Ilustrasi. Deen
“Ada beberapa skenario yang tak kita rancang dan tak kita inginkan, namun menjadi kenyataan. Dan ternyata, itu yang terbaik saat kita tak menyerah dan terus berjalan”
Dengan
wajah terkejut, Ina menatap layar handphone milikinya. Tertulis di pesan masuk nama kakak
perempuannya, Etha.
Selamat ya dek.
Keterima di UIN Walisongo Semarang jurusan Pendidikan
Bahasa Inggris.
“Kok mbakmu yang buka? Kalo kamu
yang buka,
kan kamu bisa saja bohong dengan hasilnya,”
tanya Erin mengawali
pembicaraan kami di rumahnya.
“Yaa kan hari pertama
pengumuman jadi eror servernya. Nah aku minta tolong mbak buat bukain, Yin,” jawab Ina dengan muka
ditekuk.
Bagai
tersambar petir di siang hari, Ina tak bisa berkata-kata. Senang akhirnya
ada universitas yang menerimanya,
tapi sedih karena harus di pendidikan. “Kamu
kok bisa milih pendidikan loh?” tanya Erin heran, ia adalah sahabat Ina sejak kecil
Berbeda
dengan Ina, Erin atau akrab disapa Yin diterima di Poltekes TNI AU jurusan Gizi. Erin tahu persis
bahwa Ina sangat anti dengan jurusan pendidikan, alasannya simpel, dia tidak ingin
menjadi guru. Meskipun memang jurusan
kuliah tidak menentukan pekerjaan kelak, tapi bisa dipastikan
bahwa kelak keluarga Ina akan menyuruhnya menjadi guru.
“Ya
mana aku tahu,
Rin. Kau tahu sejak dulu segala yang
berhubungan dengan sekolah selalu diatur oleh keluargaku. Aku tidak bebas
memilih sesuai keinginanku,”
jawab Ina lemas tak
berdaya, sebagian dari dirinya tidak bisa menerima hal itu.
Hingga
tibalah di hari pertama kuliah, tidak
seperti mahasiswa baru yang lainnya.
Ina terlihat biasa saja dalam menyambut hari itu. Ketika memakai sepatu, handphone-nya bergetar tanda
pesan masuk.
“
Dimana?” tanya Alfia. Alfia merupakan teman satu SD Ina. Mereka terpisah saat SMP dan SMA. kini mereka dipertemukan
lagi.
“Aku
tunggu di pintu doraemon ya,”
balas Ina.
Pintu
Doraemon merupakan pintu
kecil yang berada di barat perumahan tempat kost Ina. Bagi mahasiswa UIN
Walisongo, pintu itu sangat membantu sekali untuk mahasiswa agar lebih cepat
menuju kampus.
“Hai
ayo. Bengong wae,” kata Alfia membuyarkan
lamunan Ina.
Sesampainya
di kamar kost, Ina lantas mengganti baju, solat ashar, dan rebahan di tempat
tidur. Ia memandangi langit-langit
kamarnya. Fikirannya mengarah ke hal lain. Entah kenapa dia bisa mendarat
ditempat asing seperti ini. Tiba – tiba matanya sudah tidak kuat dan ia pun
tertidur. Tiba – tiba, “Dek, bangun, udah magrib,” ucap Mbak Sifa, teman sekamar Ina. Setelah terbangun Ina bergegas
mandi.
Seperti
itulah kegiatannya selama semester 1 di kampus yang bukan pilihannya itu.
Selain kuliah, Ina mencari pelarian dengan masuk UKM Lembaga Pers Mahasiswa alias
LPM tingkat fakultas. Di sana Ina menemukan pelarian yang benar yaitu menulis.
Dunia yang sempat ia geluti saat sd dulu. Ia bersyukur meski kuliah ditempat
yang tidak diharapkan tetapi menulis menjadi salah satu alasannya bertahan.
