Semarang, lpmedukasi.com -Gusdurian Semarang, menggelar kegiatan Nobar dan bedah Film yang di Gedung C Ruang 06,
Universitas Wahid Hasyim pada sabtu (27/11). Acara ini diselenggarakan untuk memperingati
Hari Toleransi Internasional. Dua film singkat yang dibedah mengangkat tema
toleransi, yakni fil KTP dan Selaras yang semuanya berdurasi 25 menit. Acara di
mulai pada pukul 6 sore hingga 9 malam.
Setiywan Budy, Koordinator PELITA (Persaudaraan
Lintas Agama) Semarang serta Alhiyatuz Zakiya, Pegiat HAM dan Gender hadir
sebagai pembedah film pada acara yang dihadiri lebih dari 50 orang dari
berbagai elemen agama dan masyarakat tersebut.
Film ini menceritakan tentang pewagai kecamatan yang
mendatangi Desa Rojoala dengan tujuan untuk sosialisasi Kartu Sehat Manula,
persyaratan mendapatkan KTS harus mempunyai KTP, akan tetapi Mbah karsono tidak
mempunyai KTP, pewagai kecamatan membatu mendata diri Mbah karsono untuk di
buatkan KTP, pada saat menanyakan agama yang dianut Mba karsono, Mbah karsono
menjawab Kejawen, Pegawai kecamatan kebingung karena agama Kejawen tidak ada di
kolom pilihan agama.
Pegawai kecamatan pun menawarkan agar Mbah Karsono
memilih agam Islam saja, tapi beliau menolak, hingga akhirnya mengumpulkan
seluruh warga untuk bermusyawarah mengenai masalah itu, dan tetap menemui
kebuntuan. Sedangkan film Selaras membahas tentang pernikahan beda agama, seamin tapi tidak seiman.
Pada sesi bedah buku Setyawan Budy atau yang kerap
dipanggil Wawan menjelaskan mengenai isi dari film KTP.
"Film tersebut menggambarkan tentang hambatan
kaum Penghayat Kepercayaan, sebelumnya tidak ada pengakuan dari negara untuk
para Penghayat, mereka mengalami hambatan- hambatan ketika mereka mengurus KTP,
akses pendidikan, pernikahan hingga Pemakaman". Terang Wawan yang juga
aktif mengadvokasi masyarakat minoritas tertindas di Semarang.
Ia juga menjelaskan bahwa Penghayat Kepercayaan
tidak masuk ke dalam naungan Kementerian Agama.
"Penghayatan kepercayaan tidak masuk dalam
naungan Kementerian Keagamaan, akan tatapi masuk kedalam Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, Sekarang negara
mengakomodir teman-teman Penghayat Kepercayaan sehingga mereka bisa menuliskan
eksistensinya di kolom KTP,” imbuh Wawan.
Alhilyatuz Zakiyah atau yang kerap disapa Hilya
menuturkan tentang peran perempuan di tengah relasi agama, budaya dan negara.
Ia mengambil contoh perjuangan rakyat Kendeng yang terdapat peran Sedulur Sikep
di dalamnya.
“Berbicara tentang agama tidak hanya tentang ibadah
ritual semata, tapi juga peran sosial yang harus diambil. Masih terngiang
bagaimana perjuangan Sedulur Sikep menjaga Ibu Bumi dengan slogan utamanya, “Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, ibu
bumi kang ngadili,” yang artinya "Ibu bumi sudah memberi, ibu bumi
disakiti, ibu bumi akan mengadili.”
Rep: Akmali
Ed: Red/msy