Perihal Pengembangan Diri
Manusia adalah mahluk yang selalu haus
dan butuh akan perkembangan serta
kemajuan, apabila manusia hanya berdiam diri dan “membatu” dalam menjalani
hari-harinya, sesungguhnya ia sedang melawan karakter dasar manusia sebagai
mahluk yang berorientasi pada perkembangan dan kemajuan. Manusia yang hanya
berdiam diri dan membatu sebenarnya (tanpa ia sadari) sedang mengakumulasi poin kehancurannya sendiri, dia
adalah “katak yang mulai terbiasa dengan rebusan air yang panas”.
Manusia juga punya suatu tabiat yang
ingin “serba instan” dalam hal apapun,
termasuk pula pada hal pengembangan diri, manusia yang ingin cepat-cepat
berkembang seringkali mencari solusi perkembangan diri ke hal-hal yang menurut
Stephen Covey disebut sebagai “Etika kepribadian”, “Bagaimana cara agar saya
disenangi oleh teman-teman saya?”, “Bagaimana cara agar orang terpesona dengan
saya?”, “Bagaimana cara agar senyum kita bagaikan mentari di pagi hari?”,
“Bagaimana cara agar memilki tatapan mata yang menghipnotis?”, dan berbagai
macam keinginan “sekunder” lainnya.
Menurut Stephen Covey, hal-hal semacam
itu bukanlah aspek pengembangan diri yang riil, hal-hal tersebut banyak
menciptakan manusia yang tidak otentik dan tidak memiliki dasar kepribadian
yang jelas, manusia yang perkembangan dirinya berorientasi dari “luar ke dalam”
alias menuntut agar orang memberinya suatu imbalan kepadanya baik dalam bentuk
keterpesonaan, kekaguman, ketundukan, dan yan memang sejenis lainnya pada
hakikatnya akan memperburuk karakter orang tersebut, membuat orang tersebut
“buta nurani” dan yang lebih parah lagi, akan membentuk manusia yang “haus
penghormatan”.
Orang-orang yang orientasi perkembangan
dirinya bersifat “dari luar ke dalam” sebenarnya menunjukkan bahwa ia lalai
dalam memeriksa masalah paling fundamental dalam dirinya sendiri, yakni
nihilnya eksistensi “identitas kedirian” yang luhur dan kokoh, manusia yang
tidak memiliki identitas kedirian yang luhur dan kokoh akan menuntut
“kesenangan-kesenangan sementara” yang pada hakikatnya kosong dan nirmakna
(tidak memiliki makna), orang-orang yang tidak memiliki identitas kedirian yang
berdasarkan keluhuran akan menuntut untuk disenangi oleh semua manusia di muka
bumi ini, ia merasa dunia sedang berhutang sesuatu kepadanya yang mesti dibayar
dengan penghormatan sosial berupa kedudukan dan martabat. Orang-orang semacam
ini sebetulnya rapuh, ia bagaikan tiram yang nyaman dalam cangkangnya yang
keras, tidak tahan terhadap tantangan dan merasa nyaman “di situ-situ
saja”, “manusia tiram” ini menyia-nyiakan
hidupnya dengan segala macam anugerah kemanusiaannya.
Tambalan
Kepribadian sebagai Solusi, Efektifkah?
Banyak pengembangan diri yang hanya
memberikan “placebo effect” kepada diri manusia yang kosong akan nilai dan
prinsip, pengembangan diri ini ibaratnya seperti “menambal ember bocor dengan
isolasi”, dia hanya menjaga kebocoran itu dalam waktu yang sementara, dalam
waktu yang lama, niscaya kebocoran ember tersebut tidak bisa dibendung, dan air
di dalamnya
akan meluber keluar.
Sama halnya dengan manusia, manusia yang
core value-nya atau nilai dasarnya
bermasalah, tidak akan bisa diobati hanya dengan pengembangan diri yang
berorientasi pada teknik dan “kata-kata manis” saja, tetapi mereka harus
dirombak dari dasar kepribadiannya yang paling dalam, mungkin istilah kerennya
di “reprogram”, karena masalah yang
ia alami bukan sekadar “cat rumah yang
mengelupas” tetapi “pondasi rumah yang retak”.
Mengembangkan kemampuan public speaking yang baik tidak akan
sukses pada individu yang nilai dasarnya bermasalah, karena pada dasarnya,
nilai dasar kitalah yang mendorong kita untuk selalu berkembang kedepan dan
berani “menerjang badai” kehidupan yang keras dan penuh dinamika. Maka dari
sini dapat disimpulkan bahwa pengembangan diri yang hanya memberikan
“tambalan-tambalan” sementara tidak akan efektif, karena ia tidak memperbaiki
pondasi yang retak, tetapi hanya “mendandani rumah tua yang ringkih” yang hanya
tinggal menunggu ajalnya saja.
Hakikat
pengembangan diri yang sejati
Yang utama dalam mengembangkan diri
sendiri adalah fokus pada penataan prinsip kehidupan yang substainable
dan berasal dari hati yang terdalam, didasarkan pada refleksi diri yang dalam
dan komprehensif, tidak berfokus pada “membuat orang lain terkesan” tetapi
berfokus pada membuat diri sendiri merdeka dan terbebas dari penjara-penjara
yang selama ini mengunci potensi kita yang luar biasa.
Didalam mengembangkan diri sendiri pula,
diperlukan kesabaran, ketabahan, dan keluasan hati untuk mengalami pengoreksian
diri secara radikal. Artinya, kita harus siap memeriksa kembali nilai-nilai
terdalam yang sudah lama tertanam di diri kita, apa nilai-nilai terdalam kita
yang selama ini menghambat perkembangan kita tanpa kita sadari, dan juga perlu
kesediaan untuk membangun kebiasaan-kebiasaan baru yang positif dan konsisten
dalam melakukannya sekaligus mengeliminasi kebiasaan-kebiasaan lama yang tidak
sehat, misalnya, yang tadinya malas berolahraga, maka harus mulai rajin berolahraga,
yang tadinya pola makan berantakan, maka harus mulai mengatur pola makan, dan
lain sebagainya.
Pengembangan diri juga tidak bisa
berhenti di teori saja, tetapi pengembangan diri yang hakiki adalah
pengembangan melalui teori dan penerapan (test
and trial) melalui praktik, apa gunanya mempelajari teori public speaking yang baik tetapi tidak
pernah mencoba berbicara di khalayak umum? Apa gunanya belajar teori komunikasi
agar memenangkan orang lain, tetapi kita tidak terlibat di dalam kehidupan sosial
yang hakiki? Hanya memahami metode tanpa
menerapkan metode itu sendiri adalah sebuah kesia-siaan yang sangat besar, apa
gunanya mengetahui penyakit kita, tahu obatnya apa, tetapi obat itu sendiri
tidak dikonsumsi?
Kebahagiaan dan kecukupan jiwa hanya
bisa diraih ketika kita terpenuhi secara seimbang, mulai dari aspek mental,
sosial, fisik, dan spiritual. Kebahagiaan dan kecukupan jiwa sebetulnya
hanyalah suatu konsekuensi alami dari hidup yang setia pada prinsip dan
nilai-nilai positif yang kita susun dan rangkai sendiri, ketika kita konsisten
dengan nilai-nilai itu, secara otomatis muncul perasaan bahagia dan
keterpenuhan yang luar biasa.
Kehidupan yang berdasarkan prinsip juga
akan mengeliminasi hal-hal yang tidak sejalan dengan prinsip tersebut, kita
betul-betul menjaga “perasaan menang” dan “perasaan tercukupi” itu, karena
prinsipnya “untuk
menjaga keindahan dan keharuman taman bunga, jangan tanamkan bunga bangkai di dalamnya.”
Lantas, Harus Mulai dari Mana?
Untuk mulai memprogram dan menata ulang
prinsip dasar kehidupan kita, menurut Stephen Covey, kita bisa mulai melakukan
beberapa hal dibawah ini:
Pertama, Sediakan waktu
untuk menyendiri, nikmati kesendirian itu, dan tanyakan kepada dirimu sendiri
apa sebetulnya nilai-nilai yang paling kamu hargai dan ingin kamu jiwai
Yang membuat manusia unik adalah
keberagamannya, baik dari aspek fisik sampai aspek instrumental. Maka, kita harus mengetahui apa yang
menjadi nilai-nilai dasar kita!
Karena nilai dasar orang lain belum tentu sama dengan nilai-nilai dasar kita yang sesungguhnya. Kita bisa memulainya dengan
mulai mencatat hal-hal apa saja yang membuat kita “merasa hidup”, misalnya seperti “aku
merasa senang dan terpenuhi ketika aku bisa beramal kepada kepentingan
masyarakat”, dan lain sebagainya.
Kedua,
Tuliskan
kembali nilai-nilai yang telah kita
renungkan sebelumnya dalam bentuk “konstitusi pribadi”. Ketika kita sudah mengetahui
secara abstrak apa nilai-nilai terdalam, maka kita bisa mulai menulis “konstitusi pribadi”
versi kita sendiri. Fungsi dari
konstitusi pribadi ini adalah sebagai prinsip dasar yang kita pegang erat-erat dalam
kehidupan, ia bagaikan peta kehidupan yang akan kita gunakan untuk menghadapi
gelombang-gelombang kehidupan yang tak terduga. Kita bisa menuliskan konstitusi pribadi
dalam bentuk kata-kata seperti “saya akan...”, “saya menyadari bahwa...”, dan
berbagai bentuk kata-kata lainnya, silahkan berkreasi dengan konstitusi pribadi kita! Buat ia menyenangkan
dan membebaskan diri kita!
Satu hal yang perlu dicatat, bahwa konstitusi
pribadi adalah suatu hal yang membantu
kita dalam melangkah, bukan membatasi dalam setiap langkah. Artinya,
ketika di tengah
perjalanan ada momen dimana prinsip-prinsip mesti kita sesuaikan dan tata
ulang, sesuaikan dan tata ulanglah! Konstitusi pribadi mesti bersifat terbuka
terhadap perubahan dan penataan ulang, jangan paksa diri kita untuk menaiki mobil
yang mesinnya sudah mulai jebot.
Ketiga,
bentuklah kebiasaan positif, dan konsistenlah dalam melaksanakannya!
Mulailah bentuk kebiasaan-kebiasaan
positif yang akan mengubah dirimu ke arah yang lebih baik secara akumulatif dan
konsistenlah dalam melakukannya! Kebiasaan baik yang dilakukan secara konsisten
akan memberikan kita berbagai dampak positif yang akan sangat merubah kualitas
hidup kita secara akumulatif.
Penulis: Muhammad Farras Shaka (Mahasiswa Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Editor: Red/msy