Menginjak
semester 2, Ina bertekad untuk kembali mengikuti tes masuk ikatan dinas. Selama
liburan semester 1, Ina belajar giat di rumahnya. Keluarganya mendukung
keinginan Ina begitu juga dengan Erin. Bagi Ina tak ada waktu untuk bermain dan
bersenang- senang. Semuanya ia curahkan untuk mencapai yang dia inginkan.
Hingga
masa kelam itu tiba, di
hari kedua bulan puasa H-84 hari Ina tes, ayah Ina berpulang. Tanpa ada firasat
apapun, di pagi hari setelah sahur, ibu Ina
menelpon dan meminta untuk memberikan handphone
ke Mbak Sifa. Sebenarnya dari
awal ibunya menelpon, Ina sadar apa yang terjadi. Dan benar terjadi, ketika Mbak Sifa mengembalikan handphone ibunya berkata Ina harus
mengikhlaskan.
Sakit. Inilah yang sedang kurasakan.
Sakit lebih dari sekedar tertancap duri tanaman kaktus atau terkena 1000 anak panah. Dada terasa
sangat sesak nafasku seperti akan habis. Kurasa saat itu asmaku kambuh namun
tak terlalu parah. aku melihat kedatangan teman satu kost ke kamar. Mereka
menenangkan diriku. Aku menangis sejadi-
jadinya. Aku merasa bersalah. Ketika aku tak ada di saat terakhirnya. Aku yang
selalu menolak jika diminta untuk
merawat bapak. Aku yang selalu memarahi beliau. Sejujurnya itu kulakukan karena
aku takut. Aku takut air mataku aka jatuh dan menangisi keadaan bapak dan diriku.
Ina membatin.
Di hari kedua meninggalnya bapak,
barulah Ina dan adiknya pulang kerumah. Mengapa mereka sangat telat untuk
pulang? Karena Ina harus menyelesaikan kuliahnya dan adiknya harus
menyelesaikan UTS-nya.
Adik Ina, Nur belum mengetahui hal ini. Nur hanya diberi tahu bahwa bapak sakit
dan diminta pulang untuk bertemu. Selama perjalanan, Ina menangis ketika
melihat Nur tertidur. Ina tak bisa membayangkan bagaimana ekspresi Nur ketika
mengetahui kabar ini. Dan benar saja,
ketika Nur mengetahui, ia menangis sejadi-jadinya.
Selama
2 hari, Ina di rumah menemani
sang ibu, namun ia harus kembali
ke rutinitas normalnya. Mahasiswa. Ia terlebih dahulu mengantar Nur kembali. Bisa
dilihat wajah Nur memang tidak menunjukkan kesedihan tapi lewat matanya
terpancar rasa sedih yang mendalam. Kehilangan sosok ayah di usia yang masih
belia membuat Nur pasti mengalami tekanan batin yang sangat kuat. Maka itu
sudah menjadi tugas tugas Ina untuk menguatkan Nur.
Sudah
jatuh, tertimpa tangga pula.
Pepatah itu sepertinya cocok untuk keadaan Ina saat ini. Kemalangan seolah
belum puas dengan keadaannya saat ini. Ina mendapatkan info bahwa tes salah satu
universitas meminta nilai UTBK. Malangnya, ia tidak mengikuti tes UTBK, dan tidak lolos dalam tes Ikatan Dinas yang sejak dulu
ia inginkan.
Hal
itu membuat Ina semakin mengalami stres tingkat tinggi. Jika diibaratkan
penyakit, maka penyakitnya sudah
komplikasi. Ketika pulang kerja, ia seolah malas melakukan apapun. Setiap
bangun di pagi hari, ia merasa lelah dan
sendi di seluruh tubuhnya nyeri. Seolah capek menjalar ke seluruh tubuhnya.
Bahkan selama bulan ramadhan tahun ini bisa di bilang Ina tidak maksimal dalam
beribadah.
Semester
3 telah usai, saatnya
Ina kembali ke rutinitasnya. Ia harus terima dengan semua ini. Kembali ke UIN, menjalani yang
seharusnya. Keluarga Ina terus memberi dukungan. Ketika pengumuman nilai, Ina
mendapatkan 24 sks. Hal itu membuatnya semakin yakin akan pilihannya ini dan mencoba mencari
pelarian jika ia mengalami stress. Dalam hatinya bertekad bahwa ia harus terus
berusaha karena rezeki itu tidak
ada yang tahu.
