Terlihat resitasi pom-pom tercecer di area audit 2 kampus III (Doc. Prayoga) |
Orientasi
studi dan pengenalan kampus (ospek) merupakan awal untuk mengenal institusi di
mana mahasiswa baru akan berkuliah. Awal ketika ia akan mengetahui bagaimana
budaya akademik yang ada, sebelum mengenal lebih jauh tentang institusinya.
Setiap tahunnya, ospek terkesan menjadi momen hura-hura. Meski tujuan dari
ospek yaitu pengenalan budaya akademik kepada mahasiswa baru tersampaikan,
hal-hal yang mengitarinya adalah pemicu munculnya anggapan tersebut.
Dari tahun
ke tahun, ospek selalu dibuat menjadi lebih meriah. Panitia selalu berusaha
menghadirkan hal baru. Mulai dari rangkaian acaranya hingga hal-hal yang
dibebankan kepada mahasiswa baru untuk mereka; penugasan atau yang biasa
dikenal resitasi. Seperti yang pernah saya temukan di sebuah tulisan di media
sosial. Pada ospek yang diadakan di Universitas Gadjah Mada, panitia
membebankan resitasi pom-pom pada mahasiswa baru. Bahkan, dalam tulisan
tersebut, ada yang berkomentar bahwa ia harus mengganti pom-pomnya karena tidak
sesuai persyaratan.
Resitasi
ternyata menjadi persoalan di setiap institusi. Entah karena sulitnya
menjangkau keperluan resitasi atau karena kekonyolan yang ditimbulkannya.
Ketika ospek bergulir, saya mengingat masa orientasi pada masa Sekolah Menengah
Atas (SMA) yang sesungguhnya memiliki inti kegiatan yang sama. Saya mengingat
bagaimana sulitnya menerjemahkan apa yang panitia minta, seperti ‘alat tulis
profesi’ dan lain sebagainya. Belum ditambah dengan membuat kartu nama yang
cukup untuk menutupi perut dan menganyam tali rafia warna pelangi. Itu
merupakan sesuatu yang sulit saya terjemahkan.
Sepertinya,
resitasi yang dari tahun ke tahun selalu ‘baru dan kreatif’ tidak membuat
mahasiswa baru untuk mengenal institusi mereka dengan mudah. Namun resitasi
malah menjadi beban bagi mahasiswa baru. Walaupun tak mengurangi dan mengganggu
proses pengenalan yang ada, bukan berarti pembebanan resitasi adalah hal baik.
Pada Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) yang diadakan di
Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo tahun ini, timbul beberapa kejanggalan.
Seperti pengadaan resitasi oleh kepanitiaan yang memunculkan upaya monopoli hingga
pembebanan resitasi yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan proses pengenalan
budaya akademik. Contohnya adalah resitasi pin dan resitasi pom-pom. Meski
menimbulkan kontroversi karena pengadaannya yang dimonopoli oleh Dewan
Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Universitas—tapi pada akhirnya membolehkan pihak
lain untuk menjual, adanya resitasi pin cukup masuk akal karena pin tersebut
dapat digunakan untuk aksesori. Lalu bagaimana dengan resitasi pom-pom?
Nampaknya pembebanan
resitasi malah menjadi momen hura-hura, pemborosan, dan sebuah upaya untuk menunjukkan
institusi siapa yang paling meriah. Parahnya, hal itu juga menjadi tunggangan
bagi beberapa manusia untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Sewaktu masa
orientasi SMA, satu-satunya (atau mungkin salah satunya) kepentingan yang ada
dalam masa tersebut adalah membuat siswa baru takut dengan siswa-siswa tua yang
mendekati masa akhir dan memiliki wajah ngeri lalu diakhiri dengan maaf-memaafkan
pada hari terakhir masa orientasi. Tapi di dunia kampus, tidak sesederhana itu
saja. Ada banyak sekali kepentingannya.
Apalagi
mahasiswa baru memiliki beban Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang semakin mahal
ternyata harus ditambah dengan beban resitasi yang juga tidak murah. Ketika masa
SMA, tidak ada beban untuk membayar uang Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), sehingga
pembebanan resitasi bukanlah sesuatu yang cukup menyusahkan. Tetapi pada masa
setelahnya, yaitu masa pendidikan tinggi, ada beban UKT yang ternyata tidak
masuk akal. Nampaknya DEMA tidak berpikir soal ini jauh-jauh hari sebelum PBAK.
Selain itu,
mahasiswa baru juga diminta untuk membawa buku dan menulis artikel. Pada tahun
lalu, ketika ospek, saya dan teman-teman juga diminta hal yang sama.
Iming-iming akan dibuatkan perpustakaan fakultas, buku-buku yang terkumpul
ternyata hanya dibiarkan bertumpuk. Sebuah tindaklanjut yang mengecewakan dan
sekaligus sebuah bentuk kejahatan. Pembiaran itu sama hal-nya dengan membakar
buku-buku yang menjadikan tidak berguna. Hal itu memunculkan pertanyaan apakah
ini hanya upaya membangun citra bahwa ada kepedulian literasi?
Lalu soal
penulisan artikel yang sampai saat ini saya pun merasa sukar membuatnya. Saya yakin bahwa sampai saat ini, saya dan
kawan-kawan yang terlibat dalam PBAK tahun lalu tidak paham dengan tema yang
disodorkan. Mungkin juga termasuk dengan panitia yang menyodorkan tema.
Bahkan
mungkin saja telah terlupakan. Ketika awal masa PBAK, saya tak berpikiran
macam-macam soal ini. Saya menganggap bahwa panitia telah memiliki kompetensi
dan paham betul tema itu. Lalu setahun berlalu dan saya tahu bahwa sebagian
besar dari mereka nampaknya sama saja seperti kami, yang tak tahu apa-apa soal
tema, perihal buku dan tulis-menulis. Meski menyusahkan, ada sisi baiknya
sedikit, resitasi penulisan artikel ternyata berguna untuk mengenalkan
bagaimanakah karakter dunia akademik. Setidaknya bagi saya sendiri. Meskipun
sebenarnya sisi buruknya lebih besar, tugas tersebut dapat menimbulkan tindakan
plagiarisme yang merupakan kejahatan terkejam dalam dunia akademik.
Dari ingatan
tentang PBAK dan masa orientasi ketika SMA, saya jadi yakin, bahwa resitasi
adalah suatu yang tidak penting dalam dunia akademik kampus. Barangkali, jika
ada upaya untuk merubah resitasi menjadi suatu hal yang lebih
bermanfaat—mengenalkan budaya akademik kemahasiswaan, saya akan mendukungnya.
Lagi-lagi,
saya harus mengingatkan kembali, ini adalah sebuah tulisan opini. Semoga tidak
ada lagi kesalahpahaman tentang macam-macam tulisan. Terima kasih.
*) Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia luring, kata ‘resitasi’ memiliki arti: 1)
pembacaan hafalan (pengajian) di muka umum; 2) hafalan yang diucapkan oleh
murid-murid di dalam kelas. Adanya penulisan yang jauh dari arti semata-mata
menyesuaikan penyebutan dan pemahaman yang ada di UIN Walisongo.
Penulis : A.A. Prayoga