Sumber: thepaperrants.wordpress.com |
Sebetulnya, apa itu kesepian? Pergi dan menetap di tengah
hutan bersama binatang liar, mengunjungi mall seorang diri, atau mungkin, ia
bisa jadi apa saja? Ketika teman-teman meninggalkanmu, tanpa berkabar
sedikitpun. Dan, apakah kesepian sama mengerikannya dengan kematian? Membaca The
Collaborator, novel anggitan Mirza Waheed, saya dibuat bersimpati atas
kisah sang narator tanpa nama: seorang anak dari kepala desa Nowgam, desa
terpencil di Kashmir bagian India. Berlatar konflik Pakistan-India, dan
pemberontakan orang Kashmir yang konon disokong Pakistan, Waheed mengajak kita
melihat perspektif orang Kashmir sendiri atas sengketa Pakistan-India. Saya tak
paham tentang konflik ini, terlepas dari narasi yang cenderung meromantisir. Banyak
detail yang menggunakan kata sifat muncul di dalam novel.
Narator sekaligus tokoh utama novel ini mengingatkan saya
pada Tsukuru Tazaki, tokoh rekaan Haruki Murakami, yang muncul di novel Colorless
Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage. Bedanya, Tsukuru masih bisa
bertatap muka dengan sahabatnya; mengetahui pekerjaan mereka dan latar belakang
mengapa ia mesti menerima pengasingan dari mereka. Narator novel ini tak
seberuntung itu.
Sebagai seorang yang tidak menyukai keributan dan ketakutan,
saya akan langsung minggat dari tempat yang terdampak perang. Berusaha pergi
sejauh mungkin. Di novel ini, saya mendapat kesan heroik yang tidak pada
waktunya. Kesan itu ditunjukkan si kepala desa—ayah si narator. Keputusannya
untuk tetap tinggal dan menjaga ‘keutuhan’ desa cukup kuat menarik pita suara
saya untuk berkata: ha? Terlepas dari itu, saya cukup menikmati cara si narator
menghadapi kesepian setelah ditinggal oleh sahabat-sahabatnya—Hussain si
penyanyi, Muhammad si besar, Ashfaq si filosof, dan Gul Khan si anak kaya—
sebelum akhirnya ditinggalkan seluruh penduduk desa, menyisakan dirinya dan Ma
yang sunyi bersama kebun belakang dan Baba yang semakin lemah dan tua.
Ia mulai merampok mayat-mayat pemberontak tatkala terpaksa
bekerja pada Kapten Kadian, penanggungjawab pos militer di desanya—yang lambat
laun ia anggap menjadi ‘teman’. Bukan merampok makam, tetapi merampok mayat
yang bertumpuk dan berserak di lembah Kashmir dekat desanya. Lembah yang jadi
tempat menghabiskan waktu bersama para sahabatnya, jadi tempat ia melakukan
‘dosa’; menjadi bagian dari perang yang tak disukainya. Ia membenci perang,
yang memberinya kesepian abadi, dan India. Perang itu merenggut satu persatu
sahabatnya. Ia sempat bertanya-tanya, mengapa dirinya tidak diajak ‘menyeberang’,
menjadi satu dari sekian banyak calon martir. Soal itu, Khadim Hussain, ayah
Hussain, menganggapnya tak pantas jadi syuhada sebab kegemarannya membaca buku.
Apakah ini suatu sindiran? Saya menganggapnya iya.
Tidak cukup sampai di situ. Perang juga merenggut kehangatan
rumah dan keluarga. Percakapan hampir tak pernah terjadi di antara ia, Ma, dan
Baba. Perang merenggut satu-satunya tempat berpulang yang tersisa. Saya tak
bisa, dan tak ingin merasakan itu: kesepian di tengah hujaman artileri dan
senapan mesin yang menderu di seantero lembah. Hampir setiap malam. Saya tak
akan bisa tidur. Tak seperti narator, saya tak bisa membuat diri saya berbaring
di samping mayat, lalu mengajaknya mengobrol. Atau, saya tak bisa membakar
seluruh mayat itu lantaran tak sanggup menggali kuburan untuk seluruhnya. Pun,
saya tak ingin menduga-duga dan berpikir, apakah salah satu mayat yang hangus
di sana memiliki wajah salah seorang sahabat saya.
Judul :
The Collaborator
Penulis : Mirza Waheed
Halaman : 336 halaman
Tahun terbit : 2011
Penerbit : Penguin Books Group Ltd.
Penulis : Mirza Waheed
Halaman : 336 halaman
Tahun terbit : 2011
Penerbit : Penguin Books Group Ltd.
Peresensi : A. A. Prayoga