Ilustrasi Sholeh/Kru Magang Edukasi 2018 |
Suara besi tuaku terdengar
nyaring di keramaian kota. Menembus hiruk pikuk dan lalu lalang kendaraan. CB
biru putih yang aku naiki dengan Ricki, terlihat sangat mempesona. Sepanjang perjalanan,
kami berharap mendapatkan ketenangan. Dengan tujuan akan ziarah ke salah satu
wali di kota Cirebon.
Tanpa kusadari tiba- tiba dari
arah kanan jalan, seseorang menyebrang. Suara rem motor dan mobil saling
bersahutan. Semua pengendara terhenti dan terpaku pada laki- laki yang memakai
kaos dan celana lusuh. Ia hanya tersenyum dan memasang raut wajah tanpa rasa
bersalah.
Setelah laki- laki itu menyebrang, jalan kembali lancar.
“nggak waras ya orang tadi ?” tanya Ricki. “iya mungkin”
jawabku sambil fokus berkendara. Kami melanjutkan perjalanan dan akhirnya
sampai tempat tujuan. Istirahat di masjid sambil menunggu waktu magrib.
Kondisi masjid saat itu masih
sepi. Berbeda dengan jalanan yang syarat pengendara. Ku lihat ke arah emperan
masjid bagian kiri. Ku perhatikan dengan seksama, nampak orang yang
kutemui di jalan raya. Namun, memakai
pakaian rapi layaknya kyai. :itu orang tadi ?” tanyaku pada Ricki untuk
memastikan. “Oh...Iya benar”, Ricki menguatkan persangkaku.
Setelah selesai shalat, kami
menuju makam untuk tahlilan. Di akhir do’a
terdengar suara tangisan yang begitu nyaring di telinga. Seluruh peziarah
merasa bingung darimana sumber tangisan itu.
Ziarah kami telah selesai “ Siapa yang nangis ?” tanyaku
pada Ricki.
“Itu orang tadi”
jawab Ricki sambil menunjuk ke belakang.
Kami bermaksud untuk menghampiri laki- laki tersebut. Tapi dia bergegas keluar dari makam. Kemudian kami menuju ke Masjid untuk
sholat isya’.
“Siapa laki- laki
tadi?” tanyaku pada Ricki.
“Ngga tau, dasar orang aneh” nada Ricki meremehkan.
“Nyebrang jalan sembarangan nangis di makam, kenceng
banget lagi kayak di film tangisan anak tiri”.
“Hahaha...udah biarin, paling orang tidak waras” jawab
Ricki sambil tertawa.
Waktu menunjukkan pukul sembilan
belas lebih tiga puluh. Ku putuskan untuk beristirahat di emperan masjid. Ternyata
laki- laki misterius itu duduk di pojok bawah tangga. “Bro, ternyata orang aneh
lagi menyendiri” kata Ricki sambil menunjuk ke pojok masjid.
“oh iya, kita temuin dia yuk!” ajak aku dengan rasa
penasaran.
Kami beranjak menemui laki- laki itu. “Assalamu’alaikum”
“Walaikumsalam” jawabnya dengan senyuman khas saat
bertemu di jalan.
“Nunggu siapa mas ?” tanyaku membuka percakapan.
“ nunggu mati mas” jawabnya dengan nada datar.
“Jangan bercanda kau!” jawabku sambil tertawa.
Perbincangan kami berlanjut
dengan pembahasan dunia dan akhirat. Entah kenapa aku dan Ricki mengikutinya
dengan senang hati. Padahal kami paling malas kalau disuruh mengaji. Ucapan seseorang
memecah keseriusan. Orang itu
menghampiri laki- laki misterius, sambil berkata “Ini ada sedikit nasi untuk
seorang musafir sepertimu”.
Orang tak dikenal itu tanpa
penjelasan, lantas pergi meninggalkan kami. Tidak lama kemudian, datang lagi
orang yang memberi makanan dan minuman. Seperti yang tadi, setelah memberikan
makanan langsung pamit pulang. Tanpa kejelasan maksud pemberian. “Mas, kenal
sama orang – orang tadi?” tanyaku dengan penasaran
“Tidak kenal mas, bertemu baru pertama kali. Anggap saja
ini rejeki dari Allah”.
Kami bertiga makan bersama makanan pemberian orang tadi. Sembari
makan dipikirkanku terus bertanya- tanya. Siapa orang yang memberi makanan ini.
seakan orang ini pendatang rezeki.
Perbincangan berlanjut sampai tengah
malam, kami memutuskan untuk tidur. Suara adzaan subuh yang sangat merdu,
membangunkan tidur kami. Ternyata suara adzan musafir itu. Kemudian menunaikan
shalat subuh berjamaah.
Usai menunaikan shalat, kami bersiap untuk pulang ke
tanah kelahiran. Ketika di parkiran masjid, bertemu musafir itu,
“Mas, saya pamit dulu ya!” pamitku padanya.
“Iya mas hati- hati”.
“Mau pulang naik
apa?”
“Saya jalan kaki aja” jawab musafir itu dengan pakaian
lusuhnya, yang biasa dipakai di jalan.
Motor yang aku kendarai perlahan berlalu meninggalkan musafir
misterius itu. dan baru kusadari, aku belum mengenal namanya. Sepanjang perjalanan
rasa penasaranku terhadap musafir itu belum usai.
“Apakah mungkin dia jalan kaki? Gumamku dalam hati.
Tanpa kusadari, kami telah sampai
perbatasan kota. Dari kejauhan telah sampai perbatasan kota. Dari kejauhan,
pandanganku terpaku pada orang yang sedang berjalan. Ternyata musafir misterius
itu dengan seragam jalanannya. Kusapa dia dan diapun hanya membalas dengan
senyuman.
Karya : Imam Ulin Nuha ( Kru Magang LPM
Edukasi 2018 )
Tags
Cerpen