Suatu hari, Budi pergi ke kantin salah satu kampus negeri di kota Semarang. Kantinnya tidak cukup besar, hanya berukuran 5x7 meter saja tidak termasuk dapur. Ia langsung menghadap Ibu kantin untuk memesan makan dan minum. Setelah mendapat pesanannya, alangkah terkejut ia mendapati meja kantin penuh dengan piring dan gelas kotor.
Sebetulnya,
ia biasa – biasa saja dengan pemandangan piring dan gelas kotor di meja rumah
makan atau kantin, mengingat kewajiban Ibu kantin dan anak buahnya tidak hanya
membersihkan meja. Yang membuat Budi terkejut yaitu sisa makanan yang tidak
biasa: dua piring nasi bersisa setengah penuh lengkap dengan lauk, tiga gelas
es teh tersisa setengah, satu gelas penuh es kopi, dan satu piring bersih tanpa
sisa makanan dengan setengah gelas kopi disampingnya. Semua itu sudah ditinggal
pembeli (mahasiswa, red) saat Budi sampai di meja.
Lantas,
tangan Budi yang cekatan segera menyingkirkan piring – piring itu ke sisi meja yang
lain. Sebetulnya, ia tidak ingin makan dengan keadaan semacam ini. Kegiatan
makannya pun terganggu dengan pertanyaan – pertanyaan yang timbul seketika.
Faktor
Manusia Penyebab Utama
Ada
beberapa penjelasan – penjelasan yang masuk akal, meskipun beberapa tidak memiliki
data dan fakta yang akurat alias berdasar pada pengalaman semata. Yang pertama
ialah sebab mengapa orang, tidak hanya mahasiswa, meninggalkan sisa makanan di
piring dikarenakan ia sudah kenyang di tengah jalan.
Sebenarnya,
banyak hal yang menyebabkan munculnya sisa – sisa makanan ini. Salah satunya
adalah orang yang meninggalkan makanannya setelah mengetahui rasanya yang
‘tidak enak’. Perilaku semacam ini tidaklah baik. Seorang yang berakal, jika
dari awal memang tidak berniat makan, pastilah ia memilih untuk tidak makan.
Mengapa? Tentu karena resiko besar yang akan ia lakukan: menyisakan makanan.
Ada
juga satu data menarik. Menyisakan makanan rupanya sudah menjadi budaya.
Menurut Sitta Manurung, seorang praktisi kuliner yang berkutat pada bidang
sosiologi makanan menyatakan bahwa beberapa suku di Indonesia menganggap bahwa
tindakan membersihkan piring hingga menjilatinya merupakan perilaku tidak sopan
dan rakus.
Selain
itu, orang – orang ini sepertinya tidak memiliki kesadaran beragama yang baik. Perbuatan
menyia – nyiakan rahmat merupakan suatu dosa di agama manapun. Di dalam ajaran
islam, diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya
Allah membenci kalian dikarenakan 3 hal: kata – katanya (berita dusta), menyia
– nyiakan harta dan banyak meminta,”.
Dampak
Buruk Untuk Lingkungan
Makanan
– makanan sisa tersebut akan menumpuk, semakin lama semakin banyak. Lalu, lambat
laun akan menghasilkan gas metana. Gas ini 23 kali lebih kuat daripada gas CO2,
menjadi salah satu yang menyebabkan efek rumah kaca. Efek rumah kaca ini yang
menyebabkan lapisan ozon berlubang – lubang. Efeknya sungguh fatal. Sinar
matahari menyinari bumi tanpa adanya filter sehingga sinar UV langsung mengenai
tumbuh – tumbuhan dan manusia, tentu saja menyebabkan kerusakan meskipun tidak
langsung terlihat.
Ada
beberapa fakta menarik. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) menemukan,
setidaknya ada 1,3 miliar ton makanan yang terbuang dalam satu tahun. World
Research Institute menambahkan, dibalik angka tersebut terdapat 45 triliun
galon air yang juga terbuang. Seolah – olah mereka—atau kita yang melakukan
tidak ingat dengan orang – orang di Afrika dan daerah – daerah konflik yang
lain seperti di Timur Tengah. Jangankan makan, mereka saja jarang lihat
makanan.
Tentu
saja membuang – buang makanan juga berarti telah menyia – nyiakan lahan, air
dan keanekaragaman hayati. Ada sekitar 1,4 miliar hektar lahan yang hasilnya
terbuang sia – sia pada tahun 2007. Potensi pertanian dan peternakan yang besar
dan berusaha dimanfaatkan oleh para petani diseluruh dunia menjadi sia – sia.
Budi
juga merasa kasihan dengan Ibu kantin dan para anak buahnya. Sebelum mencuci
piring dan gelas kotor, mereka harus membuang sisa – sisa makanan ke tempat
sampah. Mungkin yang satu ini tidak begitu mengganggu. Bagaimana saat akan
dibuang ke tempat pembuangan atau saat akan diangkat ke kontainer sampah? Jika
yang mengangkut langsung adalah petugas sampah, itu wajar. Jika tidak, Ibu
kantin dan anak buahnya harus menahan bau busuk dan mungkin juga menyingkirkan
ulat – ulat yang bisa jadi sudah menelusup di balik pakaian mereka.
Dari
fakta diatas, limbah makanan tersebut menjadi salah satu kontributor
perusakan lingkungan. Tentu, para pembeli (termasuk kita) harus segera sadar
akan tindakan yang merusak lingkungan. Seketika itu juga, Budi merenung
dihadapan piringnya. Ia bingung, harus ia apakan sepotong lengkuas
dihadapannya.
*)Penulis adalah Achmad Agung Prayoga, kru LPM Edukasi tahun 2017
*)Sumber ilustrasi: Google Images
*)Sumber ilustrasi: Google Images