Dokumen pixabay |
Pada suatu sore di sebuah rumah. Seorang pria teringat masa lalunya yang indah bersama ibu. Ingatan tentang kue yang selalu hangat di hadapan mereka, yang selalu tampak mengilat di atas meja. Kue yang menjadi masakan ibu paling enak di antara masakan lain. Ia tak pernah gagal memukau dan menggugah selera mereka. Pria itu sudah lupa bagaimana bentuknya. Ia mengingatnya samar-samar seperti daun waru yang tebal, samar-samar seperti keranjang sepeda masa kecil—anyaman besi yang membentuk layangan berpanjang sisi sama. Dan samar-samar yang lain. Yang diingatnya hanya rasa dan suasana saat itu. Manis dan hangat.
Itu menjadi alasan mengapa pria itu menyebutnya kue manis. Selain rasanya yang manis, mengingat-ingat kue itu memunculkan sensasi yang tidak biasa. Ada rasa bahagia dan haru, bersamaan juga ada rasa sedih. Rasanya mungkin seperti ketika memakan biskuit dengan selai pasta gigi, kroket dengan isian cairan infus, semangka goreng tepung, atau perpaduan semuanya. Ibunya tak pernah menyajikan makanan demikian. Pria itu memikirkan ibunya lalu rasa haru dan bahagia telah seutuhnya ikut bersedih. Ia pikir lebih baik tak mengingat-ingatnya. Namun semakin ia mengingat, semakin ia lupa.
Sesaat kemudian ia datang ke meja teras rumah dengan secangkir sirup dingin. Meja bundar kayu jati dengan pelitur yang masih bagus. Di atasnya juga ada novel setebal kamus Hasta Karya. Seorang perempuan sinting sedang mencoba memekarkan bunga-bunga di selangkangan dari kertas-kertas itu. Dan juga sepiring kue yang tak pernah pria itu peduli soal namanya. Ia tak pernah peduli soal nama. Ia tak ingat judul novel pertama yang ia baca, nama anjing masa kecilnya yang mati terlindas mobil saat mengejar bola, dan perempuan pertama yang ia kulum bibirnya. Hidupnya terasa sekadar pergi ke swalayan, mengambil sekaleng bir, pergi ke kasir, membalas salam penjaga kasir tanpa peduli namanya, membayar lalu pergi. Apa yang ia ingat dari semua itu? Benar, rasa bir-nya.
Ia memang tak ambil pusing soal hal-ihwal nama dan semacamnya. Ketika ia bisa memanggil siapa pun dengan fitur yang melekat pada orang yang akan dipanggilnya, untuk apa arti sebuah nama? Ia salah satu penganut garis keras satu film yang semua tokoh yang terlibat di dalamnya memiliki nama ‘batu’. Tapi ia yakin tak bisa memanggil semua orang dengan satu nama, karena kenyataannya, film itu hanya fiksi. Konsep nama-itu-tidak-penting-dan-semacamnya adalah non fiksi. Karena keyakinan itu ia memanggil seorang guru perempuannya dengan sebutan ‘wanita berdada bidang dan berbokong lumayan’. Ia menerima surat keputusan pengeluarannya dengan perasaan, kira-kira seperti ketika ia buang air besar, ia lihat tahinya di kloset, lalu menekan tombol flush dengan perasaan lega.
Tapi ia tak bisa enyah juga dari ibunya. Pria itu masih bersedih tentangnya. Beberapa tahun lalu, di meja yang sama ia berhadapan dengan ibunya. Saat itu sedang hujan badai dan atap rumah bocor. Namun obrolan ibu dan anak itu hangat dan menyenangkan. Kuenya juga hangat saat itu. Sebetulnya, yang membuat ia sedih bukan soal ingatan masa lalu. Dia baru saja kehilangan dompetnya. Di sana termuat kartu identitas, uang sisa naik bus, dan potret ibunya. Ia khawatir akan lupa dengan sosok ibunya. Ia khawatir mukjizat pelupanya berganti, dari lupa nama menjadi lupa siapa dan apa. Merupakan suatu musibah besar jika itu terjadi. Ia membayangkan jika saat itu tiba, ketika ia tak bisa mengenali potret dirinya lagi di hadapan medium yang bekerja di pelukan cahaya yang bahkan ia juga tak mengenali apa itu.
Pria itu mengiris kecil kuenya dengan garpu dan pisau, lalu memasukkannya ke mulut dan mengunyah dengan perlahan dan khidmat. Seolah-olah setiap kunyahan memiliki harganya masing-masing. Harga yang tak akan ia dapat jika menelannya langsung. Ketika ia dan ibunya masih bertatap muka, saat itu, ia saling suap-menyuapi dengan ibunya. Seperti sepasang kekasih. Tunggu, mereka memang sepasang kekasih. Pria itu mencintai dan menyayangi ibunya dan sebaliknya. Sepasang kekasih terpisah berkat ketekunannya mengurus diri sendiri. Sehingga ia lupa jika kekasihnya sudah pergi, menghilang, melayang. Ah, apa peduliku! Pikirnya.
Kegiatan mengunyahnya mulai terasa hampa. Kue yang pikirnya tak mirip degan kue ibunya itu, yang rasanya manis, perlahan mulai memudar kadar manisnya. Perlahan berganti menjadi pahit, hambar, lalu menjadi pedas. Asam lalu asin. Dan seketika hambar kembali. Ia tak peduli. Ia terus mengunyah. Lidahnya mulai lupa cara merasakan. Ingatannya yang keruh menjadi lebih parah. Ketika sampai pada rasa pedas, potret ibu di memorinya mulai berganti. Beralih menjadi seorang anak perempuan berusia 4 tahun—mungkin 3 tahun. Lalu menjadi remaja laki-laki yang baru saja selesai mimpi indah. Ketika remaja laki-laki itu berubah menjadi perempuan sinting di novel di atas meja, pria itu telah sampai di hadapan medium itu. Ia mengenali dirinya sebagai tukang fotokopi langganannya, lalu berubah menjadi sekaleng bir yang pernah ia minum. Ketika bir itu telah menjelma kekosongan, perempuan sinting itu telah memekarkan bunga dari selangkanganya dan menenggak sirup dingin serta menghabiskan sisa kue di meja.
Semarang, Mei 2018
*) Penulis adalah Achmad Agung Prayoga, kru LPM Edukasi. Juga aktif di komunitas prosatujuh.