Terik matahari yang menyengat kulit para penantang Bambu ‘Gila’ tak juga membuat mereka gentar. Di tengah tanah lapang yang dikelilingi penonton, mereka bersiap-siap beradu kekuatan dengan sebatang bambu yang telah dirapali oleh sang pawang. Entah mantra apa yang dirapal aku tak tahu. Yang kulihat hanya sang pawang menghadap bambu dengan membawa dupa yang dibakar. Komat-kamit. Sudah.
Saat belum dimulai, kulihat bambu nampak enteng meski ditenteng seorang saja. Namun, setelah dirapal, nampak sekali perbedaanya. Bambu rapalan itu terlihat sangat berat, meski dibopong oleh lima sampai tujuh orang. Meski hanya sebatang, penantang nampak kuwalahan mengankatnya. Beratnya seakan bertambah, berlipat ratusan kali, bahkan lebih. Tak masuk akal jika dipikir. Tapi, itu terjadi.
Mungkin, ini yang membuat permainan ini dinamai Bambu ‘Gila’. Penantang yang membopongnya tak mampu mengendalikan bambu yang seakan lari kesana-kemari, tak jelas seperti orang gila. Mendorong jatuh penantangnya hingga terjatuh, terjungkal. Bahkan, ada yang sampai tak sadarkan diri, kesurupan.
Foto & tulisan: Geha
Tags
Potret