Ilustrasi. Deen
“Bagaimana, Kerbau?
Nyamankah kau tinggal di hutan ini?” tanya pimpinan sebuah hutan rimba di
sebuah Negeri bernama Land of Down pada
seekor kerbau yang sedang berenang.
“Nyaman sekali, Paduka.
Di sini juga banyak sekali jenis rumput yang sangat sedap untuk dimakan,” jawab
Bofi si kerbau sambil meringis lantaran bingung antara senang atau sedih.
Setelah itu Leo Sang
Raja di hutan Land of Down melanjutkan
perjalanan berkelilingnya untuk mengawasi secara langsung bagaimana kondisi
rakyatnya, atau lebih tepatnya untuk memastikan bahwa mereka tunduk padanya.
Di hutan Land of Down memang menyediakan
fasilitas beraneka ragam makanan, namun Raja Singa membatasi rakyatnya untuk
memakan makanan yang ada di hutan. Raja Singa juga menetapkan suatu peraturan
bahwa siapapun yang tinggal di hutan, harus membayar upeti atas segala
fasilitas yang telah mereka nikmati. Setiap jenis hewan sudah ditentukan besaran
upeti yang harus mereka bayarkan, misalnya kelompok kerbau yang harus membayar 5 juta gulden dan kelompok tupai yang dikenai
biaya 1 juta gulden pertahun, akan tetapi tidak jelas bagaimana perhitungan
Raja Singa terkait upeti yang harus dibayarkan serta untuk apa semua uperti
itu.
“Bagaimana bisa aku
membayar banyak uang tersebut kepada Raja Singa,” gumam Bofi sambil meminum air
di sungai.
“Sialan, siapa sih yang
nunjuk Singa sebagai Raja Hutan di sini.” ucap Zoro seekor Kuda Nil dengan
perasaan jengkel tiba-tiba keluar dari dalam sungai, rupanya ia mendengar
keluhan Bofi, kawannya.
Saat Bofi dan Zoro sedang
mengobrol seraya meminum air di sungai, datanglah Boni, seekor kelinci yang
membawa sebuah ember untuk mengambil air di sungai. Boni melihat Bofi yang
sedang murung di sungai ditemani Zoro yang sedang berendam. Boni pikir mungkin
ini ada kaitannya dengan tarif upeti yang diadakan di kawasan hutan ini. Seusai
Boni mengambil air dari sungai, ia mendekati kedua kawannya.
“Ada apa, kawan?
Mengapa kalian terlihat murung?” ucap Boni seraya menepuk kaki Kerbau.
“Begini Bon, sepertinya
kami kesusahan dalam membayar upeti ke Raja Singa. Karena nominal yang diminta
Raja Singa nggak ngotak sama sekali bagi kami,” ucap Bofi yang sedari tadi
murung memikirkan nasibnya.
“Begitu juga aku yang
sudah lima tahun menetap di sini, sejak rezim Rusa ditumbangkan oleh rezim
Singa, semua sudah berubah. Hutan ini menjadi seperti dijajah, penguasa dengan
sikap diktatornya dengan sewenang-wenang terus menindas kita. Beberapa kawan
kita yang melawan tangkap, dipenjara, bahkan ada beberapa yang menghilan tak
berbekas.” Rupanya Boni si kelinci putih bersih dengan badan yang cukup gemuk
itu juga merasakan kegelisahan yang sama.
“Aku disini juga
bekerja, mengambil air untuk kukirimkan ke rumah Serigala, meskipun bayarannya
tidak sepadan, namun hanya ini yang bisa aku lakukan. Aku tidak bisa hanya
mengandalkan penjualan buah-buahan di pasar Lane
of Down.” Boni terus mengoceh, barangkali hanya di sungai yang jauh dari
keramaian ini lah ia bisa mengeluarkan keluh kesahnya.
Kawasan hutan yang
sekarang ini memang sudah tidak sejahtera seperti dulu. Banyak kecurangan yang
terjadi di dalamnya, karena penguasa di hutan ini membentuk sebuah oligarki
yang sangat kuat antara kelompok singa, harimau, buaya, dan serigala. Tidak ada
yang berani melawan kekuasaan mereka, apalagi berurusan dengan Sang Raja Hutan.
