Dok. Google |
Gemuruh ombak yang menghajar karang-karang terdengar begitu jelas. Seketika
mataku terpana pada planet berwarna orange semu merah yang perlahan
muncul di ufuk timur yang menambah suasana damai, Aku tinggal di bagian pantai
utara Jawa, Jepara tepatnya di tepi Pantai dengan pasir berwarna putih, dipinggir
pantai terdapat perahu-perahu kecil.
“Fatimah, cepat sarapan, nanti terlambat,” ujarnya yang membuyarkan
lamunanku.
“Iya,” ujarku bergegas menghampirinya.
Aku mencium tangannya dan bergegas menaiki sepedaku untuk ke
sekolah. Sebenarnya budeku tidak memiliki biaya untuk menguliahkanku. Untungnya,
Pak RT mencarikanku beasiswa sampai dibangku Perguruan Tinggi. Aku memang sudah
lama tinggal dengan budeku. Aku tidak memiliki ayah dan Ibu. Orangtuaku pernah
mengalami kecelakaan saat Ibuku pulang selepas melahirkanku dari rumah sakit. Kami
mengalami kecelakaan dimana mobil kami menabrak pembatas jalan di pinggir bukit
sehingga ayah dan Ibuku masuk jurang dan tewas seketika. Ajaibnya, aku selamat
dari kecelakaan maut itu, aku tersangkut di dahan pohon. Aku lalu di asuh
sampai sekarang dengan budeku.
***
Aku bertekad kelak aku
menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, khususnya bagi warga desaku yang
mayoritas buta huruf.
Setelah sampai di kelas. Aku bergegas masuk kelas untuk mengikuti
ulangan matematika hari ini. Aku bertekad untuk mengabdi kepada masyarakat
karena aku mendapat dana dari masyarakat pula. Setelah sepulang sekolah, aku bergegas
mengambil dagangan di tetanggaku. Aku berjualan makanan kecil seperti roti,
cemilan keripik, dan air mineral. Aku mulai menjajakan kepada siapa saja yang
berada di pantai, mulai dari wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara.
“Fatimah, kamu berjualan di sini?” tanya seorang perempuan paruh
baya yang tiba-tiba menghampiriku.
“Iya, saya Fatimah. Maaf, anda siapa?”
“Saya Hawa, kamu Fatimah anaknya mbak Aisyah bukan?”
“Iya, Benar. Anda kenal dengan ibu saya?”
“Jadi begini, Ibu kamu dahulu adalah teman karib tante. Ibu kamu
adalah teman satu kost dengan tante. Dahulu ibumu orang yang sangat
dermawan, dan rendah hati. Ia tidak pernah memandang remeh orang lain.”
“Iya, bude juga pernah bercerita dengan fatimah seperti itu.”
“Sekarang kamu tinggal dengan budemu Nak?”
“Iya tante, sehabis sepulang sekolah. Fatimah langsung berjualan
untuk menambah uang jajan fatimah di sekolah.”
“Kamu mau tidak tinggal dengan tante?”
“Maksud tante?” ucapku kaget.
“Tante ingin merawatmu, Tante ingin membalas jasa ibumu.”
“Memangnya dulu ibuku berjasa apa?” ucapku penasaran.
“Ibumu dulu sering menolong tante saat tante mengalami kesusahan.
Ibumu adalah teman yang satu-satunya menolong tante. Saat tahu mobil kalian
mengalami kecelakaan maut. Tante berusaha mencari kamu fatimah. Tapi, ternyata
kamu sudah diambil alih oleh keluarga ibumu.”
“Sekarang, semua daganganmu tante beli semua ya?”
Aku hanya mengangguk tanda mengiyakan.
“Ini uangnya,” menyodorkan empat lembar uang kertas berwarna merah.
“Ini kebanyakan tante,” tanganku bergetar memegang uang sebanyak
itu.
“Sudahlah, ini sekalian untuk uang jajanmu,”
“Terima Kasih tante,” sambil membungkus semua daganganku dan
menyodorkannya ke tante.
Kami pun bergegas pergi meninggalkan Pantai lalu menuju ke rumah. Kemudian
aku diantar pulang oleh Tante Hawa.
“Mari tante masuk dulu. Saya akan buatkan teh.”
Tante Hawa tidak menjawab. Ia sedari tadi melihat dinding rumahku
yang hanya terbuat dari kayu. Ia mungkin tak percaya, Setelah kami berbincang-bincang,
tak lama bude sudah berada di depan pintu. Tanpa basa-basi Tante Hawa mengutarakan
niat baik ingin mengadopsiku
Sontack saja tante hawa dan bude khadijah melihatku.
Aku menjadi dilema entah harus bahagia atau malah sedih. Bagaimana tidak? Aku bahagia
karena ada seorang perempuan yang ingin memberiku kasih sayang, apalagi masa
depanku sudah jelas dibiayai oleh perempuan itu. Namun, di sisi lain aku sedih
karena harus meninggalkan budeku yang juga sebatang kara.
Tante akan menunggu jawaban darimu fatimah. Jika kamu sudah
memiliki keputusan. Cepat beritahu tante!” ujarnya.
Aku hanya mengangguk.
***
Tepat seminggu setelah lebaran Hari Raya Idul Fitri, Tepatnya bodo
Lomban, tradisi dan budaya di Jepara yang membuang kepala kerbau ke laut
sebagai bentuk pengrhormatan kepada makhluk hidup yang berada dilaut. Cukup
lama, aku tak bertemu dengan tante hawa. Namun, disaat moment ini aku tak
sengaja bertemu dengannya.
“Fatimah !” ucapnya sambil lari simpul menghampiriku.
“Iya Tante,” ucapku berjalan menghindar”
Tante Hawa sempat memberiku uang. Namun, dengan tangkas aku
menolaknya dan bergegas pergi meninggalkannya.
Keesokan harinya saat di sekolah, seorang guru menngabariku bahwa
Budeku meninggal akibat serangan jantung ditempat kerja Sontack kepalaku terasa
sangat pusing, aku serasa tak memiliki tulang sama sekali. Tubuhku bagaikan
tanpa penopang. Berhari-hari aku seperti orang yang tak tahu arah. Namun, Tante
Hawalah yang memberiku motivasi supaya aku lebih sabar dan tidak berlarut dalam
kesedihan.
***
Sekarang
aku pindah dirumah yang
layak bersama Tante Hawa. Namun, aku tak mau besar kepala, aku kerap menyempatkan datang ke rumahku di dekat Pantai.
Aku membuat sebuah taman kecil disekitar tepi pantai, selepas sore sepulang
sekolah, aku menyempatkan mengajari masyarakat tepi pantai disana untuk membaca.
Aku membantu menyediakan buku bacaan diberbagai bidang baik resep masakan, buku
bacaan, hingga teknologi modern. Bagiku Pendidikan sangat wajib diasah dan ditimba
terutama bagi generasi milenial sekarang sebagai penerus bangsa ini.
Setelah aku selesai membantu mereka, aku menyempatkan untuk melihat semurat jingga di ufuk barat yang eksotis. Bagiku senja adalah sebuah nuansa yang sangat romantis dan elok. Itulah mengapa aku dijuluki Gadis senja, karena aku penyuka senja.
Penulis: Rif'ati Ihsan