Dok. Google
Selembar kertas dari sebuah buku harian yang kosong akhirnya bertuliskan sesuatu. Ada yang bilang bahwa, “Orang cerdas itu selalu ingat pada kematian.” Nufa berucap pelan di teras rumahnya. Dimasukkanlah buku harian itu di tas pundaknya sebelum berangkat menuju kampus. Salvi, Istrinya, yang sedang membaca buku di bangku teras mendengar ucapan Nufa dengan pikiran kesal. Ia selalu membenci Suaminya itu. Ia pun memandangi punggung Nufa yang mulai meghilang dari pandangannya.
Sudah dua bulan Salvi dan Nufa menikah. Mereka menikah dengan paksaan kedua bilah keluarga karena utang yang melilit orang tua Salvi. Mereka masihlah mahasiswa semester akhir, tetapi mereka bisa menikah muda karena finansial keluarga Nufa yang sangat mencukupi beberapa keluarga sekaligus. Jadi, tak ada alasan untuk kedua keluarga mengulur waktu dan langsung menyiapkan akad nikah.
Manusia yang suka ketiduran ketika pulang, susah untuk diajak berbuat baik, suka menunda salat, suka menghilang tanpa kabar dari selepas isya sampai subuh, dan suka menghindar dari pembicaraan privasi, itulah Nufa. Singkatnya, tingkah sang Suami yang membuat Salvi, yang seorang wanita sholihah menjadi sangat membencinya. Sampai-sampai, suatu hari, Salvi pernah membentak Nufa, “Kamu ini gimana? Sudah berkali-kali kuajak bicara empat mata denganmu buat ngebicarain masalahmu yang lalai dengan tanggung jawabmu sebagai suami!! Aku muak, mendingan aku nikah sama orang yang suka adzan maghrib di masjid kampus, walau aku gak kenal dia, daripada kamu yang terus menyepelekanku!!”
Nufa yang mendengarnya, hanya bisa terdiam dan beruaha mengabaikan perkataan Istrnya. Lalu, ia pergi menuju ke suatu tempat tanpa pulang berhari-hari. Salvi pun tak menghiraukan tingkah Nufa yang hanya bisa bikin geleng-geleng dirinya.
Beberapa hari setelahnya, Salvi mendapat undangan dari sahabat satu prodinya yang bernama Shofiah untuk ketemuan di kafe yang cukup mahal. Semenjak menikah, keseharian Salvi langsung berubah drastis. Ia tak perlu memikirkan bagaimana jika kekurangan uang lagi. Namun, Salvi tetap tak punya niatan untuk berfoya-foya dan memilih untuk menggunakan kekayaannya dengan tujuan beramal baik. Akan tetapi, sekarang, mungkin ia harus menguras beberapa lembar uang merah untuk menghargai undangan sahabatnya itu.
“Tau gak, sih,” ucap Shofiah memulai pembicaraan. “Sebenarnya, aku pernah suka sama seorang cowok saat SMP, nih, orangnya.” Ia memperlihatkan sebuah foto di ponselnya yang menunjukkan foto seorang siswa berpeci.
Lah, bukannya dia Nufa?! Salvi terkejut melihat foto suaminya saat SMP yang malah merupakan cinta lama sahabatnya. Ia pun berniat tutp mulut mengenai fakta bahwa ia menikah dengan Nufa demi perasaan Shofiah. “Kenapa tiba-tiba?”
“Yah, kan, aku dah nggak suka… sekarang, aku mau mencari seseorang yang cocok buatku.” Shofiah membenarkan kerudung modisnya.
“Nanti juga dapet sendiri, do’a saja yang terbaik pada Allah.” Salvi menjawab seadanya.
“Yeee, kau, kan, sudah nikah… apalagi kamu masih merahasiakannya dariku baru-baru ini dan belum memberitahuku soal suamimu sedikit pun padaku… bantu dikit, dooong…”
“Emang, sudah ada cowok yang kamu suka sekarang? Nggak, kan?” sindir Salvi mengendikkan bahunya. “Omong-omong, orang yang dulu kau taksiri itu, orangnya seperti apa?”
“Hm? Ah, orangnya sholeh banget, rajin di semua bidang di pondokan,” jawab Shofiah.
Aku juga pernah dengar, Nufa pernah masuk pesantren modern selama enam tahun, tapi kenapa sifatnya kontradiksi dari omongan Shofiah? batin Salvi. “Kalau semisal dia orangnya menjadi buruk atau memang ternyata buruk tanpa kamu ketahui, gimana tanggapanmu?” tanyanya kemudian.
“Yaaa, dia pasti baik. Prestasi pada kedisiplinannya di pondok itu nyata. Toh, aku gak peduli juga karena aku memang sudah tak punya perasaan dengannya sekarang,” ucap Shofiah yang bertopang dagu. “Walaupun dia jadi buruk, dia pasti bisa berubah jadi baik lagi.”
“Tapi, berubah itu cukup susah, kan? Karena memang dari diri sendiri…” ucap pelan Salvi dengan perasaan sedih mengingat tingkah laku Nufa selama ini.
