Doc : Edukasi |
…
Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk merdeka
…
Apa yang diingat kembali dari perayaan Hari
Kartini? Mungkin tidak ada, selain perayaan tentang busana, masakan, tata rias,
kecantikan dan hal-hal lain yang ‘dianggap’ sangat identik dengan jati diri perempuan.
Jati diri perempuan digambarkan hanya persoalan wajah dan busana saja. Tidak
ada yang lain. Selain hal itu, kita seperti melupakan. Padahal, pada masa
Kartini hidup, cita-cita yang diingkannya bukan hal tersebut. Tapi semakin hari
perayaan Hari Kartini adalah soal wajah dan busana saja.
Bahkan ada yang merayakannya dengan
mengadakan kontes kecantikan. Bukankah itu sama saja dengan melakukan tindakan
eksploitatif terhadap perempuan? Perempuan secara tidak langsung ditelanjangi
oleh mata. Meskipun tidak dalam keadaan telanjang. Perempuan hanya dipandang
persoalan kecantikan tanpa memedulikan kehidupannya.
Parahnya di lembaga-lembaga
pendidikan—wadah yang diidam-idamkan oleh Kartini-- perayaan Hari Kartini juga
dirayakan dengan tetek bengek kecantikan, tradisi dan sesekali mengutip
dengan surat-surat yang telah ditulisnya. Sama juga, memakai pakaian kebaya dan
berdandan. Yang sejak jauh-jauh hari sebelumnya sudah diributkan dengan gincu
merek apa yang akan digunakan, di manakah salon yang akan dijadikan sebagai penata
rias dan hal-hal lain yang bisa mempercantik diri. Perayaan Kartini seolah-olah
adalah tentang budaya konsumtif perempuan masa kini saja.
Sementara para gadis-gadis di sekolah sibuk
menyiapkan hal tersebut. Ibu-ibu muda yang baru saja menikah dan terpaksa harus
keluar dari sekolah, menekuri nasibnya. Di rumah harus masak dan mencuci
pakaian suaminya. Dan cita-citany a terpaksa harus padam.
Padahal sejarah sudah menunjukkan,
bagaimana Kartini dipadamkan cita-citanya. Kawinkanlah. Pada masa Kartini,
Belandalah yang mendesak orang tuanya untuk segera menikahkan. Dan strategi
Belanda ampuh memadamkan cita-cita perempuan itu.
Akan tetapi sekarang ini, Belanda berubah
menjadi orang tua-orang tua kita. Yang
terlalu kolot terhadap tradisi. Bahwa perempuan harus menurut dengan
orang tua. Bahwa perempuan harus menikah sejak usia dini. Bahwa tugas perempuan
hanya mengurusi soal macak, manak, masak. Lalu untuk apa sekolah
tinggi-tinggi. Kalau akhirnya juga tugasnya hanya soal itu-itu saja.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik
(BPS) tahun 2016, angka pernikahan perempuan usia dini di Indonesia masih
tinggi. Penyebabnya adalah faktor budaya dan ekonomi. Faktor budaya disebabkan
oleh adanya paksaan dari orang tua untuk segera menikah, karena tradisi dalam
keluarga. Sedangkan ekonomi disebabkan oleh kemiskinan.
Sementara perempuan yang lain dihadapkan
dengan masalah budaya dan ekonomi, perempuan yang lain disibukan dengan budaya
konsumtif. Barangkali benar dengan apa yang dituliskan oleh Soe Hok Gie,
perempuan akan tertinggal jauh dengan laki-laki kalau persoalan yang diurusi
adalah hanya gincu saja.
Lagi-lagi, kita harus kehilangan Kartini.
Yang mati lagi, Karena dibunuh oleh kaumnya sendiri. Di pendidikan yang
diidam-idamkan, Kartini dibunuh dengan budaya konsumtif dan gincu. Sedang di
sosial masyarakat, Kartini dipadamkan melalui pernikahan perempuan anak usia dini.
Lalu di manakah sekarang cita-cita Kartini
bisa hidup kembali? Cita-cita itu bisa hidup di hati perempuan yang berpikir
lebih dari zamannya. Tidak hanya sibuk mengurusi gincu saja. Karena bagi
Kartini, “dari semenjak dahulu kemajuan perempuan itu menjadi pasal yang amat
penting dalam usaha memajukan bangsa. Kecerdasan pikiran penduduk pribumi tiada
akan maju dengan pesatnya, bila perempuan itu ketinggalan dalam usaha itu.
Perempuan jadi pembawa peradaban”.
Oleh : Ahmad Amirudin
Tags
Wacana