Dok. Internet |
Mudik atau pulang
kampung telah menjadi hari raya tersendiri setiap tahun. Ingar bingarnya terasa
sejak umat islam merayakan kegiatan puasa. Puncak kegiatan biasanya terjadi
menjelang sepekan sebelum hari raya idul fitri. Meskipun hanya setahun sekali,
mudik telah menjadi fenomena khas Indonesia yang menawarkan kegiatan ekonomi
yang panjang.
Momentum setahun sekali
ini telah menggerakkan segala lini. Mulai dari pengaturan jalan raya,
penyediaan angkutan dan lain sebagainya. Tak mengherankan jika beberapa
perusahan juga ikut andil dalam momentum ini. Beberapa bahkan siap menyediakan
angkutan untuk mudik gratis. Ajang ini tentu merupakan ajang promosi bagi
perusahaan tertentu.
Realita mudik sendiri
merupakan cermin lain dari dampak ketimpangan ekonomi yang besar di Indonesia. Alasan perpindahan
penduduk dari desa ke kota untuk mencukupi kebutuhan menguntit di belakang realita ini. Alasan
tersebut merupakan dampak dari gerak urbanisasi bahwa mencari pekerjaan di kota
lebih menjanjikan daripada di desa.
Dengan alasan itu
pula, dugaan urbanisasi terbesar di Indonesia tercipta saat mudik
lebaran. Orang pulang senantiasa kembali membawa banyak orang dengan alasan
yang sama. Meskipun kehidupan kota tidak selalu baik dan sumpeknya ruang tidak
menjadi penghalang. Kota menjadi
semacam
kue besar bagi sebagian orang desa.
Selain itu, gerak ini
dipengaruhi hal lain, seperti budaya yang ada di masyarakat. Minangkabau
mempunyai sisi ini, merantau seolah menjadi budaya. Sedangkan dalam catatan
sejarah gerak persebaran penduduk dilakukan secara besar-besaran oleh etnis
tionghoa. Hingga bisa jadi kita menemukan etnis tionghoa di belahan bumi
manapun. Dampak baiknya adalah perluasaan budaya mereka.
Namun sisi berbeda
harus tetap ditangkap. Mudik membawa ruang menjadi sempit. Lonjakan penduduk
secara mendadak juga menambah mau tak mau lahan ada pembangunan di sana-sini. Sedangkan dalam ruang berbeda-desa-mengalami
stagnasi. Desa menjadi sepi dan gelora menghidupkan perekonomian desa semakin tipis.
Pada akhirnya stagnasi
itu menciptakan anggapan bahwa orang harus ke kota untuk makan. Menceritakan
dirinya dengan kekayaan yang tak seberapa diperoleh dari kota. Syukur-syukur ia
kerja kantoran dan menjadi seseorang berpakaian agak kekinian. Tolok ukur demikian kian meroketkan
anggapan ke kota dan membuat orang suka bangga.
Ini tak lepas dari
teori psiko-sosial Maslow bahwa manusia butuh pengakuan. Lewat pengakuan inilah
hal sepadan kita bisa dapat dari desa. Kau jadi punya senyum perlente dan orang
tuamu punya senyum sumringah. Tanpa kau susah-susah ngajar jadi guru dan petani kere
di desa. Bagai pepatah lama katak dalam
tempurung. Sedangkan kawan-kawan seperjuangan telah lari mengelilingi dunia.
Dengan begitu pula
orang tuamu akhirnya ngedumel, menjadi
radio yang hanya memiliki satu kanal. Lihat
tetangga atau si A dan si B. Kerja dan aku bisa pakai perhiasan. Kau jadi
sarjana tapi kere. Meskipun ucapan demikian tidak dilandasi kesadaran penuh
dari ibumu. Tapi falsafah kota tempat cari makan seolah telah memakan ibumu. Sialnya,
tak ada kosa kata “mengerti” kalau kau di kota kau jadi robot dan buruh.
Tinggal mari kita pilih
sebelum hari raya ini berlangsung. Pulang lebih awal ke desa tanpa harus
membawa apa-apa, menetap di desa menatap hidup bahagia jadi petani. Kipas-kipas
di pematang sawah ketika matahari tinggi. Bisa kau bayangkan juga, istrimu
membawa rantang dan senyum secara bersamaan. Betapa mulia hidup merdeka jadi
tuan akan diri sendiri.
Jadi bagi saya tidak
merayakan mudik adalah merayakan menjadi seorang raja, sekaligus menghindarkan
teman-teman saya masuk dalam lingkaran robot. Namun saya tidak bisa melakukan
hal demikian. Saya hanya takut pada ibu saya. Seperti lagu religi “jika kau
buat ibumu murka, Tuhan akan ikut murka” kurang lebihnya begitu. Jadi saya
tetap saja ke kota untuk mudik kembali nantinya.
Tapi apa yang lebih penting dari keluh-kesah itu. Yakni mudik dan
fenomena disekelilingnya merupakan PR besar perihal membenahi segala bentuk pola
pikir. Tak ada salah jika kita masih berharap pada lembaga pendidikan menerapka pola pikir bangga tetap di kampung. Karena selama ini,
masih banyak guru yang enggan menyuarakan kalau jadi petani, nelayan dan berbau
kampung halaman sendiri adalah kemunduran.
Sedangkan untuk orang tua, kita tentu masih berharap pada pemerintah.
Memberi potensi besar di kampung dan membenahi bahkan melatih mereka guna
meningkatan taraf ekonomi. Hingga ada kebanggaan tersendiri menjadi petani atau
pekerja di kampung sendiri. Karena sadar atau tidak yang mengusir kita ke
kampung kebanyakan adalah orang tua sendiri dengan harapan kemajuan ekonomi.
Mungkin dengan begitu, kedepannya kita bisa merayakan diri kita sendiri
di hari nan fitri. Bukan begitu?
*)Penulis adalah Abdul Aziz Afifi, Kru LPM Edukasi