(Desain/ Fahmi) |
Dalam rangka menyambut haul beliau, penulis akan
mengungkapkan satu model karamah Mbah KH. A. Syahid, yaitu istiqamah dan
kemampuan beliau memndampingi santri dan masyarakat untuk mendapatkan kesadaran
dan keutamaan hidup menandai sejarah kemuliaan anak cucu Nabi ADAM. Sebagaimana
pesan wahyu, yang selalu beliau sampaikan, bahwa Allah benar benar telah
memuliakan para anak cucu Nabi ADAM. Karenanya, semua anak cucu Nabi Adam harus
saling menghargai dan memuliakan.
Sebelum sampai pada pemahaman tentang karamah Mbah KH. A.
Syahid, penulis akan menyampaikan gambaran umum Ulama Nusantara hingga sampai
pada model Mbah KH. A. Syahid.
Mbah Syahid, adalah Ulama Nusantara yang selama hidupnya
bersikap teguh dan setia kepada organisasi para Ulama Nusantara, yaitu Nahdlatul
Ulama. Dalam beberapa kesempatan beliau selalu berpesan kepada santri agar
bertahan dan istiqamah mengikuti para Ulama NU yang terbukti telah menjadi
benteng Ahlussunah Wal Jamaah di Indonesia dan dunia.
Tulisan ini dilatarbelakangi karena ada rencana yang sangat
baik, yaitu upaya menerbitkan buku biografi Mbah Syahid. Tentu saja, saya
sangat mengapresiasi, karena apa yang saya rindukan kelak akan terbit kisah
seribu karamah Mbah Syahid. Jika kisah ini telah terbaca publik, maka akan
dapat menjadi inspirasi serta membentuk dan mewarnai model sikap keberagaman
para santri Islam Nusantara.
Kehadiran kisah seribu karamah Mbah Syahid merupakan
momentum yang tepat untuk menjawab kegelisahan keberagamaan versus maraknya
intoleransi dan radikalisme agama. Jadi, sehubungan dengan perkembangan
keberagamaan ini, masyarakat telah benar benar menunggu modeling atau contoh
yang mengajarkan kekhasan keberagamaan yang berintegrasi dengan kearifan lokal.
Kisah hidup Mbah Syahid akan menghasilkan model keberagamaan
yang indah dan bermanfaat dalam konteks untuk pengembangan Islam Nusantara.
Alasannya, Mbah Syahid sudah menjadi percontohan yang sudah mengakar di tengah
masyarakat, sehingga karya penulisan tentang Mbah Syahid tidak akan kekeringan
khazanah dan makna yang mengiringi kisah beliau.
Keutamaan Ulama Nusantara
Ulama nusantara memiliki kekhasan yang tidak dimiliki para
Ulama pada umumnya. Ulama nusantara selain memahami dan mengamalkan prinsip
ajaran Islam yang bersumber dari wahyu dan jejak para Nabi Pembebas yang
tercermin dari modeling Nabi Muhammad, juga memiliki pandangan dan sikap
perbuatan yang sangat menghargai kearifan budaya lokal.
Ulama Nusantara di zamannya lebih banyak menjadj juru bicara
budaya masyarakat lingkungannya. Model ulama nusantara dapat dipahami dari
jejak atau rekam tanda bagaimana melakukan ritual ajaran agama bersamaan dengan
kegiatan adat istiadat dan tradisi yang sudah berlangsung di tengah masyarakat
nusantara. Jadi, dengan adanya keanekaragaman bahasa dan budaya masyarakat
nusantara, para Ulama nusantara telah berbuat yang terbaik sebagai penerus
jejak kenabian dan sebagai warga negara yang memiliki aneka ragam budaya.
Secara teoritis, ada yang menarik dari kekhasan Ulama
Nusantara: pertama, keteguhan Ulama Nusantara menjaga marwah risalah kenabian,
yaitu risalah yang membangun kesadaran kepada manusia tentang keindahan dan
keutamaan menjaga relasi suci kosmologi: Allah, Manusia, dan Alam.
Sehubungan dengan relasi ini, para Kiai bersikap teguh dan
bersabar menjaga relasi ini supaya tidak patah atau terputus. Karenanya,
sewaktu ada yang terputus antara relasi suci individu dengan Allah, para Kiai
mampu menyambungkan kembali tali suci itu. Misalnya, mengembalikan Iman, Islam
dan Ihsan individu kepada Allah. Selain itu, para kiai banyak yang memiliki
kelebihan piawe menerjemahkan rahasia keEsaan Allah di tengah keberlangsungan
kesemestaan.
Kedua, keteguhan Ulama Nusantara menjadi jembatan aspirasi
rakyat dihadapan penguasa dan untuk kontrol sistem kekuasaan yang membebaskan rakyat
di tengah relasi kuasa yang tidak seimbang. Karenanya, dalam konteks sosial
politik, kehadiran Kiai sangat diperlukan penguasa dan masyarakat sekaligus.
Dalam konteks pertama ini, maka akan menjadi ujian para kiai ketika mendaptkan
tawaran dari penguasa, berupa menjadi tangan panjang kekuasaan.
Ketiga, keteguhan Ulama Nusantara menjadi pendamping yang
langsung dirasakan subjek dampingan. Para kiai tidak banyak menggurui
masyarakat dengan kata kata dan memojokkan kesadaran masyarakat. Kebanyakan
Kiai Nusantara yang memberikan pandangan kepada masyarakat, telah rajin
mencatat pengalaman pendampingan. Catatan ini pada saat yang diperlukan akan
disampaikan kembali kepada individu dan masyarakat.
Dari modeling kiai nusantara ini, banyak yang mendorong
semangat individu dan masyarakat. Modeling yang seperti apa? Yaitu modeling
sebagai sosok yang tidak menggurui dan menguatkan pandangan individu dan
masyarakat yang sudah dianggap baik dan bermanfaat. Yang unik banyak individu
dan masyarakat yang tidak merasakan hikmah yang dipetik dari Kiai, adalah
hikmah yang sesungguhnya telah dipetik oleh para Kiai dari individu dan
masyarakat. Jadi, banyak kesadaran masyarakat yang dirajut dari pendampingan
Kiai untuk alat kontekstualisasi kajian kitab kuning.
Keempat, keteguhan Ulama Nusantara menjadi aktivis budaya
masyarakat, misalnya, menjadi dalang relasi sosial politik individu dan
masyarakat. Selain menjadi aktivis budaya masyarakat, para kiai juga menjadi sumber
resolusi konflik masyarakat, baik pada persoalan memilih keyakinan maupun pada
persoalan memilih sumber kebenaran dalam kawasan sosial kemasyarakatan.
Dalam konteks kebudayaan, para kiai juga sering menjadi juru
bicara kebudayaan masyarakat versis masyarakat modern. Sering kali para
pendakwa modernisme, baik melalui atas nama agama maupun rasionalitas
menganggap negatif terhadap sistem kebudayaan masyarakat. Artinya, kebudayaan
masyarakat merupakan bentuk kebudayaan yang tidak penting dan dapat diganti
dengan sistem pandangan yang rasional dan ilmiah.
Kelima, keteguhan Ulama Nusantara bersikap empati dan
simpati kepada sesama umat manusia. Bersikap dan memberikan pandangan yang
diperlukan individu dan masyarakat. Selain itu, Ulama Nusantara sering menjadi
sumber resolusi konflik masyarakat yang disebabkan agama, ekonomi, politik,
ilmu pengetahuan.
Keenam, keteguhan Ulama Nusantara merefleksikan energi
positif dan sikap yang membuat orang lain bersimpati dan bersikap nyaman kepada
Kiai. Karenanya, keberadaannya menjadi pusat kebudayaan masyarakat.
Ketujuh, Keteguhan Ulama Nusantara meyakinkan atau
menguatkan energi positif individu dan masyarakat yang menghadapi persoalan,
bahwa setiap kesulitan pasti akan ada kemudahan. Hal ini yang menjadikan individu
dan masyarakat memiliki semangat dan upaya menjawab persoalan hidup yang
dihadapinya.
Kedelapan, keteguhan Ulama Nusantara berpegang pada
kecerdasan sikapnya menjawab problem sosial politik dan psikologis individu dan
masyarakat. Hal ini karena kepekaan sosial dan daya jangkau Kiai membaca
fenomena yang sedang terjadi dan akan terjadi pada Individu dan masyarakat
(weruh sedurungi winarah).
