Di Balik Punggung si Rambut Sewarna Bata

Ilustrasi seorang pria muda dengan rambut sewarna bata tengah merenung sendirian di malam hari, merasa kesakitan dan kerinduan akan masa kecil yang hilang. Sumber: Freepick.

Sunyi malam, gemintang di angkasa. Disini, aku terlentang menyaksikan semesta yang tengah berdansa. Akrobatik mati yang menjadi temanku melipur hati. Sakit yang kurasa tak tentu obatnya. Namun, aku tahu kini. Semua rasa benci itu hanya kamuflase. Semua cambuk rotan itu hanya sebuah tes belaka. 

Ibu, beristirahatlah dengan damai. Maaf, karena rambut sewarna bataku ini, hidup damaimu dulu, hanya sebuah kenangan sekarang.

Saat senja seperti ini, aku selalu terbayang wajahnya yang sedikit-sedikit berkerut. Sedikit-sedikit melirik sinis. Sedikit-sedikit mendengus jengkel ke arahku. Helaan nafasku memenuhi ruangan sepuluh kali lima belas meter ini. Ruang kerjaku yang bertempat di lantai paling tinggi sebuah gedung di salah satu kota cantik nan padat ini terasa hampa.

‘Ibu apakabar?’ bisikku dalam hati. ‘masihkah tatapan nyalang yang aku dapat dulu tetap ada hingga kini?’ relungku bergejolak semakin ramai.

Ingatanku mengelana saat aku menatap pantulan kaca gedung diruangan ini. Yang kulihat adalah seorang bocah kurus berambut sewarna bata menatapku balik dengan senyum terkembang lebar. Tanpa memedulikan tubuh membiru bekas pukulan. Dia melambai lantas pergi. Bayangan itu berganti dengan wajah seorang lelaki dewasa berkemeja merah hati berambut sewarna bata namun tanpa kulit yan membiru karena bekas pukulan.

Tok...tok...

Ketukan di pintu mengalihkan pikiranku kembali. Aku mengusap wajahk sebelum menyuruh masuk orang itu. “ ini laporan terakhir untuk pak daniel hari ini.” Aku mengangguk, mengambil laporan itu.

‘aku ingin pulang. Ibu aku merindukanmu.’ Hatiku bergumuruh hebat. cepat cepat ku selesaikan laporan ini.

“Alexa! Tolong pesankan aku tiket pesawat sekarang!” Dadaku berdegup kencang saat sebuah email beberapa detik lalu membuatku menyuruh asisten perempuanku untuk membeli tiket pesawat segera.

“Kak Daniel!” Bocah lima tahun itu memanggilku dengan nada khawatirnya yang lucu. Aku melambaikan tangan, berusaha tersenyum walau bibirku terasa perih.

“Kakak tidak apa-apa?” Tangisannya akan keluar jika aku tidak langsung menempelkan satu jemariku ke bibirnya.

“Tidak apa-apa Fabian. Kemari, duduk disini.” Aku menepuk tempat kosong di sampingku. Dia menurut dengan wajah yang ia tundukkan dalam-dalam. Aku hanya bisa menghela nafas melihatnya demikian. Sedangkan tubuhku sudah remuk sana-sini.

“Maaf karena iyan, kakak di pukuli lagi oleh ibu.” Aku menatapnya lama. Sebersitpun tidak pernah aku menyalahkan apapun padanya. Toh aku di hukum karena aku memang nakal bukan? 

“ Sudahlah Fabian. Tidak usah di bahas lagi. Kalau kamu hanya ingin mengatakan itu dan melihat keadaanku, maka segeralah kembali ke dalam. Ibu akan sangat marah padamu jika beliau tahu kau disini, tengah malam masih bersamaku.” Aku tersenyum tipis walau berakhir dengan meringis.

“Kakak tidak kedinginan di luar sini? Aku ingin menemani kakak.”

“Masuk Fabian!” ucapku penuh penekanan. Dia lalu berlari kembali ke dalam rumah. 

Malam tenang seperti ini adalah obatku dari segala rasa yang bercampur seharian. ‘Ibu, bisakah engkau sedikit...sedikit saja bersikap lembut kepadaku?’ hatiku berbisik pelan yang di tingkah jangkrik bersama hewan-hewan malam yang lain.

Lamunanku terhenti karena sebuah pesan pemberitahuan penerbanganku untuk pulang adalah satu jam lagi. Aku bergegas mengambil jas dan ponselku lalu berlari menuju satu-satunya lift di lantai ini.

Suara kembang api bercampur terompet pada tahun baru adalah suara yang paling aku sukai. Ramai. Semua teman-temanku berkumpul. Kami bisa bermain sepuas hati tanpa takut di marahi karena orang tua kamipun sibuk bercengkrama sambil menyalakan kembang api pula.

Kami berlarian kesana-kemari sambil meniup terompet keras. Orang-orang yang kami lewati hanya tertawa lalu memberikan ‘amplop uang’ dan menyuruh kami berlarian lagi. 

“Kak! Iyan capek!” aku melihat adikku yang berlari menyusulku. Gerakannya begitu lucu. “Daniel ayo!” temanku yang lain meneriakiku. “Duluan saja!” aku balas berteriak.

“Ayo kita duduk disana,” aku menunjuk batu besar di dekat sungai yang airnya jernih itu untuk di duduki berdua bersama Fabian. Bocah itu lantas menangkupkan tangannya lalu meminum, air sungai itu secara langsung. Sungai itu tentu saja sangat bersih karena langsung dari pegunungan di belakang tempat tinggal kami. Pemukiman rumah kami berada di kaki gunung.

“Ternyata lebih indah melihat keramaian warga beserta kembang api dari sini,” ucapku sambil menggelontorkan kaki. Ternyata pegal juga.

“Wah benar!” Fabian bersorak.

Pintu lift gagal menutup karena ada sebuah tangan yang menghalangi. Dan ingatanku berhenti di waktu ini lagi. “Aku ikut kau pulang Daniel,” ucapnya sambil melangkah kesampingku.”Sebagai sahabatmu, dulu hingga sekarang. Bukan lagi bawahanmu.” Dia Alexa. Sahabatku dan Fabian. Tatap matanya begitu tajam menusukku. Seperti ingin mencakarku jika bisa.

“Terima kasih.” Satu tamparan mendarat di pipiku. Aku melihat bulir air mata hampir menetes dari pelupuk matanya. Aku merasa pantas mendapatkan tamparan ini.

“Akhirnya kau mau pulang juga.” Alexa menyandarkan tubuhnya di dinding lift dengan tangan melipat di depan dada.

Pikiranku kembali mengelana.”Maaf ibu, maaf.” Rintihku entah untuk yang entah keberapa kalinya. Wajah ibu merah padam, cambuk di tangannya bergetar. Aku kembali merunduk, rela punggungku atau kakiku yang akan menjadi sasaran rotan di tangan ibu. Kilat rasa marah, tidak suka, jengkel, benci bercampur jadi satu pada netra ibu.

Setelah itu ibu membanting rotan tepat di depan wajahku. Beliau meninggalkan aku dengan punggung terbuka penuh luka memar di belakang rumah ini. Malam ini aku tidak perlu mengendap-endap lagi untuk keluar kamar.

Ibu dengan rasa bencinya, aku sudah mulai terbiasa. Tapi hatiku tetap merana. Aku mendengar ada suara langkah kaki mendekatiku. “Kembali saja kerumah, Fabian. Aku tidak apa-apa.”

“Aku bukan Fabian.”

“Alexa?” aku ingin berdiri. Malu karena bertelanjang dada di depannya.

“Jangan bergerak!” bentaknya padaku waktu itu.

“Kenapa kau kemari Alexa? Ini sudah malam.” Aku meringis karena ia sengaja menekan lukaku.

“Diam!” aku membisu. Mencoba merasakan halus tangannya di punggungku. Ia seperti sedang mengoleskan sesuatu kesana. Saat itu usiaku baru enam belas dan Alexa empat bales. Tapi ia adalah satu gadis tangguh yang pernah kutahu.

“Sudah. Aku akan kembali ke rumah kalau kau sudah tidur.” Aku hanya mengangguk. Rasa sakit dan lelah luar biasa membuat kelopak mataku berangsur meredup. Di tambah elusan pelan di kepalaku.

“Selamat malam Daniel.”

Tiga minggu setelahnya, usiaku genap tujuh belas. Aku sudah berjanji akan pergi. Tidak akan menyulitkan ibu lagi. Agar ibu tidak susah membenciku lagi.

“Ibu, aku tidak tahu seberapa besar bencinya dirimu padaku. Tapi aku tetap anakmu. Maka aku disini meminta izin untuk pergi. Agar ibu tidak perlu repot berurusan dengan anak yang tidak kau inginkan ini lagi. Aku menyayangimu bu.” Ibu menatap mataku tajam. Seperti saat aku ketahuan melakukan kesalahan. Aku maju mendekati ibu untuk mencium tangan ibu sebagai penghormatan sebelum pergi. Saat itu, ibu berkata.

“Pergilah sejauh kamu bisa pergi. Pergilah dimana tidak akan ada rasa sakit yang mengganggumu. Pergilah. Cari siapa dirimu. Pergilah, jangan kembali sebelum aku mati terlebih dahulu. Karena rasa benciku akan aku bawa sampai mati. Pergilah Daniel. Sebelum aku memanggilmu pulang, jangan kembali ke sini.”

Hanya itu pesannya. Dan kini aku kembali karena panggilan itu. Ia yang telah pergi. Ibu yang membenciku karena satu alasan yang menyakitkan.         


THE END


Karya: Namirose (Calon Kru Magang 24)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak