Pameran Diskon Etika dari Senayan

Ilustrasi terkejut dengan diskon palsu (dok. Pinterest)

Di tengah hiruk-pikuk perpolitikan Indonesia, kita menyaksikan sebuah fenomena yang tak kalah menarik dibandingkan pesta diskon bulanan di sebuah platform e-commerce.

Bedanya, kali ini yang didiskon bukanlah barang-barang konsumsi, melainkan moralitas dan etika. Dalam pameran politik di Senayan, moralitas kerap diperdagangkan dengan harga yang sangat terjangkau, bahkan kadang-kadang gratis untuk mereka yang punya akses ke lingkaran kekuasaan.

Pertanyaannya adalah, apa yang tersisa dari etika ketika ia diperlakukan seperti barang murah yang bisa dinegosiasikan sesuai kebutuhan politik?

Moralitas sebagai Barang Murah di Pasar Politik

Dalam pasar politik, moralitas telah berubah menjadi komoditas yang diperjualbelikan tanpa ragu. Ibarat sebuah barang obral di pasar loak, nilai moral sering kali ditentukan bukan oleh prinsip, melainkan oleh seberapa besar keuntungan yang bisa diambil dari transaksi tersebut.

Politisi yang berdiri di podium dengan gagahnya, berbicara tentang integritas dan kejujuran, adalah seorang marketing yang cakap. Mereka tahu bagaimana memoles barang dagangan mereka agar terlihat berkilau, meski kualitasnya jauh dari standar.

Fenomena ini jelas mengkhianati esensi moralitas itu sendiri. Di dalam logika yang absurd ini, moralitas bukan lagi dasar dari tindakan, melainkan instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pragmatis.

Para politisi dengan lincahnya menjual dan membeli prinsip etis, menawar, dan menawar kembali sampai harga yang tepat tercapai. Apakah itu artinya moralitas memang tak pernah benar-benar ada dalam kamus politik, ataukah ia hanya menjadi korban dari kebijakan politik pragmatis?

Lebih parah lagi, masyarakat sebagai pembeli sering kali tertipu oleh kemasan moralitas palsu yang dijual di pasar politik ini. Ketika kita memilih pemimpin yang tampaknya berpegang teguh pada prinsip, kita sering kali baru menyadari kemudian bahwa prinsip tersebut hanya sebatas kata-kata manis yang segera hilang setelah tujuan tercapai.

Seolah-olah, moralitas hanya menjadi alat untuk memuluskan jalan ke kursi kekuasaan, setelah itu ia disingkirkan begitu saja.

Potongan Harga untuk Kawan, Harga Penuh untuk Lawan

Dalam pameran politik ini, ada satu keistimewaan yang tak boleh dilewatkan: etika diskon.

Diskon ini diberikan dengan besar-besaran kepada kawan-kawan politik, sementara lawan harus membayar harga penuh, bahkan sering kali dikenakan tambahan 'pajak fitnah'. Ini bukan sekadar kebijakan tidak adil, tetapi juga cermin dari betapa politisi bisa memanipulasi standar moralitas sesuai dengan kepentingan kelompok mereka.

Etika yang seharusnya menjadi pedoman universal justru menjadi standar ganda yang dengan mudahnya diatur ulang sesuai kebutuhan. Ketika seseorang berada dalam lingkaran kekuasaan, segala kesalahan bisa dengan mudah dihapus atau dimaafkan, asalkan masih ada manfaat yang bisa dipetik dari dirinya.

Namun, begitu ia keluar dari lingkaran tersebut, standar moralitas berubah total; segala hal kecil bisa dijadikan alasan untuk menghancurkan karakternya. Dalam situasi ini, kita melihat betapa etika dalam politik Indonesia tidak lebih dari alat tawar-menawar.

Potongan harga diberikan kepada mereka yang bisa memberikan dukungan, sementara mereka yang berdiri di luar lingkaran kekuasaan harus menghadapi standar etika yang jauh lebih ketat. Seolah-olah, moralitas menjadi barang mewah yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang dekat dengan kekuasaan, sementara rakyat jelata harus puas dengan sisa-sisanya.

Akhirnya, situasi ini hanya memperburuk krisis kepercayaan publik terhadap politisi. Mereka sadar bahwa dalam permainan ini, yang benar tidak selalu menang, dan yang salah tidak selalu dihukum. Etika dan moralitas hanya menjadi bumbu yang ditambahkan sesuai selera kekuasaan.

Pedagang yang Kehilangan Modal Moral

Jika kita mengibaratkan politisi sebagai pedagang moralitas, maka banyak di antara mereka yang sudah lama kehilangan modal moral. Mereka masih menjual prinsip-prinsip luhur, tetapi tanpa substansi yang mendukungnya.

Seperti pedagang yang menjual barang cacat dengan harga tinggi, mereka menawarkan janji-janji moral yang hanya indah di permukaan, tetapi kosong di dalam. Ini merupakan fenomena yang semakin menggerogoti kepercayaan publik terhadap sistem politik kita.

Seorang politisi yang benar-benar berpegang pada moralitas seharusnya memiliki integritas yang kokoh sebagai modal utama. Namun, di tengah tekanan politik yang keras, banyak yang akhirnya menggadaikan moralitas mereka untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek.

Dalam proses ini, mereka kehilangan otoritas moral yang seharusnya menjadi dasar dari kepemimpinan mereka. Sebuah sistem politik yang diisi oleh para pedagang moral yang kehilangan modalnya hanya akan membawa kehancuran, karena pada akhirnya, tidak ada lagi nilai-nilai yang bisa dijual.

