Doc. Internet |
Perjalanan ke luar kota tempo hari lalu. Saya sedang
menjadi pelancong paling gembel. Terpaksa numpang menginap di suatu tempat
dengan alasan silaturrohim. Aku
membuka buku sejarah dan sastra Jepang saat menjelang istirahat. Mungkin hanya
untuk sebuah kalimat pembuka basa-basi saja, seorang wanita datang dan bertanya
“Suka baca buku?”
“Tidak, hanya tidak punya teman” kataku. Ia hanya
menggeleng mungkin menganggap saya adalah
pembual.
Tapi aku tiba-tiba melayang, kembali ke kampung halaman.
Saat saya duduk di kursi tengah, tempat menerima tamu. Ibu menghampiri dan
bertanya iseng. “Kenapa kau habiskan uangku dan ayakmu untuk membeli ini
semua?”
Karena aku tahu ibu iseng tanya, aku jawab iseng pula
“aku gak punya teman, males kalau di rumah. Palingan ini dan nyeduh kopi yang
paling nikmat. Adik juga belum bisa main PS”. Respon ibu tak ubahnya dengan
wanita di paragraf sebelumnya, beliau menggeleng. Tapi ku rasa ibu lebih
mengerti dengan gelengannya. Dan menyepakati kalau aku tak pernah punya teman.
[1]
Dari cerita semua itu, kesimpulannya adalah saya sedang
dalam kondisi membaca. Membaca itu perlu. Untuk tahu, untuk tahu, untuk tahu
dan hanya itu menurut saya. Selebihnya adalah bonus dari membaca. Karena tidak
semua orang punya gagasan, punya kritik, membentuk pandangan baru dari hasil
membacanya. Itu hanya bonus dan bisa dikatakan bonus itupun hanya di peroleh
oleh pembaca yang terlatih. Sedangkan saya baru menginjak masa awam dalam
bacaan.
Seperti kata-kata Seno yang dikutip oleh kawan-kawan saya
bahwa masyarakat kita membaca hanya untuk mencari alamat, menghibur diri dan
lain sebahagainya. Ya begitulah saya. Baru pada tahap menghibur. Contohnya
menjadikan bacaan sebagai teman saya. Ya, mau bagaimana lagi kan?
Tapi dari cara menghibur diri saya itu. Saya menemukan
tokoh “saya”. Seperti Arman Dhani menemukan sosok kakek dalam diri Gabo setelah
membaca karya-karyanya. Seperti hanya tokoh Tom dalam Film Genius, yang menemukan dirinya sendiri dalam sebuah tokoh karya
fiksi.
Saya juga merasakan hal sama, menemukan diri saya di
saben cerita yang saya baca. Dalam buku Linda Christanty, dalam bukunya Kuda Terbang Maria Pinto misalnya.
Gelap dan sunyi. Tokoh yang melompat gedung, menghirup rokok, berbicara dengan
danau, tokoh dalam kemelut perang. Juga perihal pandangan tajam orang di
sekeliling saat kita memulai berbicara dengan orang asing. Sial. Tapi aku bukan
pecinta sesama jenis dalam salah satu ceritanya. Kau bisa merabahnya sendiri.
Membaca juga memberitahu sensai kembali ke masa lalu.
Dalam buku Mahfud Ihwan, Belajar
Mencintai Kambing tiba-tiba saya terkekeh, saat si tokoh terseret kambing
gembalaannya karena kalah tenaga. Atau saya tiba-tiba merasa menyukai musik
indie setelah membaca beberapa buku yang mengulas musik. Karena idealismenya.
Inilah yang saya buktikan bahwa buku yang saya baca hanya menghadirkan rasa
tahu saja, rasa tahu akan diri sendiri. Tidak lebih.
[2]
Pada titik lain, membaca juga memberitahu bagaimana kasus
antara organ ektra dan intra kemarin terjadi. Dari berita yang beredar membaca
menunjukkan saya bahwa ini perihal yang wajar dalam pemberitaan. Laman lain
terkesan menonjolkan ini dan media yang lain pula menonjolkan yang itu. Ini
sesuatu yang wajar karena terpengaruhi sebuah Framing media.
Dalam pengertiannya framing
sendiri adalah membingkai suatu peristiwa. Kata lainnya yakni prespektif
yang di gunakan media tertentu. Seperti halnya yang di ungkapkan Eriyanto dalam
Framing: Kontruksi, Ideologi Dan Politik
Media ada aspek tententu yang di tonjolkan. Akibatnya adalah bagian
tertentulah yang di anggap oleh media bersangkutan yang lebih bemakna. Sehingga
pantas untuk di tulis.
Namun, framing
dalam media besar bisa disetir dari
banyak hal. Keredaksian dan investor contohnya. Hingga ada sesuatu yang
riskan dari semua ini, kita bisa mengetahui siapa kerja untuk siapa? Tak ada
yang salah, karena bisa dibilang itulah idealismenya media.
“Apa boleh buat, hidup adalah opera sabun,
yang melompat dari sensasi satu ke sensasi lain” tulis Seno di
bukunya Jazz, Parfum dan Insiden. Tapi “ingat,
sahabat, tiada yang lebih berbahaya selain cerita yang memaksamu percaya bahwa
kebaikan selalu mengalahkan kejahatan, sebab ia akan membuatmu tumpul dan
zalim.” Kata Sabda Armandio dalam novelnya 24 Jam Bersama Gaspar. Dan semua ini adalah perihal prespektif.
Oleh: Aziz Afifi
Tags
Wacana