“Bagaimana kalau kita
mengumpulkan kawan-kawan kita yang memiliki keresahan yang sama secara
diam-diam untuk melawan petinggi di hutan?” ucap Zoro yang tiba-tiba keluar
dari dalam air, sepertinya ia memiliki sebuah ide yang akan disampaikan kepada
dua temannya.
“Sepertinya itu ide
bagus, para pendahuku kita juga pernah melakukan hal yang sama saat hutan ini
sedang tidak baik-baik saja,” komentar Boni, tiba-tiba telinganya berdiri tegak
pertanda ada ide yang masuk.
“Bagaimana menurutmu, Bof?”
“Aku masih ragu, kawan.
Mereka berjumlah banyak dan kuat, kita bisa apa?” Bofi justru semakin murung.
“Hei kau hewan besar
penakut!” terdengar suara teriakan dari tanah yang ada di dekat kaki Bofi.
Bofi menengok ke arah
kakinya sembari mencari sumber suara.
“Iya, aku memanggilmu!”
Ternyata suara tersebut datang daring seekor semut merah. “Tau kau mengapa
bertahun-tahun kita dijajah? Itu karena banyak orang sepertimu. Sebaik-baik
perjuangan adalah perlawanan, dan perlawanan takkan pernah hadir tanpa
keberanian, mau anak cucumu nanti hidup dalam keadaan yang sangat terjajah?”
“Mereka kuat, mereka
pintar dan kejam. Tapi kita punya api, api yang membara dalam diri kita
masing-masing, jika api dalam diri setiap binatang yang ada di hutan ini
disatukan, kita bisa memanggang mereka! Bergeraklah! Melawanlah! Bangun
konsolidasi, lalu matangkan rencana hingga aksi, itu lebih baik dari pada kau
mengeluh di sini. Kumpulkan semua jenis binatang yang ada, bangun serangan dari
tanah, pohon, air, dan udara, karena itu semua adalah bagian dari kehidupan
kita yang harus kita jaga bersama!” Semut merah itu langsung berlalu begitu
saja, menyisakan ketiga sahabat karib yang hanya bisa melongo melihatnya pergi.
*
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Malam harinya secara diam-diam berbagai jenis
binatang berkumpul di gua yang sangat terpencil atas undangan dari Zoro. Bofi
yang awalnya ragu, setelah diperingati oleh semut merah yang tak dikenalnya,
kini ia menjadi salah seorang yang menggerakkan konsolidasi dadakan ini.
Beruntung respons dari berbagai jenis binatang yang hadir sangat baik, karena
mereka juga merasakan kegelisahan yang sama.
Beberapa hari kemudian
tepat di depan istana Raja Leo yang berada tepat di tengah pusat kota, para
rakyat hutan sudah berkumpul dengan dipenuhi aura kemarahan yang tinggi.
“Bagaimana bisa kita
terus bertahan hidup di hutan ini!! Sedangkan pengeluaran upeti yang kita
bayarkan, tidak diimbangi dengan fasilitas dan makanan yang cukup,” ucap Boni
mengawali provokasi di siang hari yang sangat panas, sepanas kobaran api dalam
diri setiap binatang yang hadir.
“Kami memang kamerad
biasa yang tak punya wewenang mengurusi pemerintahan, tapi itu bukan berarti
kalian bisa sewenang-wenang terhadap kami!” ucap Bofi yang tak kalah serunya.
Keadaan di pusat kota
tidak digubris sama sekali oleh rezim Singa. Zoro menggerakkan para kamerad
demonstran yang hadir untuk menjebol gerbang istana yang sangat besar, serta
dijaga oleh bangsa serigala dan harimau. Dengan menggunakan senjata yang
terbuat dari gading gajah dan tameng yang terbuat dari tempurung hasil rampasan
kepada beberapa gajah dan kura-kura yang tak sanggup membayar upeti.
Namun para demonstran
yang hadir tak sedikit pun gentar menghadapinya, karena persiapan mereka
sangatlah matang dan melibatkan banyak jenis binatang yang ada di hutan
termasuk kawanan burung yang sudah dipersiapkan untuk menyerang dari udara, dan
beberapa binatang tanah yang bisa melubangi tanah seperti tikus mondong dan
cacing tanah. Target utama adalah menjebol gerbang istana lalu menguasai istana
yang dulu juga pernah diserang kawanan singa sehingga mereka bisa berkuasa.
