Doc. Internet |
Aku
gagal untuk tak mencintai, jadi kucintai dalam pengertian demikian.
Aku
jungkal saat menghindari benci, jadi kubenci dalam kesederhanaan demikian.
***
Beberapa
orang terlihat bahagia melalui media sosialnya disertai tawa untuk meyakinkan
kebahagiaannya. Beberapa yang lain tak segan menunjukkan kesedihannya disertai
tangis untuk membuktikan betapa pilunya perasaan mereka. Ada pula yang mencoba
menghibur diri dengan emoji tawa yang disertai kata yang mengatakan betapa
sedihnya mereka.
Tidak
ada yang tahu apa yang sebenarnya mereka rasakan, orang terpaksa atau
memaksakan diri sebagai pengamat hanya bisa berasumsi dengan foto yang telah
terunggahkan ke dunia maya.
Dia,
adalah seseorang yang berbeda dengan realitas yang berjalan berdampingan di
sampingnya. Mereka tidak akan pernah tau. Mereka hanya akan memandangnya sama
seperti udara yang hanya akan berlalu lalang tanpa sekelebat bayangan. Dia
meletakkan senyuman yang hangat dan lebar di setiap sudut ruang pengelihatan.
Dia memamerkan segala keteguhan dan kegigihannya dalam setiap perkataan namun
tidak dalam pemikirannya. Keahliannya yang paling tidak dapat dipungkiri adalah
untuk melakoni setiap tindakan yang ia lakukan bagi mereka tanpa memperlihatkan
adanya noda. Mereka tersenyum, mereka tertawa, mereka tidak tahu.
“Permasalahannya
adalah puisi itu kau baca?” Sanggahnya dengan nada tinggi.
“Ha,
berhenti memelototiku, matamu hampir keluar tahu!”
Sambil
membenahi duduknya, Zam tetap bersikeras dengan argumen mentahnya, barangkali
dia masih belum bisa menerima segala sesuatu mentah harus ada bumbunya dan
syarat upaya sehingga segalanya jadi matang.
“Tapi
puisi ini, kalau tidak kita baca terus bagaimana kita dapat tahu dan
memaknainya? Bagaimana kita dapat mengartikan dari satu bait ke bait yang lain
dan bagaimana kita harus menyikapinya jika kita tidak melihat dulu alias
membaca puisi itu.”
“BISA!”
Nadanya meninggi sejurus dengan tanggapanku mengenai
sebuah argumen yang mengatakan bahwa engkau tak akan bisa paham isi puisi soalnya
kau baca puisi itu. Kata-kata yang diciptakan oleh isi kepalanya sendiri. Zam
yang memang bebal dan kepala batu tidak bisa menerima begitu saja argumen tak
bereferensi itu, dia yang sebelumnya baru saja mencoba menceburkan diri ke
dunia sastra tidak mau begitu saja disanggah oleh orang meskipun itu teman
ngompolnya sewaktu kecil.
“Oke
oke tidak usah sampai berteriak begitu. Bilang padaku dengan apa kau pahami
puisi kalau begitu?”
“Orang-orang
memberitahuku. Jadi aku tidak usah repot-repot membaca mendalam, menafsirkan
atau apalah itu.”
“Orang-orang?
Apa yang kau maksudkan Zam?”
“Sebenarnya
begini, aku menulis puisi lalu aku share tulisanku
itu pada akun media sosial yang aku punya, lalu orang-orang mengomentari puisiku,
jadi aku memaknai melalui itu.”
Aku manggut-manggut mencoba memahami
serta meresapi apa
yang dikatakan oleh Zam, menimang-nimang. Sulit memang, tapi
apa yang disampaikan
olehnya menurutku jenaka dan ada benarnya
sedikit. Bukankah mulut orang adalah cerminan diri kita?
Sembari menyeruput kopi Zam bertanya, “Memangnya apa yang membedakan antara kita
membaca puisi itu ataupun tidak?” tanyanya mencoba mencari penjelasan yang masuk akal.
Sepertinya akan ada perdebatan yang alot.
“Begini Zam,
biar ku utarakan sedikit pendapatku,”
“Biar ku
selatankan,” sahutnya menyela.
“Apa?”
“Hehehe, bukan
apa-apa, lanjut lanjut.”
“Menurutku yang harus
kita lakukan adalah
berteman dengan kata itu dan melebur bersamanya untuk bisa menyelam lebih
dalam dan menemukan
kesejatian makna.”
“Tapi kukira semakin kita berusaha untuk menguasai kata,
kita malah tidak akan mendapat apa-apa.”
Aku diam. Kalimat Zam barusan terasa
dalam sekali, seperti ada yang memegang tanganku lalu aku dibawa dalam
ketenangan.
Sosial
media, dunia maya, bisa mendekatkan mereka yang telah terjarakkan, bisa pula
menjarakkan mereka yang sempat berdekatan. Antar mata yang kemudian menjadi
antar udara, hingga antar dunia yang melalui sepenggal tulisan doa. Mereka dulu
yang sempat berbagi tawa ketika duduk berdampingan di depan emparan pertokoan,
kini telah kesulitan untuk bertegur sapa meskipun melalui layar perangkat
mereka.
“Maka dari itu untuk berteman dengan kata, kita
harus membaca, begitupun puisi, sastra, kita mulai dengan membaca puisi agar
kita dapat paham dari tiap bait.”
“Apalah kau ini
dari tadi menyuruhku baca-baca. Lalu kau sendiri sudah baca belum puisi
terbaruku?”
“Sudah kau
unggah ke sosial media?”
“Ha’ah, sana
cepat lihat dan kau baca benar-benar. Ku tulis puisi itu untuk kau tahu, untuk kisah
percintaanmu yang tidak beruntung, hahaha.”
Ku lakukan apa yang dikatakan Zam,
benar juga, sialan kau Zam. Hahaha.
***
“Bagus
sekali puisimu kali ini.”
“Iya?
Bagaimana penafsiranmu?”
“Haha,
kau selalu saja bertanya hal itu, padahal kan kau yang buat puisinya.”
“Katakan
saja, seperti biasannya.”
“Seperti
ayat tuhan yang mengatakan bahwasanya apa yang baik
menurut kita belum tentu yang terbaik, namun apa yang
diberikan tuhan, itulah yang terbaik walaupun menurut kita masih kurang. Memang sifat kita sebagai manusia merasa
serba kurang, ada yang lebih malah minta dilebihkan. Tuhan kan pemberi kecukupan bukan pemberi berlebihan, dan sama halnya, seperti kita berusaha memiliki sesuatu, justru itulah yang paling sulit
didapatkan, dan apa yang menurut kita sudah paling cocok, justru itulah yang paling
berlawanan.”