Ilustrasi adegan politik modern yang mengingatkan pada Revolusi Prancis. Doc. Freepick. |
Raja Louis XVI Ada di Indonesia Saat Ini?
Raja Louis XVI adalah sosok raja Prancis yang terkenal dengan ketidakmampuannya untuk beradaptasi dengan perubahan zaman dan tuntutan rakyatnya. Dia diingat karena gaya hidup mewahnya yang bertentangan dengan kesulitan rakyatnya.
Di Indonesia, kita mungkin tidak memiliki raja dalam arti literalnya, tetapi ada figur-figur politik yang sering kali dianggap sebagai 'raja' di ranah politik kita. Mungkin mereka tidak semuanya tinggal di istana megah, tapi seringkali mereka terlihat terlalu jauh dari realitas sehari-hari dan tidak langsung rakyat.
Misalnya, ketika publik mulai menunjukkan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah, kita sering kali mendapati bahwa para pemimpin politik kita lebih fokus pada urusan internal mereka atau sibuk dengan urusan partai daripada mendengarkan keluhan rakyat.
Mirip dengan bagaimana Raja Louis XVI yang sering kali lebih terbenam dalam urusan istana dan politik kelas atas daripada merespons keluhan rakyat yang semakin keras.
Apakah ini berarti kita sedang berada di ambang revolusi? Mungkin iya, mungkin belum. Tapi kita bisa melihat pola-pola yang mengingatkan kita pada situasi sebelum revolusi besar di Prancis.
Maria Antoinette dan “Let Them Eat Cake” ala Indonesia
Maria Antoinette merupakan istri dari Raja Louis XVI. Maria terkenal dengan pernyataannya yang kontroversial, “Biarkan mereka makan kue!” ketika rakyat Prancis mengalami kelaparan. Pernyataan ini menjadi simbol dari ketidakpedulian elit terhadap penderitaan rakyat.
Di negara ini, kita sering kali melihat fenomena serupa, kue-kue politik yang manis dari para pemimpin yang terlihat tampak terputus dari realitas.
Kue politik yang sering kali kita dengar—seperti kue untuk meningkatkan standar hidup, mengurangi kemiskinan, atau memperbaiki infrastruktur—sering kali tidak sesuai dengan realitas.
Misalnya ketika pemerintah mengumumkan proyek-proyek besar atau insentif ekonomi, sering kali yang terlihat adalah pemborosan anggaran dan hasil yang tidak sebanding dengan harapan rakyat.
Dalam banyak kasus, kue politik ini tidak lebih dari sekadar kosmetik yang dirancang untuk membuat rakyat merasa seolah-olah mereka diperhatikan, padahal tidak ada perubahan nyata yang terjadi.
Tentu ini sangat mirip dengan bagaimana Maria Antoinette dianggap tidak memahami atau tidak peduli dengan penderitaan rakyatnya.
Pemberian kue-kue ini sering kali hanya berfungsi untuk menenangkan massa, sementara mereka terus melanjutkan kebijakan yang tidak efektif dan sifatnya hanya menguntungkan pihak yang berkepentingan.
Versailles-nya Indonesia
Istana Versailles di Prancis dikenal dengan kemewahan dan extravaganza-nya yang mencolok, sementara rakyat Prancis menghadapi kemiskinan dan kesulitan.
Di Indonesia, kita mungkin tidak memiliki istana megah seperti Versailles, tetapi kita memiliki gedung-gedung pemerintah dan proyek-proyek infrastruktur yang sering kali dianggap sebagai simbol kemewahan politik.
Gedung DPR adalah contoh yang paling jelas. Sementara gedung tersebut dirancang untuk menjadi pusat keputusan politik, sering kali terlihat seperti tempat yang jauh dari realitas kehidupan sehari-hari rakyat.
Fasilitas yang ada di gedung tersebut—mulai dari ruang rapat yang megah hingga fasilitas yang canggih—menjadi simbol dari perbedaan kelas yang mencolok. Ini mencerminkan ketidakmampuan para pemimpin untuk berhubungan dengan kondisi nyata rakyat yang mereka wakili.
