliki derajat universalitas yang memadai bagi upaya mengatasi
problem kemanusiaan.
Sikap dan perilaku sufistik Mbah Syahid memiliki kekhasan di
antara para sufi yang lainnya. Ciri umum yang penulis temukan, adalah sikap dan
perilaku Mbak Syahid yang terlibat dalam gerakan pembebasan dan pencerahan
kepada masyarakat: menjawab persoalan masyarakat dan menata tata kehidupan
serta budaya masyarakat, sehingga menjadi masyarakat yang memiliki kasih sayang
dan saling menghormati antar sesama manusia. Hal ini selalu didasarkan pada
prinsip Mbah KH. A. Syahid yang selalu menegaskan kemuliaan anak cucu Adam.
Mbah KH. A. Syahid, selalu mengingatkan kepada para santri
untuk terlibat membangun tatanan masyarakat yang berbudaya sesuai tuntutan
risalah kenabian Nabi Muhammad dan jejak para Ulama. Penulis teringat pada saat
beliau mengupas makna zuhud, beliau mengutip kisah Syekh Ibrahim Bin Adham yang
akhirnya harus kembali ke tengah hiruk pikuk masyarakat mengajarkan keutamaan
dan kebaikan kepada Masyarakat. Jadi, dari sini makna zuhud dapat dipahami,
adalah bukan sikap dan perbuatan yang “menarik-diri” dari banjir kehidupan
duniawi yang alienatif dan manipulatif.
Dengan kata lain, fenomena pembelajaran Mbah KH. A. Syahid
dapat dipahami, bahwa mendekati Yang-Hakiki dapat dilakukan dengan cara menjaga
relasi suci manusia dengan Allah dan menjaga relasi suci antar manusia dengan
sesama makhluk Allah. Jadi, manusia atau
mereka yang telah menjadi salik, adalah mereka yang bukan mengedepankan sikap
individualis dan sarat kepentingan pribadi. Sang Salik, adalah sosok yang tak
mudah silau dengan gemerlap dan gebyar arus keduniawian yang dangkal dan
dipenuhi fatamorgana.
Mewarisi Jejak Kenabian
Belajar dari petikan hikmah dari kisah perjalanan Mbah KH.
A. Syahid menegaskan pemahaman kepada santri, pembaca, dan masyarakat yang
sezaman dan sesudah zamannya, yaitu jalan sufi adalah jalan membangun
kemerdekaan hidup di tengah bentangan kesemestaan, namun jalan kemerdekaan ini
harus dibangun berdasar fundasi ketauhidan.
Fundasi ketauhidan bersumber dari dua bahan: syahadah tauhid
dan syahadah Rasul. Syahadah Tauhid adalah syahadah yang menegaskan wujud
muthlaq Allah yang meliputi semua makhluknya. Sedangkan, Syahadah Rasul adalah
syahadah yang menegaskan wujud muthlaq sifat terpuji yang bersumber dari Allah,
yang tercermin pada sifat terpuji Nabi Muhammad. Fundasi ketauhidan ini yang
menjadi warisan yang tetap menjadi pegangan teguh Mbah KH. A. Syahid Kemadu.
Jadi, pengalaman sufistik Mbah KH. A. Syahid bersumber dari
kebenaran wujud muthlaq Allah dan bersumber dari kebenaran wujud kebenaran
hakiki yang tercermin dari tindakan dan perilaku Nabi Muhammad. Tindakan dan
perilaku Nabi Muhammad ini mewarisi jejak kenabian sebelumnya. Karenanya, Nabi
Muhammad sendiri menegaskan, bahwa para Ulama yang mewarisinya, adalah pewaris
para Nabi sebelumnya. Ciri mereka yang mewarisi jejak kenabian, adalah mereka
yang berpegang pada kedua syahadah dan menjalankan teks kewahyuan dan
kerasulan. Selain itu, Ulama adalah mereka yang membenarkan ilmu Allah dan
mewarisi pengalaman ruhaniyah para pewaris Nabi, yang bersumber dari ketentuan
kebenaran yang bersumber dari Allah dan Wahyu.
Kehadiran Mbah KH. A. Syahid telah mampu meyakinkan kepada
zamannya tentang keutamaan dan kebenaran jejak kenabian. Jejak kenabian, adalah
jejak yang menjaga kearifan tradisi lokal dan menjaga prinsip kesucian hidup.
Prinsip kesucian ini, sudah menjadi prinsip kesucian yang tidak boleh dinodai
atau dikotori para khalifah Allah di bumi. Beberapa prinsip kesucian, berupa
kebaikan, kemanfaatan, keutamaan, kemuliaan, kebenaran dan kasih sayang antar
sesama makhluk Allah di muka bumi.
Jejak kenabian ini yang akan tercatat sebagai penanda
kebaikan dan keutamaan, bertujuan untuk mengisi lembaran kisah perjalanan
manusia. Jika manusia tidak sungguh sungguh berpegang pada janji suci bersama
Allah di Lauhmahfudz, maka akan ada kemungkinan terjatuh pada kisah kisah yang
menentang kenabian. Karenanya, sikap baik dan buruk manusia akan kembali kepada
manusia: bagaimana manusia menandai kehidupan yang fana ini? Pertanyaan ini,
adalah pertanyaan yang bukan mengada ada.
Hal ini seperti ditegaskan dalam pepatah, bahwa
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan
belang, manusia wafat karena meninggalkan nama : seorang manusia
terutama diingat jasa-jasanya atau kesalahan-kesalahannya. Perbuatannya ini,
baik maupun buruk akan tetap dikenal meskipun seseorang sudah tiada lagi.
Sebagai pertanyaan penutup, bisakah manusia membawa diri
hingg kematiannya bersikap konsisten prinsip kewahyuan yang suci dan mulia?
Sehubungan pertanyaan yang terakhir ini, Mbah KH. A. Syahid menegaskan kepada
zamannya melalui para santri beliau, betapa berat menjaga istiqamah, karenanya
agar para santri istiqamah mengamalkan aurat dan shalawat dan selalu memohon
kepada Allah. Misalnya, memohon agar kita memperoleh kemenangan melawan nafs al
amarah bissu' dan melawan pengaruh dari luar diri kita, baik yang berasal dari
manusia dan anak cucu syaithan.
Mbah Syahid, kami kangen, rindu kami tidak terbatas ruang
dan waktu semua unsur kesemestaan. kami berdoa kelak bisa bersama Mbah, guru
kami, untuk memunajatkan cinta kepada Allah dan kekasih-Nya, bernama Nabi
Muhammad: Al Fatikhah.
Oleh: Ubaidillah Achmad, Dosen UIN Walisongo Semarang Dan Pengasuh
PP. Bait As Syuffah An Nahdliyyah Sidorejo Pamotan Rembang.
Tags
Wacana