Ironisnya, banyak dari politisi ini masih berpura-pura bahwa mereka memiliki moralitas yang utuh. Mereka berbicara tentang integritas dan kejujuran dengan begitu meyakinkan, hingga kita hampir percaya bahwa mereka benar-benar memilikinya. Namun, ketika kita melihat lebih dalam, kita menemukan bahwa semua itu hanyalah topeng yang rapuh. Mereka adalah pedagang yang menjual sesuatu yang tidak mereka miliki.

Akibatnya, ketika masyarakat semakin menyadari kenyataan ini, mereka menjadi skeptis terhadap semua retorika moral yang dilemparkan oleh politisi.

Masyarakat melihat bahwa moralitas di panggung politik hanyalah barang dagangan yang tak berharga, dan ini semakin memperkuat sikap sinis terhadap politik secara keseluruhan. Dalam situasi seperti ini, tak heran jika tingkat kepercayaan publik terhadap institusi politik terus merosot.

Masyarakat yang Tertipu oleh Iklan Palsu

Dalam logika pasar, konsumen selalu dianggap sebagai raja. Namun, dalam pasar politik, konsumen yang dalam hal ini adalah masyarakat, sering kali menjadi korban dari iklan palsu yang dijajakan oleh para politisi.

Janji-janji etis dan moral dilemparkan dengan gembar-gembor, seolah-olah mereka adalah solusi dari segala permasalahan. Namun, ketika produk yang dijanjikan akhirnya tiba, kualitasnya jauh dari harapan.

Masyarakat, sebagai konsumen, sering kali terbuai oleh kampanye-kampanye yang menjual janji-janji indah. Dalam suasana pemilu misalnya, kita sering disuguhi iklan politik yang menampilkan kandidat sebagai sosok yang penuh dengan integritas dan moralitas. Namun, seperti barang palsu di pasar gelap, janji-janji ini jarang sekali memenuhi standar yang diharapkan.

Setelah terpilih, banyak dari mereka yang lupa akan janji-janji yang mereka buat dan masyarakat pun dibiarkan kecewa. Fenomena ini menggambarkan betapa pentingnya masyarakat untuk bersikap kritis terhadap iklan-iklan moralitas yang dilemparkan oleh politisi.

Masyarakat harus menjadi konsumen yang cerdas, masyarakat harus bisa membedakan antara produk asli dan barang tiruan. Namun sayangnya, dalam konteks politik, kemampuan untuk membedakan ini sering kali terhalang oleh kompleksitas permainan politik itu sendiri. Masyarakat sering kali tidak memiliki akses terhadap informasi yang cukup untuk membuat keputusan yang benar.

Pada akhirnya, ketika masyarakat menyadari bahwa mereka telah tertipu oleh iklan-iklan palsu ini, rasa kepercayaan terhadap sistem politik semakin terkikis. Mereka merasa bahwa politik adalah permainan yang kotor, di mana moralitas hanyalah alat untuk menipu. Ketika kepercayaan ini hilang, partisipasi masyarakat dalam politik pun menurun, menciptakan lingkaran setan yang semakin memperparah krisis moral dalam politik kita.

Dari Etika Agung ke Slogan Murahan

Di awal perjalanan bangsa ini, moralitas dan etika dalam politik mungkin dipandang sebagai sesuatu yang agung dan mulia. Mereka adalah pilar-pilar yang menopang berdirinya bangsa ini, di mana integritas dan kejujuran dihargai tinggi.

Namun seiring berjalannya waktu, moralitas dalam politik menyusut, dari sesuatu yang besar dan bermakna, menjadi sekadar slogan-slogan murahan yang sering diulang-ulang, tetapi tak bermakna. Proses penyusutan ini terjadi seiring dengan meningkatnya pragmatisme dalam politik.

Ketika tujuan kekuasaan menjadi satu-satunya yang diincar, segala hal lain; termasuk moralitas, dipandang sebagai hambatan yang harus disingkirkan atau minimal, disesuaikan dengan kepentingan. Akibatnya, nilai-nilai luhur seperti integritas, kejujuran, dan keadilan hanya menjadi kata-kata kosong yang diucapkan tanpa pemahaman mendalam.

Dalam kondisi tersebut, para politisi masih menggunakan slogan-slogan ini sebagai senjata mereka dalam meraih dukungan. Mereka tahu bahwa masyarakat masih menghargai nilai-nilai moralitas, meski hanya dalam tataran retorika. Tetapi penggunaan moralitas sebagai alat propaganda hanya mempercepat penyusutan nilainya. Setiap kali slogan-slogan ini diulang tanpa disertai tindakan nyata, nilai moralitas semakin kehilangan maknanya.

Akhirnya, kita sampai pada titik di mana moralitas dalam politik tidak lebih dari sekadar aksesoris kampanye. Ia dipakai untuk menarik simpati, tetapi segera dibuang setelah tidak lagi dibutuhkan.

Ketika moralitas hanya menjadi aksesoris, kita harus bertanya: Apa yang tersisa dari politik kita? Apakah masih ada ruang bagi etika yang benar-benar dipegang teguh, ataukah semua sudah tenggelam dalam pragmatisme yang tak berujung?


Penulis: Fatih Hayatul Azhar (Mahasiswa Universitas Budi Luhur, Jakarta Selatan)

Editor: Agustin 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak