Oleh : Natasha Shafa
Salsabila
“Hidup
adalah sebuah perjalanan, maka berjalanlah. Memang melelahkan, tapi
sesungguhnya lelah itulah arti dari kehidupan yang sebenarnya.”
Imam Syafi'i rahimahullah menulis sebuah syair yang
berbunyi :
“Berkelanalah, niscaya kan kau
temukan pengganti orang-orang yang kau tinggalkan.
Berusahalah, karena nikmatnya hidup
itu didapat saat kita berusaha.”
Penggalan syair diatas telah menjadi prinsip yang
membimbing langkahku selama ini. Aku kerap mendendangkannya ketika aku masih
menjadi seorang santriah di pondok tempatku menimba ilmu. Meskipun sekarang
status sebagai santri tersebut secara formalitas sudah berganti, namun pada
hakikatnya kelak sampai kapanpun aku tetaplah seorang santri. Sebagai seorang
pelajar, menuntut ilmu di daerah orang bukanlah hal yang mudah. Perpaduan
antara tangis, tawa, serta rindu yang tercampur menjadi sebuah euforia yang
indah. Euforia yang menemani hari-hariku dalam mengukir banyaknya pengalaman yang
mengandung banyak hikmah dan pelajaran kehidupan.
Tujuh tahun sudah aku hidup berjauhan dengan
keluarga dan menjalani hidup baru dengan lingkungan yang baru. Tapi ternyata,
perjalananku belum usai. Aku melanjutkan studi-ku di tempat yang lebih jauh. Ke
tempat yang sejujurnya tidak pernah ada dalam bayanganku selama ini, ke tempat
yang bahkan hanya kutahu dari telinga ke telinga, ke tempat yang hanya bisa
kubayangkan lewat cerita-cerita yang kudengar. Pilihanku ini yang menentukan
bagaimana hidup ini akan berlanjut. Dengan restu orang tua dan keluarga
besarku, kumantapkan diri untuk melanjutkan perjalananku ini.
Berada di semester ganjil di tahun pertamaku adalah
hal yang paling sulit. Di mana semua ekspektasiku berbeda dengan realita yang
ada. Di mana aku harus berdamai dengan dua hal sekaligus di depan mata, yaitu
lingkungan dan diriku sendiri. Betapa lelahnya beradaptasi di lingkungan baru,
hidup dengan kemandirian, serta berdamai dengan diriku yang sedang berada di
fase Quarter Life Crisis. Quarter Life
Crisis adalah fase yang biasanya dialami dalam rentang usia delapan belas
hingga dua puluh lima tahun. Menurut psikologi, ciri yang dialami pada fase ini
adalah timbulnya rasa khawatir, merasa tidak mampu, stuck, hilangnya motivasi, dan takut dalam menentukan jalan menuju
sukses.
Kemudian, menjadi minoritas dan mengalami culture shock adalah hal yang mungkin
sering dialami seorang perantau atau pendatang baru. Culture shock atau gegar budaya adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kegelisahan dan perasaan yang dirasakan apabila seseorang
menghadapi lingkungan dan kondisi yang tidak seperti biasanya. Culture shock muncul akibat faktor
iklim, bahasa, perilaku sosial, aturan dalam masyarakat, dan masih banyak lagi.
Aku pribadi sempat merasa frustasi sendiri dengan hal ini. Dan setiap kali aku
merasakan culture shock, di detik
itupun aku merasa ingin pulang, perasaan rindu itu muncul tiba-tiba. Rindu akan
rumah, rindu akan lingkunganku yang dulu, rindu akan jalan pulang dan
lain-lain. Rasanya pada saat itu aku ingin menyerah dengan keadaan, tapi
lagi-lagi aku teringat dengan prinsip awal-ku. Dan semangatku tumbuh lagi.
Dari beberapa faktor culture shock, aku tidak terlalu merasa terkejut dengan faktor
iklim atau cuaca di tempat rantau baru-ku, karena cuacanya tidak terlalu
berbeda dengan kota asalku, atau mungkin cenderung sama. Aku berasal dari kota
yang memiliki kadar panas yang sangat tinggi bahkan sampai memiliki julukan
sebagai planet lain, dan menurut beberapa influecer
panasnya setara dengan Negara Korea, yaitu Kota Bekasi. Sementara itu, tempat
rantauku adalah Kota Semarang. Untuk sebagian orang pasti tahu panasnya Semarang
seperti apa, katanya sih seperti Kota Surabaya. Tapi bukan berarti aku tidak
terkejut dengan panasnya Semarang, aku-pun sempat harus beradaptasi lagi karena
sebelumnya aku tinggal selama tujuh tahun di Kota Hujan, yaitu Bogor. Pernah di
suatu siang, aku dan beberapa temanku meringis kepanasan di dalam kamar kos
yang dihuni oleh dua orang perkamar. Saat itu kami belum mempunyai kipas angin,
karena kamar kost milik kami tidak difasilitasi kipas.
Setelah itu, aku juga mengalami keterkejutan dalam
hal berkomunikasi karena aku tidak bisa berbahasa Jawa. Aku sering mengeluh
karena merasa sangat sulit untuk berkomunikasi dengan yang lain sehari-hari.
Aku pun juga merasa kesal setiap ada obrolan via offline maupun online di
grup whatsApp karena aku tidak mengerti apa yang teman-temanku bicarakan.
Bahkan aku sempat merasa tidak enak setiap kali harus menyuruh temanku untuk
berbicara dengan bahasa Indonesia ketika mengobrol denganku, dan juga sering
meminta tolong temanku untuk menerjemahkan perkataan dosen yang sekali dua kali
bercerita menggunakan bahasa Jawa. Selain itu, beberapa temanku menyarankanku
untuk belajar bahasa Jawa alih-alih sebagai antisipasi jika suatu saat ada
orang yang bergosip tentangku didepanku memakai bahasa Jawa. Hahaha. Ide yang
bagus. Ketidakmampuan dalam berbahasa ini menjadi kendala dalam segala hal penting
lainnya, seperti ketika belanja atau membeli keperluan dan ingin menawar barang
di pasar. Huh, sangat merepotkan.
Pernah suatu ketika aku dan kedua teman jurusanku dibohongi
oleh tukang parkir dan supir angkutan umum setelah pulang dari pasar. Kala itu
kami belum mengerti arah jalan Semarang. Akhirnya, salah satu temanku bertanya
kepada tukang parkir dari arah mana kami bisa menaiki angkot, karena pada saat
itu tidak ada angkot yang berhenti di depan pasar. Tukang parkir itu
menunjukkan arah kemana kami bisa menemukan angkot. Kami berjalan agak jauh sehingga
bertemu satu angkot yang memberi kami tumpangan, itu adalah angkot yang sedang
disewa oleh seorang pedagang, tetapi bisa mengantar kami ke arah tujuan yang
kami maksud. Di dalam angkot kami berbincang banyak hingga mendapat informasi
bahwa memang tidak ada angkot ke tempat tujuan kami, tapi supir itu bersedia
mengantar kami ke kost. Sepanjang jalan kami bertukar cerita dengan supir itu.
Sesampainya di depan gang kost kami, kami dikenakan tarif yang cukup
mencengangkan. LIMA PULUH RIBU RUPIAH! Bahkan saat kami mengecek harga Grab-Car
pun tidak sampai segitu. Dari situ aku mendapat kesimpulan, bahwa kita harus
lebih berhati-hati lagi. Bapak supir itu mengambil kesempatan emas karena tahu
kami adalah mahasiswi baru yang belum mengerti banyak tentang Semarang.
Terlepas dari culture
shock, aku juga harus benar-benar membagi waktuku sebaik mungkin. Seperti
yang lainnya, dulu aku berekspektasi bahwa tinggal di kost adalah sebuah
anugerah karena kita bisa melakukan apapun tidak terikat oleh jadwal yang telah
ditentukan, lebih bebas mengapresiasikan diri, dan bebas melakukan apapun
sesuai keinginan. Pokoknya yang ada di benakku hanya bagaimana keseruan itu
terbentuk. Tapi aku salah. Tiap pagi aku harus keteteran mengurusi semuanya
sendiri. Dari memasak sampai menyiapkan segala sesuatu dengan mandiri, dan
memikirkan bagaimana caranya agar sampai ke kampus tepat sebelum jam 7 pagi.
Sebenarnya semua hal ini sudah terbiasa kulakukan sejak kecil, bangun sebelum
subuh, dan masuk sekolah tepat waktu yaitu jam 7 pagi. Tapi itukan tidak dengan
memasak, biasanya kalau urusan makanan aku tinggal mengambil yang sudah
tersedia di dapur, baik itu di rumah maupun pondok. Sementara sekarang? Aku
dengan tidak memiliki bekal dan skill memasak sama sekali cukup kaget. Tapi
lagi dan lagi aku bersyukur dikaruniai teman yang baik dan bisa memasak
sehingga aku sedikit demi sedikit belajar memasak dari mereka.
Tiap harinya segala persiapan masuk kampus dari
mandi hingga selesai makan berakhir pada pukul 06.45 WIB. Dan 15 menit
penghabisan itu kugunakan untuk memesan grab atau sering sekali aku meminjam
motor temanku yang tidak memiliki jadwal masuk bersamaan denganku. Pernah suatu
ketika jalan pintas dekat kostku ditutup karena sedang diselenggarakan acara
hajatan, sehingga aku dan abang gojek harus melewati jalan lain. Sesampainya di
kampus, aku harus berlari-lari mencari kelas bersama beberapa temanku yang
telat karena kami tertimpa macet di jalan, ataupun lampu merah. Saat itu,
sebelum aku memutuskan untuk berpindah kost, aku menempati rumah kost yang
jaraknya cukup jauh dari kampus. Seseekali aku pernah nekat berjalan kaki
pulang pergi dari kampus ke kost begitu juga sebaliknya karena uang saku
bulanan milikku menipis. Sepanjang perjalanan, selaksa rindu itu datang,
mengingatkanku tentang memori tahun lalu di mana mudahnya sekali aku masuk
sekolah karena jarak kamar dan kelasku di pondok sangat dekat dan tidak juga
harus merasakan basahnya baju karena berkeringat.
Hidup di kostpun menuntut kita untuk menghemat, dan
menghitung berapa pengeluaran dan uang saku yang kita miliki. Karena kalau
boros, siap-siap saja mengalami fase makan seadanya, dan menghabiskan banyak
waktu di kamar saja. Aku dan beberapa temanku ini termasuk orang-orang yang
boros sebelum kita merasakan fase pedihnya tidak memiliki uang sama sekali dan
kena omel orangtua karena seringkali meminta uang bukan tepat pada waktunya. Seringkali
kami hanya makan nasi yang kami goreng dengan bumbu nasi goreng seharga dua
ribu, seporsi untuk bersama. Tapi kalau urusan makanan kami bisa menghandle-nya dengan baik, karena makanan
di Semarang termasuk murah daripada daerah lain. Dan yang menjadi menu makan kita
setiap harinya adalah nasi rames seharga lima ribu dengaan porsi yang tak
tanggung-tanggung. Banyak banget! Satu porsi untuk berdua sudah lebih dari kata
cukup.
Selain banyaknya ragam kesulitan hidup diatas, aku
pun pernah berada di fase kecewa sangat dalam karena susahnya berdamai dengan
lingkungan baru. Kecewa karena tidak semua orang bisa memahami perasaan kita,
tidak semua orang bisa menghargai kita, kecewa karena merasa disepelekan dengan
orang lain, pendapat kita tidak diterima, di mana kita harus mendengarkan argumen
orang lain sementara argumen kita tidak pernah didengar, dan aku juga pernah
berada di posisi "orang yang mengenalku dengan baik juga menyepelekan dan meremehkanku".
Tapi walau bagaimanapun, titik itulah yang membuat kita bangkit dan menjadi
lebih baik lagi. Kita betul-betul dituntut untuk belajar tidak egois dalam
mengambil langkah.
Dan akhirnya aku pun tersadar. Bahwa hidup adalah
sebuah perjalanan, perjalanan itu memang melelahkan, tapi sesungguhnya lelah
itulah arti dari kehidupan yang sebenarnya. Jangan kita anggap bahwa lelah itu
sebagai musibah, melainkan anugerah. Banyak hikmah yang dapat kita ambil dari banyaknya
peristiwa yang terjadi, dan itulah yang membuat kita menjadi pribadi yang lebih
baik. Selain perjalanan, hidup juga sebuah pilihan. Dan saat aku sudah
menentukan pilihan, maka akulah yang harus menyelesaikan dan bertanggung jawab
atas pilihan itu. Kita tidak bisa menggantungkan hidup kita sepenuhnya kepada
orang lain, karena itu tidak bersifat abadi dan silih berganti.
Perantauan tidak hanya membuatku mandiri dan dewasa,
tapi juga mengajarkanku arti sebuah rindu. Selaksa rindu. Dan terkadang rinduku
bersahabat dengan air mata. Benar kata ungkapan, "segala sesuatu baru
terasa keberadaannya ketika itu telah pergi atau jauh darimu". Perantauan
mengajarkanku bagaimana indahnya rindu, bagaimana menghargai setiap rindu,
bagaimana harus berteman dengan rindu dan membiasakan diri dengan itu. Rindu
akan semua yang kumiliki, keluarga, guru, sahabat, dan teman yang sudah
sama-sama meniti jalan masing-masing. Semua rindu ini mengajarkanku betapa
kehadiran mereka amatlah nyata dalam kehidupanku. Dan juga mengajarkanku untuk
menghargai setiap pertemuan yang terjadi.
Rindu lahir karena cinta. Kekuatan rindu tergantung
dari kadar cinta. Aku pernah membaca sebuah karya dari seorang penyair yang tak
kuketahui siapa namanya. Ia mengungkapkan bagaimana rindu itu dilahirkan. Isi syairnya
seperti ini “tahukah kamu dari racikan apa rindu dihatimu itu diramu? Rindu itu
terbuat dari segumpal awan. Yang sengaja diturunkan oleh seorang Begawan atas
permintaan orang-orang yang merasa tertawan oleh jarak, waktu, dan keadaan”. Kini,
rinduku perlahan sudah terobati satu persatu. Dan aku telah merasakan kekuatan
dari prinsip hidup yang kupetik dari Imam Syafi’i diawal, aku telah mendapatkan
banyak teman yang dapat membimbingku ke arah yang lebih baik, serta manisnya
pengalaman sebagai cermin kehidupan. Saafir!