Doc. Internet |
Akhir
semester gasal 2017, ada pengumuman dari Birokrasi UIN Walisongo Semarang kepada
seluruh mahasiswa melalui surat edaran No. B-4285/Un. 10.0/B1/KU.00.1/12/2017. Pengumuman ini
merupakan tindak lanjut dari Surat Keputusan Rektor UIN Walisongo Semarang No
389 Tahun 2017 tanggal 4 Oktober 2017 tentang Kepesertaan Jaminan Kesehatan
Nasional Mahasiswa UIN Walisongo. Dalam surat tersebut setiap mahasiswa diwajibkan terdaftar sebagai anggota Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Dengan tenggang waktu antara 8-26
januari 2018, kemudian mengupload bukti kepesertaan JKN di laman akademik.walisongo.ac.id. Di poin g disertakan sebuah ancaman, ketika tidak melakukannya,
mahasiswa tidak bisa
mengakses yudisium nilai pada sistem informasi akademik.
JKN merupakan
bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan
menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory)
berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak untuk diberikan kepada
setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah.
Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah suatu tata cara penyelenggaraan program
jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial. Dewan Jaminan
Sosial Nasional (DJSN) adalah Dewan yang berfungsi untuk membantu Presiden
dalam perumusan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN.
Sedangkan yang
menjalankan program JKN adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS sendiri adalah badan atau perusahaan asuransi
yang sebelumnya bernama PT Askes yang menyelenggarakan perlindungan kesehatan
bagi para pesertanya. Perlindungan kesehatan ini juga bisa didapat dari BPJS
Ketenagakerjaan yang merupakan transformasi dari Jamsostek (Jaminan Sosial
Tenaga Kerja). Yang kinerjanya diawasi oleh DJSN.
Penetapan UU tentang JKN dinilai mempunyai banyak
masalah. Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) lalu disahkan juga Undang-undang No. 24 Tahun 2011 Tentang BPJS (UU BPJS)
memang terlihat sangat dipaksakan dalam penetapannya. UU SJSN diteken oleh mantan presiden Megawati Soekarno
Putri saat akhir
jabatannya tahun 2004. Lalu Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan ngotot
untuk meloloskan UU BPJS dengan memengaruhi rakyat bahwa BPJS jaminan kesehatan
yang sangat ideal untuk rakyat.
Sesuai Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), maka peserta JKN adalah seluruh masyarakat
Indonesia. Kepesertaan JKN sendiri adalah bersifat wajib, tidak terkecuali juga
masyarakat tidak mampu karena metode pembiayaan kesehatan individu yang
ditanggung pemerintah.
Pembayaran BPJS
juga sudah diatur dalam
Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013. Jenis Iurannya dibagi menjadi 3 jenis. Pertama, Iuran Jaminan Kesehatan bagi penduduk yang didaftarkan oleh
Pemerintah daerah dibayar oleh Pemerintah Daerah (orang miskin dan tidak
mampu). Kedua, Iuran Jaminan Kesehatan bagi peserta Pekerja Penerima Upah (PNS, Anggota
TNI/POLRI, Pejabat Negara, Pegawai pemerintah non pegawai negeri dan pegawai
swasta) dibayar oleh Pemberi Kerja yang dipotong langsung dari gaji bulanan
yang diterimanya. Ketiga, Pekerja Bukan Penerima Upah (pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja
mandiri) dan Peserta bukan Pekerja (investor, perusahaan, penerima pensiun,
veteran, perintis kemerdekaan, janda, duda, anak yatim piatu dari veteran atau
perintis kemerdekaan) dibayar oleh Peserta yang bersangkutan.
Sedangkan fasilitasnya
dalam Jaminan kesehatan dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, untuk mendapat fasilitas kelas I
dikenai iuran Rp 59.500 per orang per bulan. Kedua, fasilitas kelas II dikenai iuran Rp
42.500 per orang per bulan. Ketiga, fasilitas kelas III dikenai iuran Rp 25.500 per orang
per bulan.
Walaupun sudah mengangsur setiap bulannya, praktek
pelaksanaan BPJS juga banyak masalah. Misalnya, pasien yang menggunakan BPJS memiliki
banyak keluhan saat berobat menggunakan BPJS. Seperti terlantarnya pasien BPJS
saat mencari pengobatan di puskesmas dan rumah sakit, sulitnya mencari ruang
perawatan, lambatnya penanganan terhadap pasien BPJS, bahkan ada juga kasus
pasien yang dibuang oleh petugas ambulans. Dari kasus tersebut menimbulkan
stigma negatif rakyat terhadap BPJS.
Sampai 3 maret
2017, total peserta JKN-KIS telah mencapai 174.777.376 jiwa yang terdiri atas 92.100.301
peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) APBN, 16.309.479 peserta PBI APBD,
13.327.804 peserta PNS, 1.562.067 peserta TNI, 1.225.992 peserta Polri,
1.430.536 peserta BUMN/BUMD, dan 23.521.754 peserta penerima upah (PPU) swasta,
20.291.458 peserta bukan penerima upah (PBPU) atau dikenal juga dengan peserta
pekerja mandiri, dan 5.007.985 peserta bukan pekerja.
BPJS Goes To Campus
Menurut berita
dari kelembagaan.ristekdikti.go.id
tertanggal 10 maret 2017 berjudul BPJS
Kesehatan Gandeg Kemenristekdikti, BPJS telah melakukan kerja sama dengan kementerian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Tujuannya dalam rangka mewujudkan
cita-cita jaminan kesehatan semesta (Universal Health Coverage) pada 1 januari
2019. Seluruh civitas akademika kampus diharapkan menjadi peserta BPJS dan
selanjutnya akan bisa mendorong rakyat sekitar untuk mengubah pola pikir
tentang jaminan kesehatan.
Ruang lingkup nota kesepahaman antara BPJS dan
Kemenristekdikti meliputi optimalisasi komunikasi, informasi dan edukasi dalam
pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) di Perguruan tinggi.
Progam kerja sama ini diberi nama ‘BPJS Kesehatan Goes to Campus’.
Sudah banyak kampus negeri maupun swasta yang menerapkan program ini, diantaranya
Universitas Indonesia,
Universitas Padjajaran, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung,
Universitas Airlangga, Universitas Sriwijaya, Universitas Sumarera Utara,
Universitas Diponegoro, dan Universitas Sebelas Maret.
Sedangkan di UIN Walisongo Semarang
sendiri, seperti yang
dilansir ideapers.com sudah ada MoU antara BPJS Kesehatan
dengan UIN Walisongo. Tapi, permasalahannya, kerja sama yang
menghasilkan keputusan seluruh civitas akademika kampus diharapkan mendaftarkan
diri. Kemudian, kata “diharapkan” diinterpretasikan dengan mewajibkan seluruh
mahasiswa untuk mendaftarkan diri? Apalagi mewajibkan itu dengan ancaman tidak
akan bisa melihat yudisium
nilai di sistem informasi akademik kampus.
Dari sini ada kerancuan terkait pemahaman Birokrat
UIN Walisongo atas kerja
sama yang terjadi antara Menristekdikti dengan BPJS. Mengapa ada
pemaksaan-diwajibkan- kepada seluruh mahasiswa. Bukankah seperti itu termasuk pengekangan dan
pemaksaan, dan itu merupakan
suatu pembodohan dalam
dunia pendidikan. Hal ini secara tidak langsung akan tertanam di alam bawah sadar seluruh mahasiswa. Akibatnya,
mahasiswa nanti juga akan melakukan hal yang sama ketika sudah lulus dan
mengajar di lembaga pendidikan.
Padahal, seperti
ungkapan tokoh pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara, “anak-anak hidup dan
tumbuh sesuai dengan kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan
menuntun tumbuhnya kodrat itu”. Dari ungkapan itu secara tidak langsung menyinggung
bahwa tidak boleh ada pemaksaan dalam dunia pendidikan (dalam hal apapun). Jika
ada pemaksaan dalam dunia pendidikan, maka hakikat dari pendidikan itu tidak
akan bisa tercapai.
Meskipun sesuai
UU Nomor 40 Tahun 2004 dan Perpres 111 Tahun 2013 untuk seluruh warga negara
wajib untuk mendaftar BPJS. Akan tetapi, tidak ada ketentuan batasan waktu dari
pemerintah untuk mendaftar BPJS. Harusnya birokrasi kampus juga tidak boleh
memaksakan mahasiswanya mendaftar BPJS dengan jangka waktu yang sudah
ditentukan, apalagi ada ancamannya. Karena lembaga pendidikan tidak ada hak
untuk memaksa mendaftar BPJS dengan jangka waktu yang sudah ditentukan.
Namun, dalam
surat edaran tersebut disertakan tenggat waktu untuk mendaftarkan diri, yakni
sampai pada 26 Januari 2017. Ketika belum mendaftarkan diri, mahasiswa tidak
akan bisa mengakses yudisium nilai. Jika mau melihat nilai, ada dispensasi yang
diberikan Birokrat. Dispensasi tersebut adalah berupa penambahan waktu satu
semester. Sebelumnya, mahasiswa diharuskan membuat surat pernyataan dan
mengupload ke laman akademik.walisongo.ac.id.
Namun, pemberian disepensasi ini terkesan hanya sebuah kata-kata manis belaka. Karena,
hal itu sama saja dengan masih memaksakan seluruh mahasiswa untuk mendaftar
JKN.
Lembaga pendidikan yang seharusnya membentuk peserta
didik menjadi lebih baik dan berkarakter, justru malah melakukan pembodohan kepada mahasiswanya
dengan memaksakan kehendak atau pengekangan. Mahasiswa sebagai manusia yang utuh
berhak menentukan dirinya sendiri, kapan dia akan mendaftar JKN. Dan birokrasi kampus tidak berhak memaksanya. Mahasiswa bukan kerbau yang harus
selalu diatur, diperintah dan diancam.
Birokrat kampus memang sudah memiliki niat baik
untuk ikut menjalankan program pemerintah dan juga memperhatikan kesehatan
seluruh mahasiswanya. Tapi dengan cara seperti itu? Seakan memaksakan kehendak.
Penulis jadi curiga, sebenarnya niat baik saudara ini untuk siapa?
Oleh: Muhammad Luthfi Hakim
Tags
Wacana
Headernya marakke bingung mas...
BalasHapus