doc. Edukasi |
Dalam perjalanan hidup umat manusia, banyak yang melupakan makna kehadiran Nabi Adam versus keberadaan Iblis yang sebelumnya menjadi penduduk yang disegani di Sorga. Iblis disegani karena kecerdasan dan kewibawaannya di antara penduduk Sorga. Hal ini yang membuat Iblis merasakan sebagai makhluk unggul dan mulia di antara makhluk Allah. Iblis sadar betul, sang pencipta agung seluruh alam semesta dan molikul terkecil di dalamnya, adalah Allah Jalla Jalaluhu. Karenanya, juga dapat dikatagorikan sebagai makhluk Allah Jalla Jalaluhu yang bertauhid.
Sikap bertauhid Iblis sangat teguh, sehingga tidak tergoyahkan oleh perintah Allah sendiri, agar Iblis menghormati Nabi Adam. Perintah Allah Jalla Jalaluhu ini di tolak oleh Iblis, karena Iblis hanya ingin hormat dan tunduk kepada Allah Jalla Jalaluhu secara langsung. Di tengah murka Allah kepada Iblis pun, masih membuat sikap percaya Iblis kepada Allah Jalla Jalaluhu. Sebaliknya, Allah juga memberikan kesempatan atas kepercayaan Iblis ini dengan mengabulkan permintaan Iblis.
Bukti terkabulkannya doa Iblis, yaitu adanya kesempatan Iblis untuk bisa melakukan dua hal: pertama, bisa menikmati hidup hingga hari qiyamah. Kedua, mendapatkan kesempatan bisa menggoda anak cucu Adam hingga hari qiyamah. Meskipun demikian, Allah Jalla Jalaluhu tetap menjaga Nabi Adam dan anak cucunya yang tetap teguh menjaga relasi suci ketauhidan manusia yang berdampak pada sikap baik kepada umat manusia dan lingkungan hidup.
Bagaimana Allah menjaga anak cucu Adam supaya tidak tergoda oleh Iblis? Dari pertanyaan ini, kiranya penting untuk menyampaikan jawaban KH. A. Syahid yang bersumber dari teks kewahyuan dan jejak risalah kenabian. Yang menarik, jawaban dari Mbah Syahid ini tercermin dari suluk beliau, yaitu sebagai sosok yang berbudi luhur dan berkpribadian santun kepada setiap individu dan masyarakat, baik dari latar belakang agama dan budaya yang sama maupun yang berbeda. Berikut ramuan sufistik Mbah Syahid:
Ramuan Sufistik KH. A. Syahid
Dalam pesan singkat Mbah Syahid di tengah pembacaan kitab Minhajul Abidin menegaskan, bahwa jika manusia hanya percaya kepada Allah Jalla Jalaluhu, namun mengabaikan kebenaran yang bersumber dari Allah Jalla Jalaluhu, maka kondisi keberadaan manusia, adalah tidak berbeda dengan keberadaan Iblis. Artinya, sikap bertauhid yang mengabaikan perintah Allah, tetap akan mudah menjadi objek tipu daya Iblis, sehingga akan terjerumus pada fatamorgana kehidupan dan jatuh pada lembah kehinaan, bahkan lebih hina dari manusia.
Jadi, hidup di dunia tidak hanya bertauhid dan menyebut nyebut nama Allah Jalla Jalaluhu, namun juga harus meneguhkan pandangan dan perbuatan sesuai dengan prinsip keutamaan dan kemuliaan yang disampaikan oleh para utusan Allah Jalla Jalaluhu. Mengapa harus mengikuti petunjuk para Nabi, karena kebenaran risalah kenabian seluruhnya bersumber dari Allah Jalla Jalaluhu.
Salah satu contoh prinsip kenabian yang mengajarkan keutamaan hidup, adalah membentuk sikap keseteraan antara sesama umat manusia dan menghargai mereka yang berilmu dan berakhlak terpuji (mahmudah). Sifat dan sikap terpuji seseorang itu, telah mewarisi sifat dan sika para Nabi pembebas dan pencerah. Mereka yang memiliki sifat dan sikap terpuji, adalah mereka yang membebaskan dan mencerahkan umat manusia. Hidup bukan untuk membesarkan diri sendiri dan menguatkan hegimoni diri sendiri.
Sebagaimana ditegaskan oleh Mbah Syahid, bahwa ketika manusia merasa lebih dari yang lain, maka bersamaan dengan apa yang dirasakan ini, Allah akan menurunkan derajat seseorang yang merasakan lebih itu di bawah mereka yang dianggap rendah dibawahnya. Sifat dan sikap ini sering disebut dengan bentuk kesombongan.
Kesombongan seseorang akan melanggar melampaui hak Allah, karena sifat kebesaran itu merupakan selendang Allah Jalla Jalaluhu. Misalnya, orang kaya merasa lebih tinggi dari yang miskin, yang cantik merasa lebih layak dihormati, yang bernasab dan berpangkat merasa lebih mulia dari rakyat, yang alim rajin ibadah merasa layak dicium tangan dan lebih berhak masuk surga. Dan Sebaliknya, yang miskin merasa lebih suci dari orang kaya yang awam merasa lebih hebat dari ulama. Jadi, sombong itu merupakan sifat buruk bagi semua makhluk, namun bagi orang miskin lebih buruk lagi.
Oleh: Ubaidillah Achmad, Dosen UIN Walisongo Semarang dan Khadim PP. Bait As Syuffah An Nahdliyyah Sidorejo Pamotan Rembang.
Tags
Wacana