Ketika kita melihat kemewahan dan fasilitas yang ada di gedung DPR, sering kali kita bertanya-tanya apakah para pemimpin benar-benar memahami atau peduli dengan kehidupan rakyat yang mereka wakili.
Kemewahan yang tidak sebanding dengan penderitaan rakyat ini menciptakan jarak emosional dan sosial yang besar. Hal ini persis seperti soal bagaimana kemewahan Istana Versailles berkontribusi pada ketidakpuasan rakyat Prancis, yang akhirnya memicu revolusi.
Protes Rakyat: Dari Revolusi ke Revisi RUU
Ketika rakyat Prancis marah, mereka turun ke jalan dan menuntut perubahan drastis yang berujung pada revolusi. Di Indonesia, protes rakyat sering kali tidak mengarah pada perubahan struktural yang mendalam, tetapi lebih pada revisi aturan atau peraturan yang dianggap tidak memadai.
Revisi undang-undang sering kali menjadi cara pemerintah untuk meredam ketidakpuasan tanpa benar-benar mengatasi masalah mendasar.
Ketika ada protes besar-besaran, pemerintah mungkin akan mengeluarkan revisi atau amandemen terhadap peraturan yang ada, tetapi perubahan ini sering kali tidak menyentuh akar masalah.
Sebagai contoh, protes terhadap kebijakan ekonomi sering kali direspon dengan penyesuaian kecil dalam kebijakan yang ada. Namun, jika terdapat masalah mendasar seperti ketidakadilan sosial atau kesenjangan ekonomi, mereka tidak akan tanggap menangani.
Revisi hanya akan menjadi solusi sementara. Ini mencerminkan bagaimana protes rakyat yang awalnya berpotensi untuk memicu perubahan besar sering kali menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk melakukan penyesuaian kosmetik yang tidak benar-benar mengatasi isu-isu mendasar.
Revolusi Sebagai Inspirasi atau Halusinasi?
Revolusi Prancis sering kali dijadikan contoh dalam diskusi politik sebagai tanda perubahan radikal. Namun di zaman modern, referensi ini sering kali menjadi alat untuk memperdebatkan teori atau ide tanpa benar-benar mengimplementasikan perubahan signifikan.
Sering kita menggunakan istilah revolusi untuk menggambarkan keinginan akan perubahan besar, tanpa berstrategi dan memikirkan tindakan yang nyata.
Ketika pembicaraan tentang perubahan besar muncul, apakah kita benar-benar siap untuk menghadapi perubahan struktural yang mendalam? Atau apakah kita hanya menggunakan istilah revolusi sebagai cara untuk mengungkapkan ketidakpuasan tanpa niat untuk melakukan perubahan nyata?
Perdebatan tentang revolusi sering kali menjadi halusinasi politik, di mana keinginan untuk perubahan besar tidak diikuti dengan tindakan konkret.
Digitalisasi Guillotine
Dulu, guillotine adalah simbol dari kekuasaan yang menindas dan keadilan yang brutal. Sekarang, kita mungkin tidak memiliki guillotine secara harfiah, tetapi kita memiliki alat-alat sosial seperti media sosial yang bisa sangat mematikan dalam hal reputasi dan karier politik.
Kritik tajam dan meme yang beredar di media sosial sering kali menjadi bentuk guillotine modern yang menghancurkan reputasi seseorang melalui opini publik yang menjadi bola liar.
Sisi negatifnya, efek yang ditimbulkan sering kali bersifat sementara—semangat perlawanan atau kemarahan mungkin mereda seiring waktu, dan figur-figur politik mungkin masih tetap berkuasa meskipun telah mengalami 'serangan' dari warganet.
Pertanyaan besarnya, “Apakah alat ini benar-benar mengubah cara kita melihat kekuasaan atau hanya berfungsi sebagai bentuk pelampiasan ketidakpuasan yang tidak berdampak pada perubahan struktural?”
Meskipun media sosial dapat sangat mempengaruhi citra publik, perubahan yang mendalam sering kali memerlukan tindakan nyata. Bukan hanya sekadar 'guillotine' digital.
Penulis: Fatih Hayatul Azhar (Mahasiswa Universitas Budi Luhur, Jakarta Selatan)
Editor: Agustin