“Tapi, kan, dia punya teman yang baik di sekitarnya, bukankah itu bisa jadi suatu pemicu?” ujar yakin Shofiah yang mulai menyeruput kopi susunya.
“Yaah, kenapa seyakin itu?”
“Itu karena…” ucapan Shofiah terhenti oleh suatu pembicaraan di seberang dengan jarak dua bangku di kanan mereka berdua. Salvi terpaku ketika menoleh ke kanan, melihat dua orang yang berhasil mengalihkan perhatian Shofiah sejenak.
“Heii, Nufa,” ucap seorang dengan intonasinya yang cukup keras dari intonasi orang biasa. “Kok, kamu mulai bolong-bolong lagi ikutan liqo’nya?”
“Suaramu kegedean, Faris,” ujar Nufa menghela napas. “Baru dateng sudah diceramahin saja.”
“Yaaa, kamu malah nggak ikutan liqo’ lagi beberapa kali. Aku penasaran, dong, sebagai sahabat kamu yang sudah bareng terus selama tiga tahun.” Faris tersenyum jahil.
“Nggak ada yang spesial, Istriku ribut.”
Wah, dia sudah punya… batin Shofiah menguping.
Nufa pun menghela napas panjang tanda kesal, sedangkan Faris mengedutkan alis melihat kelakuannya dan berusaha mencairkan suasana. “Kau kenapa, Bro?” tanya Faris, “kalau masalah Istrimu, aku ada saran, mending kamu cerai, terus kasih saja ke orang lain macam aku. Aku, kan, lebih rajin dari kamu… rajin liqo’ maksudku, canda, cuuyy…” Faris menggetuk kepalanya sendiri.
“Mana ada, aku cinta sama dia, lagian, dia ribut bukan alasan yang bikin ‘ku pusing. Masalah dia ribut kemarin, entar aja deh.” Nufa mendesis sambil menaikkan kedua bahunya beberapa kali.
Hah? Salvi membuat wajah kesal ketika mendengar keluhan suaminya itu. Lalu, wajahnya dengan cepat mereda bersamaan dengan sebuah besitan pikiran. Dia… cinta sama aku?
“Eh,” bisik Shofiah pada Salvi. “Kita pindah, yuk… kayaknya gak sopan, deh, kalau kita menguping.”
“Jangan, coba kita dengerin dulu, kita juga nggak sengaja dan ini memang tempat kita, kan? Salahnya mereka ngomongnya keras-keras,” bisik Salvi memberi alasan.
“Tumben kamu gitu, gak takut dosa apa?”
“Ini lain cerita, percayalah.”
“Ya udah kalau gitu…” Shofiiah mengangguk pelan.
“Aku…” Nufa mulai berbicara sambil menghadap sahabatnya. “Sebenarnya pernah rajin dulu…”
“Dih, sok-sok lihat masa lalu.”
“Bener, Cuy, dulu…” Nufa menceritakan kilas baliknya saat ia masih sekolah di pondok modern. Nufa dulu merupakan seorang santri yang sangat displin dan selalu mengikuti berbagai kegiatan dari banyaknya program kepondokan selama enam tahun.
“Sekarang gimana?” tanya Faris menyindir.
“Sekarang aku sudah beda… aku-“
“Hop,” potong Faris cepat. “Aku gak mau dengar jeleknya dirimu karena aku sudah tahu dari keseharianmu sekarang. Kamu mau berubah, kan?”
“Mau, sih… balik kayak dulu,” jawab Nufa singkat.
“Kalau ‘balik’ sepertinya nggak bakal bisa, deh. Kan, sekarang kamu dah seperti ini, Kamu hanya bisa jadi lebih baik atau jadi lebih burukk dari kamu yang sekarang.” Faris bernasehat.
“Aku pusing, Bro. dulu sering puasa, salat di masjid mulu, dan semua program kepondokan kulalui dengan semangat, tapi kenap aku jadi menyepelekan hidup gini, ya?”
“Kamu maunya gimana?”
“Ya berubah.”
“Ya sudah, akan kubantu sebisanya. Aku nggak bakal bisa bantu kalau urusan di rumah, tapi kalau di luar rumah, Insya Allah kubantu, kok,” ucap Faris santai.
“Kok, nggak bisa?”
“Kalau urusan rumah, sudah ada Istrimu, kan? Minta tolong sama dia saja.”
Nufa diam saja. Ia benar-benar tak tahu apa Istrinya itu mau dengan permintaannya. Ia pun menceritakan tentang pernikahannya yang ditentukan sepihak dengan orang tuanya. “Tapi, dia cantik hatinya, Bro… tidak bisa lepas aku.”
“Kamu cinta dia, kan?”
Nufa terdiam kembali. Faris benar. Nufa benar-benar mencintai Salvi, tetapi dia takut dengan reaksi istrinya ketika tahu perasaannya yang sebenarnya. Namun, sahabat tetaplah sahabat. Faris memberikan berbagai saran dan solusi untuk masalah Nufa.
“Kalau begitu, akan kubagi waktuku buat istriku…” tekad Nufa.
“Nah, gitu, dong! Mau deket sama gebetan halal. Sudah dua bulan menikah, tapi gak pernah kontak sama sekali itu aneh tahu,” sambar Faris.
“Aku merasa gak pantes, Cuy. Dia rajin salat malem, rajin salat di masjid pula… rajin puasa sunnah juga dia, ngajinya juga kencang.”
“Yaah, kamu, kan, pernah kek gitu juga, coba susul aja, siapa tahu dia naksir sama kamu…” ujar Faris meringis.
Faris pun mengajak Nufa untuk pergi menuju tempat liqo’ setelah beberapa saat mengobrol. Salvi dan Shofiah yang sudah puas menguping pun mulai bersiap meninggalkan kafe juga. Namun, Shofia tah-tahu mencoba membuka topik baru. “Sal, kamu itu istrinya Nufa, kan?”
Salvi terkejut. Ia tak menyangka bila Shofiah bakal menyinggung hal itu sekarang. Sebenarnya, Salvi pun sudah menduga bila Shofiah sadar dari gelagatnya yang ingin menguping pembicaraan Nufa dan Faris. Akan tetapi, Salvi tetap ingin menyampaikan kebenarannya suatu saat. Pertanyaan muncul di benaknya. Kenapa ‘suatu saat’ itu tidak sekarang saja?
“Umm, benar,” jawab pelan Salvi, merasa takut bia akan dibenci Shofiah.
“Selamat, ya. Aku tak tahu kamu bakal mengalami banyak hal, tapi yang pasti, Nufa itu pasti mencintaimu yang kelewat cantik dan sholehah ini!” ujar Shofiah senang.
Kenapa dia tak merasa cemburu? Apa dia yang sudah benar-benar tidak punya perasaan lagi terhadap Nufa adalah benar? Salvi berpikir keras karena bingung.
“Hei, Salvi, tolong kenalin aku sama temannya Nufa yang namanya Faris itu, dong,” pinta Shofiah menepuk kedua pundak Salvi. “Tolong lewat Nufa, ya?”
Ah, ternyata itu. Salvi menepuk jidat tanda kesal. “Baiklah…”
Sejak saat itu, Nufa mencoba untuk pulang menghadap Salvi. Ia pun berusaha mengobrol sejenak dengan istrinya itu dengan bawaan yang santai sebelum membawa topik yang sebenarnya. Ketika Nufa hendak memasuki topik pembicaraan, Salvia menggumamkan sesuatu, “Orang cerdas itu selalu ingat dengan kematian.”
“Eh?”
“Nufa, aku pernah mendengarmu menggumami kalimat itu,” ujar Salvi memandang secara intens wajah Nufa. “Sejak itu, aku paham, kalau orang yang mengingat kematan akan selalu membenah diri untuk akhir yang terbaik.”
Nufa hanya terdiam melihat wajah istrinya mulai menangis. “Ada apa?”
“Kamu ini… nggak peka kalau jadi cowok…” isak Salvi dengan sedikit tawa. Haru. “Aku sudah tidak menyadari selama ini… perasaanmu… aku terlalu cepat menyimpulkan…”
“Dasar kamu… siapa sekarang yang tidak peka?” goda Nufa yang pindah duduk di sebelah Salvi dan menggenggam tangan lentik istrinya.
“Kita berdua,” tawa lepas Salvi.
“Kita berdua,” Nufa mengusap pipi bekas air mata milik Salvi dan langsung memeluknya tanpa celah sedikit pun. Hawa teras rumah kala itu terasa hanyat baginya. Sampai perkataan Nufa benar-benar menyempurna “akan saling memahami. Terus, terus, dan terus… dan izinkan aku mengatakan tiga hal.”
“Apa itu?” tanya Salvi yang wajahnya memerah karena malu. Sebab, inilah pelukan pertama dalam hidupnya yang dihasilkan dari orang selin keluarganya, pelukan sang suami.
“Pertama, aku mencintaimu,” ungkap Nufa, “Kedua, akulah yang selalu adzan magrib di kampus.”
“Loh? Ap-Apa?!” Salvi mendorong dada Nufa agar terlepas dari pelukan. Wajahnya benar-benar tampak merah malu dibuatnya. “Jadi, saat aku ngomong… saat kamu… eh??”
“Jangan bingung dulu, yang ketiga belum kuucapkan.” Nufa kembali memeluk Salvi dengan segenap kemesraannya.
Sebelum Nufa mengucapkan hal ketiga, telinga Salvia menangkap bisikan dzikir dan doa yang dilantunkan sang suami. “Aku ingin mengubah hidupku. Baik tulisan yang ada di buku tentang ‘orang cerdas ingat mati’ maupun dirimu, Sayang, telah mengubah pandangan hidupku menjadi terarah di jalan yang benar… sekali lagi… aku bersyukur memilikimu, Salvi.”
Oleh : Hasan Muadz Muhammad (Kru Magang 2023)