Harap yang Penuh Haru

Ilustrasi Taman (pixabay)

Pada suatu pagi yang teduh, secercah sinar dari mentari mulai menghangatkan tubuh ini. Awan yang mendung sehabis hujan dini hari, membuat suasana di hari itu terasa begitu menenangkan.

Aku baru saja membuka pagar rumahku, dan hendak berjalan pagi menikmati hari minggu yang tak seperti biasanya. Pagi itu terasa seperti menghirup udara baru, udara yang sudah lama aku impikan semenjak deretan besi-besi berjalan di jalanan beraspal.

Suasana jalanan pada saat itu cukup lenggang, bisa dihitung hanya beberapa kendaraan yang melintas, selebihnya banyak yang berjalan kaki untuk sekadar mengecap rasa yang sudah lama hilang.

Aku berjalan di sekitar Taman Masa Lalu, tempatnya teduh menenangkan karena banyak ditanami pohon trembesi di sekitar jalan masuk taman. Pada pusat taman terdapat kolam kecil dengan air mancur di tengahnya, arsitekturnya yang ikonik banyak dikenali oleh berbagai kalangan, sebab itulah yang kebanyakan dipikirkan oleh para arsitek taman, dan mungkin kebanyakan para pembaca yang berusaha mengilustrasikannya. Terdapat sice panjang yang mengelilingi air mancur dan diletakan agak jauh dari kolam, letaknya ini dimaksudkan untuk menghindari basah karena percikan air.

Taman Masa Lalu, tak tahu mengapa taman itu dinamai dengan nama itu, rasa-rasanya orang zaman dulu sekenanya saja menamai sebuah tempat. Tentang nama itu, banyak kabar burung yang beredar, tetapi yang paling masyhur di antara banyaknya kabar burung itu hanya ada dua cerita. Yang pertama mengatakan konon taman tersebut sudah ada sejak zaman purbakala, dan dulu taman ini jadi tempat singgah bagi para hewan-hewan raksasa. Mungkin saja ada benarnya, tetapi cerita yang satunya lagi mengatakan bahwa dinamakan Taman Masa Lalu sebab banyak dari para pengunjung yang berpelesir di taman ini, atau hanya sekadar melintas saja tiba-tiba teringat akan kenangan yang semestinya dilupakan, bahkan tak jarang dari mereka yang menangis secara massal di taman ini.

Aku berdiri di seberang air mancur, menilik orang-orang yang tengah sibuk dengan dirinya masing-masing, ada yang sedang bercengkrama dengan lawan bicaranya, ada yang bermain-main di sekitar air mancur, bahkan ada pula yang sibuk bercericau sendiri.

"Jangan terlalu berharap pada orang lain selain dirimu seorang, Rangkat" celetuk Songko di belakangku yang kedatangannya membuat diri ini hampir kena serangan jantung.

Ia melanjutkan bicaranya "Walaupun orang yang hendak kau gantungkan harapan padanya sudah mengenalmu 100 tahun lamanya, semua bisa sirna dengan sekejap mata."

"Behhh kau ini, macam sudah hidup 100 tahun saja," bantahku dengan wajah kecut.

"Lihat orang yang di sana itu Rangkat, kondisi orang itu seperti plesetan namamu dari kata Rungkat, hahaha?" sambil menunjuk orang paruh baya di sudut taman yang duduk termangu sendirian dengan tatapan kosong.

"Oh bapak yang ada di pojok sana, memangnya ada apa dengan dia, kau anak asuhnya?"

"Hushh sembarangan saja bicara, kalau mau tahu dia siapa ikutlah denganku, biarku tunjukkan siapa bapak itu sebenarnya."

Aku pun terpaksa mengikuti Songko, ia berjalan lurus ke depan berlagak seperti seorang penyintas yang baru saja lolos dari kejaran malaikat maut. Kami menuju seorang paruh baya di seberang taman, dan mulai menjaga jarak tak jauh dari keberadaan bapak itu. Lamat-lamat kami mendengar suara lirih, kalimat yang keluar dari mulutnya menyiratkan kondisinya sekarang, nada bicaranya menunjukkan kepasrahan dan keputusasaan.

"Ada banyak ratusan, ribuan, bahkan jutaan manusia yang mati sia-sia karena menggantungkan diri pada pohon harapan, mereka terlalu bodoh percaya pada manusia selain dirinya, tak sadarkah mereka bahwa di dunia ini tak ada yang bisa mereka harapkan selain dirimu seorang," sorot matanya menunjukkan semua masalah yang telah terjadi padanya.

Aku penasaran, hal apa yang telah terjadi pada orang itu, seolah sudah pupus harapan dalam menjalani sisa-sisa dari kehidupannya. Aku coba menghampiri dan berharap jawaban dari yang aku bingungkan.

"Mengapa bapak sampai meratapi nasib yang sudah terjadi, bukankah masa lalu tidak usah diambil pusing?" Aku memberanikan diriku, walau berpikir pertanyaan semacam ini terlalu bodoh untuk memperoleh jawaban dari orang yang jiwanya telah direnggut oleh kenangannya.

"Nak, kau masih terlalu dini untuk mengerti," jawabnya singkat dengan penuh ketenangan.

Pikirku, bodoh betul aku ini, hampir saja kutarik pertanyaanku di awal, tetapi orang ini kemudian melanjutkan bicaranya.

"Kau mau tahu nak mengapa aku bicara sendirian begini? Sudah banyak yang menganggapku gila karena terus-terusan berucap tanpa ada yang kuajak bicara. Baru kali ini ada yang bertanya padaku setelah seminggu aku berada di sini. Ya seminggu sejak aku berkunjung ke Taman Masa Lalu ini, benar kata cerita itu, aku kembali teringat masa lalu di mana aku bergantung pada Sahabatku, dia teman masa kecilku, dan sudah bersamaku setengah Abad lebih. Sekarang lihatlah yang terjadi padaku, aku ditinggal sendirian di sini sejak ia sibuk dengan pekerjaannya."

"Semua orang memang punya pekerjaan masing-masing bapak, dan sudah sepatutnya sibuk dengan dirinya masing-masing, mengapa harus dipikirkan sepilu ini?" Tanyaku dengan penuh rasa penasaran.

"Iya memang tak perlu dirisaukan begini, tapi kejadian masa lalu membuatku selalu teringat, kejadian saat dia meninggalkanku begitu saja. Saat itu aku hendak berkunjung di rumahnya yang letaknya hanya di seberang kota. Aku pun berniat untuk menginap di rumahnya sembari bernostalgia di lingkungan masa kecilku. Aku sudah lama pindah rumah semenjak punya pekerjaan sendiri, dan pada saat setelah aku sampai berkunjung ke sini, dia tak menghiraukanku dan meninggalkanku begitu saja."

Aku membatin, kalau ditinggal begitu baiknya langsung cari tempat bernaung saja sekenanya, kan masih banyak di luar sana, kalau tidak begitu langsung pulang saja apa susahnya.

Ia masih saja meneruskan ceritanya, tetapi kali ini kata-katanya seolah ingin memotivasi kami berdua, wajahnya tenang menunjukkan sedikit ada kelegaan setelah mengeluarkan keluh kesahnya.

"Ya memang begini jadi manusia, terlalu berharap pada sesama akan membuatmu sirna dalam kubangan asa, sebaliknya terlalu mengabaikan harapan hidupmu tidak akan punya tujuan. Camkan itu baik-baik nak, sebelum tersesat dalam masa mudamu, dan berakhir di Taman Masa Lalu sepertiku."
Kata-katanya menusuk tepat pada jantung hatiku, aku terperanjat dan segera pergi meninggalkan Songko yang ternyata sudah terpaku mati, ia menangis sejadi-jadinya, merengek seperti bayi yang ditinggal ibunya. Saat ini Ia sudah terjebak ke dalam Taman Masa Lalu.


Penulis: Fajar Fahrozi


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak