Ilustrasi kontras antara kemajuan industri dan dampaknya terhadap masyarakat lokal serta lingkungan. Jika ada elemen yang ingin disesuaikan. Doc. Freepick. |
Dalam dekade terakhir, pembangunan di Indonesia telah mengalami percepatan yang signifikan, terutama dengan agenda hilirisasi industri yang digagas oleh pemerintah. Hilirisasi ini diproyeksikan sebagai jalan untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi melalui pengolahan sumber daya alam di dalam negeri, alih-alih mengandalkan ekspor bahan mentah. Namun, di balik kemilau angka pertumbuhan dan retorika nasionalisme ekonomi, terdapat pertanyaan mendasar:
Apakah modernisasi ini benar-benar membawa manfaat yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat? Ataukah, sebaliknya, justru menambah beban sosial, memperdalam ketimpangan, dan mengabaikan kemanusiaan?
Hilirisasi, dalam bentuknya yang paling ideal, seharusnya mengangkat derajat ekonomi bangsa, menjembatani jurang kesenjangan, dan mendorong pembangunan yang berkelanjutan. Namun, realitas di lapangan seringkali berbeda.
Proses ini tampaknya lebih banyak menguntungkan segelintir elit, sementara masyarakat lokal, lingkungan, dan identitas budaya terpinggirkan. Pembangunan yang seharusnya menjadi solusi justru menciptakan masalah baru.
Hilirisasi yang Mengabaikan Keberlanjutan Sosial dan Lingkungan
Proses hilirisasi, yang di atas kertas terlihat menjanjikan, sering kali dilakukan tanpa memperhitungkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan kesejahteraan sosial. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, keberlanjutan sosial dan lingkungan adalah dua pilar yang tidak bisa diabaikan.
Proyek-proyek besar hilirisasi lebih sering dipandu oleh logika ekonomi semata—berapa banyak nilai tambah yang bisa dihasilkan, seberapa besar pertumbuhan PDB yang dapat dicapai—tanpa memperhitungkan kerusakan ekosistem atau dislokasi sosial yang ditimbulkannya.
Contoh paling nyata adalah dalam industri pertambangan. Ketika pabrik pengolahan mineral dibangun di wilayah yang kaya akan sumber daya alam, dampaknya terhadap lingkungan seringkali diabaikan.
Polusi udara, kerusakan hutan, dan pencemaran air adalah dampak yang tidak dapat dihindari, tetapi jarang diakui sebagai biaya pembangunan. Lebih jauh lagi, masyarakat lokal yang tadinya menggantungkan hidup pada alam, kini harus beradaptasi dengan lingkungan yang sudah berubah, seringkali tanpa dukungan yang memadai dari pemerintah atau perusahaan.
Pertanyaan yang harus diajukan adalah: Apakah nilai tambah ekonomi yang diperoleh dari hilirisasi sebanding dengan biaya sosial dan lingkungan yang ditanggung oleh masyarakat lokal?
Pembangunan yang mengorbankan aspek kemanusiaan dan ekologi demi pertumbuhan angka-angka ekonomi adalah bentuk modernisasi yang buta dan tidak berkeadilan. Hilirisasi seperti ini tidak bisa dianggap sebagai kemajuan, melainkan sebuah regresi, jika dilihat dari perspektif sosial dan moral.
Kesenjangan yang Meningkat di Tengah Proses Hilirisasi
Hilirisasi dijanjikan sebagai solusi untuk pemerataan ekonomi, dengan harapan bahwa pengolahan sumber daya di dalam negeri akan menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Seperti yang kita semua tahu dalam praktiknya, proses ini seringkali justru memperdalam kesenjangan antara pusat dan daerah, serta antara kelas pekerja dan elit ekonomi. Sumber daya yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan seluruh rakyat, pada kenyataannya, lebih banyak dinikmati oleh segelintir elit yang memiliki akses terhadap modal dan kekuasaan.
Kita dapat melihat contoh ini pada pembangunan smelter dan pabrik pengolahan di wilayah-wilayah terpencil. Pabrik-pabrik ini seringkali dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar, baik asing maupun nasional, yang beroperasi dengan modal yang sangat besar.
Meskipun proyek ini menciptakan lapangan kerja, pekerjaan yang tersedia seringkali adalah pekerjaan kasar dengan upah rendah. Sementara itu, keuntungan terbesar mengalir kepada pemilik modal dan perusahaan-perusahaan besar yang mengendalikan rantai pasokan dan distribusi.
Selain itu, daerah-daerah yang menjadi lokasi hilirisasi seringkali tetap tertinggal dalam hal infrastruktur dan layanan publik. Pendapatan yang dihasilkan dari aktivitas hilirisasi jarang sekali diinvestasikan kembali ke dalam masyarakat lokal dalam bentuk pendidikan, kesehatan, atau pembangunan infrastruktur yang layak.
Akibatnya, kesenjangan antara daerah penghasil dan pusat ekonomi justru semakin melebar. Proses hilirisasi yang semula dijanjikan sebagai solusi pemerataan, pada kenyataannya, hanya memperkuat struktur ketimpangan yang sudah ada.
Kehilangan Identitas Lokal dalam Arus Modernisasi
Salah satu dampak tak terhindarkan dari hilirisasi adalah penyeragaman budaya dan identitas lokal. Ketika modernisasi dan industrialisasi dijalankan dengan logika ekonomi yang mengabaikan kearifan lokal, hasilnya adalah masyarakat yang tercerabut dari akar budayanya.
Identitas lokal, yang seharusnya menjadi kekuatan dalam proses pembangunan, justru tergerus oleh arus modernisasi yang tidak sensitif terhadap keberagaman. Contoh paling jelas dapat dilihat pada masyarakat adat dan komunitas lokal yang tinggal di sekitar lokasi hilirisasi.
Pembangunan pabrik dan infrastruktur seringkali menuntut penguasaan lahan yang luas, yang berarti masyarakat setempat harus rela kehilangan tanah mereka, tempat tinggal mereka, dan pada akhirnya, identitas mereka. Hilirisasi yang tidak memperhitungkan aspek budaya ini menciptakan homogenisasi sosial, di mana budaya lokal yang kaya terpinggirkan oleh budaya industrial yang seragam.
Pembangunan yang tidak mempertimbangkan aspek budaya akan berdampak pada perubahan nilai dan pola hidup masyarakat. Nilai-nilai tradisional yang menekankan pada gotong royong, harmoni dengan alam, dan kehidupan komunitas, tergantikan oleh nilai-nilai kapitalis yang mengutamakan individualisme, efisiensi, dan akumulasi materi.
Pertanyaannya, apakah ini bentuk kemajuan yang kita inginkan? Atau justru kita sedang kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga—identitas kita sebagai bangsa yang kaya akan budaya dan kearifan lokal?
Pembangunan Tanpa Partisipasi Masyarakat
Salah satu kritik terbesar terhadap hilirisasi adalah minimnya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Hilirisasi seringkali dilakukan dengan pendekatan top-down, di mana keputusan diambil oleh elit politik dan ekonomi tanpa melibatkan masyarakat yang terdampak langsung.
Dalam model pembangunan seperti ini, masyarakat lokal tidak lebih dari sekadar objek pembangunan, bukan subjek yang memiliki suara dalam menentukan arah hidup mereka sendiri. Proses perencanaan dan implementasi hilirisasi yang minim partisipasi ini menciptakan alienasi antara masyarakat dan pembangunan.
Keputusan-keputusan besar seperti pembukaan tambang, pembangunan smelter, atau pengembangan kawasan industri seringkali diambil tanpa konsultasi yang memadai dengan masyarakat setempat. Akibatnya, masyarakat lokal merasa diabaikan, bahkan tertindas oleh kebijakan yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan mereka.
Pembangunan yang dijalankan tanpa partisipasi masyarakat adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip demokrasi. Padahal, dalam demokrasi yang sejati, pembangunan harus berakar pada partisipasi aktif dari semua pihak yang terdampak.
Tanpa partisipasi ini, pembangunan hanya akan menjadi alat bagi segelintir elit untuk memperkuat kekuasaan dan kekayaan mereka, sementara rakyat jelata hanya menjadi penonton di tanah mereka sendiri.
Ilusi Kemandirian Ekonomi yang Membawa Ketergantungan Baru
Hilirisasi seringkali dipromosikan sebagai jalan menuju kemandirian ekonomi nasional. Dengan mengolah sumber daya alam di dalam negeri, kita tidak hanya meningkatkan nilai tambah, tetapi juga mengurangi ketergantungan pada pasar luar negeri.
Di balik retorika ini, terdapat kenyataan bahwa hilirisasi seringkali justru menciptakan ketergantungan baru, baik pada teknologi asing, investor luar, maupun pasar global.
Contohnya, pada proses hilirisasi mineral, banyak teknologi yang digunakan berasal dari luar negeri. Perusahaan-perusahaan domestik yang terlibat dalam hilirisasi seringkali harus bergantung pada teknologi, mesin, dan keahlian dari negara-negara maju.
Ketergantungan ini menempatkan Indonesia dalam posisi yang lemah dalam negosiasi global, di mana keuntungan utama tetap berada di tangan negara-negara yang memiliki teknologi.
Selain itu, hilirisasi juga menciptakan ketergantungan baru pada pasar global. Produk-produk hasil hilirisasi, meskipun diolah di dalam negeri, tetap bergantung pada permintaan pasar internasional.
Fluktuasi harga komoditas di pasar global dapat berdampak langsung pada ekonomi nasional, yang berarti bahwa kita tetap rentan terhadap dinamika ekonomi internasional.
Kegagalan dalam Membangun Manusia yang Seutuhnya
Pembangunan, dalam bentuk apapun, seharusnya tidak hanya berfokus pada peningkatan material, tetapi juga pada pembangunan manusia seutuhnya.
Hilirisasi yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan pembangunan sumber daya manusia adalah pembangunan yang setengah hati.
Sayangnya, banyak dari proyek hilirisasi yang dilaksanakan tanpa memperhatikan aspek pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat yang terlibat dalam proses hilirisasi seringkali tidak mendapatkan manfaat pendidikan atau pelatihan yang memadai. Mereka hanya dilibatkan sebagai tenaga kerja kasar, tanpa ada upaya untuk meningkatkan keterampilan atau pengetahuan mereka.
Akibatnya, mereka tetap berada di posisi yang marginal dalam struktur ekonomi, sementara kekayaan yang dihasilkan oleh hilirisasi lebih banyak dinikmati oleh segelintir elit.
Pembangunan yang sejati haruslah memanusiakan manusia, bukan sekadar mengejar angka-angka ekonomi. Manusia bukanlah alat produksi yang bisa diabaikan kesejahteraannya.
Pembangunan haruslah mengutamakan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat sebagai fondasi yang kokoh. Tanpa itu, hilirisasi hanya akan menjadi proyek kosong yang tidak memiliki makna jangka panjang bagi bangsa ini.
Pembangunan yang berfokus pada hilirisasi adalah jalan yang penuh tantangan dan dilema. Di satu sisi, ia menjanjikan peningkatan nilai tambah dan pertumbuhan ekonomi, tetapi di sisi lain, ia juga membawa dampak sosial, lingkungan, dan budaya yang tidak bisa diabaikan.
Hilirisasi yang dijalankan tanpa memperhatikan keberlanjutan sosial, partisipasi masyarakat, dan pembangunan manusia seutuhnya adalah pembangunan yang tidak adil dan tidak berkelanjutan.
Pertanyaannya, ke mana kita ingin membawa bangsa ini? Apakah kita akan terus berjalan di jalan pembangunan yang buta, yang hanya mengejar angka-angka tanpa memperhatikan manusia dan lingkungannya?
Penulis: Fatih Hayatul Azhar (Mahasiswa Universitas Budi Luhur, Jakarta Selatan)
Editor: Agustin