Ia
sudah merancang semua masa depannya. Dimulai Ina ingin melanjutkan S2 di University
College of London dan S3 di University of Melbourne. Menjadi penulis yang terus
menghasilkan karya yang bisa dinikmati oleh orang banyak. Sedari dulu Ina sangat
menyukai dunia literasi. Buku selalu menarik perhatiannya, ditambah ia selalu membuat program minimal
1 bulan sekali membeli buku. Hal itu membuat ibunya sampai berkata, “udah kamu gak usah makan nasi. Makan aja buku.”
Setiap
kali pulang ada saja buku yang ia bawa pulang. Ia ubah lemari sempit di kamar
kostnya menjadi lemari khusus buku,
dimana selalu ada buku
yang ia baca. Meski pada semester
ini dia jarang membaca di karenakan tugas dan kegiatan lain yang menyita
perhatiannya.
Hingga
pada tahun 3 Ina kuliah, keajaiban mulai ada. Ina mulai menang berbagai lomba
cerpen dan esai. Yang paling mengejutkan bahwa karyanya yang ia kirimkan untuk
lomba cerpen tingkat nasional menang dan hadiahnya tidak main main yaitu
keliling Benua Eropa. Ina benar benar bersyukur saat itu. Ia percaya bahwa
setiap orang memiliki rezeki yang berbeda beda.
Dan
tibalah masa Ina diwisuda, rasa haru dan
bahagia jelas tampak di wajahnya. Meski tidak cumlaude tapi mendapatkan hasil
yang memuaskan dan lulus 4 tahun pas. Keluarga Ina merasakan kebahagian itu.
Hari ini musim
salju pertama dalam hidupku. Aku sedang
di perjalanan pulang.
Udara benar-benar dingin meski aku
sudah merapatkan mantelku, rasanya
ingin cepat pulang dan duduk di depan perapian. London benar-benar diselimuti salju.
Semua serba putih. “CKN!!!” seru temanku, Risa. Gadis berambut pirang asal
Rusia ini melambaikan tangannya. Ia sudah berada di depan gedung apartemenku.
Aku pun segera mempercepat langkah, kami
masuk ke apartemen bersama-sama
Tulis Ina di buku diary-nya.
“iya, Mak. Aku hemat di sini. Aku sambil nulis
buku lagi hehehe… yaa
sapa tahu bisa best seller lagi, Mak.”
“Owalah iya. Semangat ya.
Inget, Adik sampai di London mau belajar mau
memperjuangkan cita – cita Adek.
Kalau Adek jenuh, jangan ragu
buat sekedar main ke taman kota atau kemana gitu. Cari inspirasi, Dek.”
“Asiapp, Mak hehehe…”
“Kira
– kira ada deadline seperti buku yang
pertama gak?”
“Hehehe
I don’t think that’s a good idea mom.
Because a have a lot of homework.”
“No problem sayang hehehe. “
“Siap.
Besok Ina telpon lagi ya. Mahal,
Mak, hehehe… Assalaikumsalam.”
“Iya, waalaikumsalam.”
Tersadar Ina bahwa biaya sambungan telepon internasional mahal, ia pun mengakhiri pembicaraan bersama ibunya melalui smartphone. Ina pun meletakkan smartphone-nya dan terbayang akan pertanyaan sang Ibu tentang keadaan buku keduanya setelah buku pertamanya berhasil menembus cetakan ketiga dan banyak diburu pembaca. Ina menatap keluar jendela kamarnya, mengingat bahwa jalannya masih panjang lalu bergegas kembali duduk sembari meregangkan tangan dan berdoa. Setelah itu, Ina membuka laptopnya untuk menulis naskah buku keduanya.
Penulis : Haka_Gupis
Editor : Syafiq
Uwuw ketua angkatan kuh
BalasHapus