Langit di luar terang, sementara langit di dalam mendung. Sudah
gelap, gumpalan awan sudah letih menampung butiran air, mungkin sebentar lagi
hujan akan turun dari mataku. Angin berembus kencang, menggoyangkan dedaunan
yang mulai kuning layu. Tak ada tempat berteduh dari hujan yang mulai turun
dari mataku, mungkin kubiarkan basah saja hingga reda dengan sendirinya. Aku
hanya terus memandangi wajah kalah, penuh kabut, sesekali kunang-kunang hinggap
di dadanya. Sudah hampir seharian aku memandangi wajah itu di cermin, sesekali
aku bacakan sepenggal puisi Derai-derai cemara karya Chairi Anwar
untuknya.
...
Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Sedang khusyuk aku memandangi wajah kalah, ponselku berdering,
ternyata alarmku sudah sapai waktunya. Hari ini aku sengaja memasang alarm agar
tidak telat berangkat ke kampus. Dengan muka kusut, rambut acak-acakan, dan
mata sembab aku mengambil handuk dan berjalan ke kamar mandi. Aku berharap saat
mandi dukaku juga ikut lepas dari hati. Perut yang terus bernyanyi mengajakku
berjalan ke meja makan, sepotong roti sisa kemarin hari dan segelas teh yang
tak lagi hangat kupaksa masuk ke mulut. Meski kulihat lima ekor semut tenggelum
dalam segelas teh itu, aku tak peduli, bagiku mereka tenggelam dalam segelas
kenangan.
“Kita sama-sama tenggelam,” kataku.
Aku segera berangkat ke kampus dengan mengendarai motor bebek yang
batoknya memiliki melodi getar ketika melewati jalan yang seirama. Jalan yang
kulewati masih sama, hanya kali ini panasnya dua kali dari biasanya. Maklum
saja, panasnya luar dalam. Tapi tidak
dapat dipungkiri, Semarang memang sepanas hatiku. Selain tikam kepala, panas
mentari juga membuat kulitku tambah eksotis, lebih tepatnya eksotis dan belang.
Sempat kukira zebra masuk kamarku ketika bercermin kemarin sore, sementara
ibuku belakangan ini sering mencium kening dan pipiku setelah beberapa tahun
tak pernah melakukannya. Katanya sedang geladi sebelum mencium HajarAswad, aku
hanya bisa diam menuruti kemaunnya.
Suasana kampus masih terasa sama, hanya saja seketika berubah ketika
hal yang tidak aku inginkan terjadi, bertemu dia. Sebenarnya aku sudah menyangka
kalau hal ini akan terjadi, sebab ia juga menjadi mahasiswa di kampus ini.
Sudah lama perempuan yang selalu menebarkan senyum coklat itu kuincar, aku juga
sudah mempersiapkan diri untuk menyatakan perasaanku padanya, tapi takdir
berkata lain. Dua hari lalu aku mendapat kabar dari Anang, teman baikku, bahwa
dia sudah dilamar oleh lelaki kaya pilihan orang tuanya. Aku yang miskin ini
tak punya daya apapun selain berusaha menerima kenyataan yang ada.
“Kang.” Dia menyapaku
Aku sebenarnya enggan untuk menggubrisnya, tapi entah kenapa aku
tetap saja tak mampu melakukan hal itu. Aku mengalihkan pandangan ke arahnya,
kami saling menatap dengan tatapan orang kalah.
“Maafkan aku, Kang. Kuharap kau bisa mengerti.”
“Aku tak kuasa menentang perintah Bapak, Kang. Aku
tak bisa...” katanya dengan tersedu.
“Kau masih ingat kaidah i’lal bukan? Ketika ada wawu jatuh di antara harakat fathah dan kasrah, maka wawu tadi
harus dibuang. Dan aku adalah wawu di
antara kau dan lelaki pilihan orang tuamu.”
Aku tak berani menatap matanya yang terus mengalirkan air mata. Aku
berjalan menjauh dari perempuan itu, berjalan sejauh mungkin, untuk selamanya.
Aku sempat tak bisa menerima seluruh kekalahanku, tetapi bukankah hidup ini
juga permainan. Mungkin permainan ini sudah selesai dan aku harus memulai
permainan baru dengan pemain yang baru, dan dengan kekalahan yang baru.
Oleh: Muhammad Najwa Maulana