Kesembilan, keteguhan Ulama Nusantara bersikap terbuka,
elegan dan tidak elitis kepada subjek dampingan. Dalam konteks tertentu, mampu
merangkul pihak pihak yang salah paham terhadap kiai. Hal ini sesuai dengan
pandangan dan sikap para Kiai yang menolak politik balas dendam.
Sehubungan dengan kesembilan poin di atas, dapat menjadi
instrumen eksisten Kiai di tengah lingkungannya. Jika ciri dan kekhasan di atas
masih melekat pada sosok Kiai, maka Kiai akan bertahan menjadi modeling
individu dan masyarakat. Sebaliknya, jika poin di atas sudah tidak melekat pada
kepribadian Kiai, maka lambat laun akan jauh dari subjek dampingan, baik
individu maupun masyarakat.
Kisah Karamah Mbah KH. A. Syahid
Istilah karamah pada sub bab ini, penulis maksudkan sebuah
keutamaan yang dapat dipahami dari sisi arti kata dan cakupan makna yang
melekat pada keutamaan yang secara kasat mata dapat dipahami oleh individu dan
masyarakat pada umumnya. Jika mengkaji Mbah Syahid, maka sesungguhnya dapat
dipahami dari banyak lapisan sesuai martabat para pembaca sesuai jenjang
ketasawufan.
Dalam sub bab ini, penulis akan memaparkan keutamaan Mbah Syahid
dari cara pandang para santri. Bagaimana memahami Mbah Syahid dari perspektif
Santri? Pertanyaan ini dapat dijawab setelah pembaca dapat memahami keutamaan
Ulama Nusantara pada sub di atas. Sebagaimana proses pembelajaran yang pernah
saya terima dan rasakan dari Mbah Syahid, banyak kekhasan Ulama Nusantara yang
saya temukan pada kepribadian santun Mbah Syahid.
Selain sebagaimana contoh modeling Ulama Nusantara di atas,
saya juga telah menyaksikan contoh model keteguhan Mbah Syahid: pertama,
menjaga keanugrahan Allah dengan cara mensyukuri seluruh anugrah-Nya. Kedua,
meneguhkan kepada para santri, agar istiqamah dzikir aurad dan shalawat yang
tersusun dari beliau sendiri. Ketiga, meneguhkan komitmen para santri untuk
menjaga lisan dari kata kata yang tidak baik. Selain itu, beliau juga
menekankan kepada para santri, agar selalu bersyukur kepada Allah. Keempat,
selama nyantri kepada Mbah Syahid, saya sering mengikuti beliau menghadiri
undangan dari keluarga janazah.
Jika dirata rata setiap bulan, maka hanya menemukan tiga
hingga empat hari tidak bertakziah. Selebihnya, ada saja kematian yang terlihat
di depan mata saya. Sungguh kenangan yang indah menjadi santri beliau, yang
telah mendapatkan pembelajaran langsung dihadapan mata, yang paling berharga, yaitu
membaca kematian.
Berikut ini catatan harian saya, yang sampai sekarang masih
tercatat tebal dari guru saya, Mbah KH. A. Syahid: Pertama, meskipun tidak
semua, banyak santri yang masuk di pesantren Mbah Syahid yang memiliki latar
belakang sebagai anak anak yang berkebutuhan khusus (baca: nakal), namun
seiring bersamaan dengan pendampingan Mbah Syahid yang penuh kesabaran, para
santri memiliki banyak perubahan yang luar biasa.
Kedua, dalam perspektif psikologi pendidikan, Mbah Syahid
memiliki ketajaman kepribadian yang dapat diwariskan kepada para santri: poin
pertama, hidup harus mempotensikan ketajaman ruhaniyah untuk menghidupkan
lathifah manusia memasuki lathif Allah yang meliputi semua unsur
kesemestaan. Poin kedua, hidup harus
menggunakan fungsi akal atau rasio untuk menguatkan keyakinan rasio kepada
keberadaan Allah dan untuk membedakan yang benar dan yang tidak benar. Poin
ketiga, hidup harus mempotensikan kelembutan hati dan rasa, sehingga dapat
menempatkan emosi tepat pada sasarannya. Poin keempat, hidup harus tegap,
tegas, bersahaja, dan beretika (akhlakul karimah), sehingga mencerminkan
kepribadian yang mulia dan pemberani.
Tags
Wacana