Ditengah kericuhan yang
terjadi di istana gerbang utama berhasil dibuka dari dalam oleh kawanan burung
yang bisa dengan mudah terbang melintasinya secara diam-diam. Suasana memanas
ketika kedua belah kubu saling berhadapan, dan tak lama kemudian pertempuran
yang sengit pun terjadi. Berapa jenis hewan seperti domba dengan mudahnya
ditumbangkan oleh serigala, beberapa kuda yang melihat peristiwa itu langsung
menyerang para serigala dengan tanpa ketakutan sedikitpun.
Sesuai hasil
konsolidasi, semua demonstran yang hadir harus bisa mengantarkan beberapa
perwakilan untuk masuk ke dalam istana menemui Sang Raja. Di tengah situasi
yang mencekam Bofi selaku salah satu perwakilan, sebenarnya enggan meninggalkan
kawan-kawannya yang sedang bertempur, tapi tak ada pilihan lain. Perlahan
setahap demi setahap mereka berhasil berjalan melewati barisan penjaga yang sedang
sibuk bertarung dengan berbagai jenis binatang, kesempatan itu dimanfaatkan
dengan baik, hingga akhirnya mereka bisa bertatapan dengan raja hutan.
“Bukankah kau kerbau
yang minggu kemarin bertemu denganku? Rupanya kini kau sudah berani
menantangku. Sayangnya kini kau sendirian dan tak berdaya.”
Bofi yang menyadari
posisinya sendirian di hadapan Sang Raja yang memiliki beberapa pengawal
membuat tubuhnya bergetar namun ia masih berusaha tegar dan tetap tegak berdiri
dengan gagah mengingat perjuangan kawan-kawannya sampai sejauh ini. Sang Raja
memberi aba-aba pada pengawal untuk menerkam Bofi. Tapi tiba-tiba…
“Tunggu dulu Yang Mulia
beserta para pengawal, nggak seru ah kalo cuam Bofi doang yang kalian incar,”
suara Boni yang berjalan dengan tenangnya membuat semua perhatian para binatang
yang ada di istana mengarah padanya.”
“Eitss… Masih ada
kejutan lagi. Biar kami ajarkan apa arti dari kata perlawanan pada kalian…”
lanjut Boni seraya bersender pada kaki Bofi.
Tiba-tiba dari segala
penjuru pintu masuk ke istana hingga jendela dan atap, kini sudah dipenuhi oleh
berbagai jenis binatang. Rupanya mereka berhasil menembus barisan pengawal yang
berjaga di halaman istana. Kini justru posisi Sang Raja yang terjepit.
“Posisimu sudah
terjepit Yang Mulia, sayangnya kami tak sekejam dirimu yang selalu
mengintimidasi, membunuh, bahkan menghilangkan orang-orang yang mengganggu
kekuasaanmu. Kini, kami memberimu pilihan, untuk turun dari singgasanmu atau terpaksa
kami turunkan…” Zoro bicara dengan sangat tenang, padahal ada luka bekas
cakaran dan gigitan di sekujur tubuhnya.
*
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Pasca perlawanan rakyat binatang, Land of Down kini menjadi negeri yang
damai, adill dan makmur seperti dulu. Kekuasaan diserahkan kepada kelompok rusa
yang dinilai arif dan bijaksana, serta bisa memimpin Land of Down menjadi lebih baik lagi.
Di balik semua itu, ada tiga ekor provokator yang
menjadi motor penggerak di awal. Hanya bermodalkan keberanian untuk melawan dan
rencana yang matang, disertai dengan propaganda yang massif dan terorganisir.
Perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi, dan barangkali cara satu-satunya untuk
mewujudkan keadilan adalah perlawanan, seperti dalam buku Catatan Sang Berandal
yang pernah dibaca Bofi, bertuliskan “Bila diam adalah emas, mengapa yang diam
selalu tertindas?” maka Bofi memilih untuk melawan daripada diam.
Penulis : Agus (Bukan) Mulyadi