Semarang, lpmedukasi.com - Dalam rangka merefleksikan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei kemarin, Kemensospol DEMA FITK UIN Walisongo Kabinet Visioner Progresif mengadakan diskusi bulanan perdananya dengan mengusung tema “Topeng Pendidikan Kita: Pendidikan untuk Mencerdaskan Bangsa atau Sebaliknya?”, Dilaksanakan pada senin ( 5/3) secara virtual melalui aplikasi Google Meet pukul 20:00 WIB.
Diskusi kali ini dipandu oleh Muhamad Syafiq Yunensa selaku Menteri Sospol DEMA FITK yang juga seorang penulis buku, dan Arif Bagas Adi Satria, seorang Aktivis Pendidikan dan Penggerak Solidaritas Mahasiswa Untuk Demokrasi (SMUD) Salatiga sebagai pemantik diskusi.
Pada sesi pembukaan Diskusi, Syafiq Yunensa mengatakan bahwa diskusi kali ini sangat krusial karena pendidikan di indonesia belum memenuhi harapan yang tertera di Undang-undang. Ia juga Menyinggung sistem pendidikan dewasa ini, hanya menekankan aspek seremoni sehingga cenderung mengesampingkan esensi pendidikan itu sendiri.
Arif Bagas memaparkan, bahwa di era disrupsi ini, pendidikan harus beradaptasi dengan perubahan yang diakibatkan oleh kecepatan akses teknologi informasi yang berdampak pada pola pembelajaran dan pemeliharaan di lembaga-lembaga pendidikan. Lantas apakah pendidikan kita siap untuk menghadapi tantangan tersebut?
Lebih lanjut ia mengatakan, “jika sistem pendidikan kita tidak dipersiapkan secara konstruktif, kemungkinan masyarakat akan kewalahan menghadapi masalah yang ada dewasa ini. Pendidikan menjadi sangat penting karena memiliki peran menyiapkan sumber daya manusia unggul untuk menyongsong segala tantangan. Bila tidak bisa menjawab tantangan tersebut, sama saja dengan bunuh diri, kita akan mengalami kekacauan dan bayang-bayang pengangguran, serta mandeknya perkembangan di setiap lini. ”
Diskusi perdana Kemensospol DEMA FITK yang dihadiri hampir 100 peserta ini, berjalan dengan lancar dan ramai. Ada sekitar enam pertanyaan dan banyak tanggapan dari peserta yang hadir.
Salah satu pertanyaan yang menarik muncul dari peserta yang bernama Zahrotun Nuraini yang bertanya terkait hubungan revolusi industri 4.0 dengan neo-liberalisasi pendidikan yang sedang terjadi.
Pemateri menjawab hal tersebut dengan mengatakan, bahwa ada hubungan erat antara keduanya, karena pendidikan kini seakan perusahaan yang orientasinya uang, di mana ada pembayaran yang tinggi, maka fasilitas akan lebih mumpuni, lagi-lagi akan kembali ke pasar. Dan barangkali pendidikan kini, lebih didesain untuk kepentingan pasar. Lantas, apakah pendidikan benar-benar untuk mencerdaskan anak bangsa atau justru sebaliknya? Mungkin bisa dijawab dibenak kita masing-masing.
Arif Bagas juga menyatakan bahwa pendidikan kini, beberapa masih saja menggunakan praktek konvensional yang dilakukan oleh para kaum pendidik, masih menggunakan cara yang konservatif, seperti cara mnemonik (menghafal), atau mengumpulkan fakta dan informasi yang disebut penyimpanan (banking), layaknya penyimpanan uang di bank menurut Paulo Freire.
“Oleh karena itu…” lanjutnya. “Harus ada tawaran dimana kurikulum bukan hanya masalah perangkat alat dalam menentukan perencanaan pembelajaran, tetapi sebuah cara agar dapat memahami kebutuhan pendidikan yang semestinya di Indonesia. Paulo Freire memberikan alternatif bahwa untuk lepas dari penindasan gaya pendidikan “sistem bank” ini dengan suatu metode yang diberi nama metode pembelajaran problem-posing (pembelajaran hadap masalah). Cara berpikirnya adalah bahwa pendidikan autentik yang disebut proses humanisasi merupakan sesuatu yang praksis berupa tindakan dan cerminan manusia di dunia mereka untuk berpindah-pindah. Mereka harus menerapkannya secara keseluruhan, dan sebagai menerapkan konsep manusia sebagai makhluk sadar, dan kesadaran yang ditunjukkan kepada dunia. ”
Penulis: Agus
Editor: Rudi