Doc. AI Generator |
SEMARANG, lpmedukasi.com - Lampu di gubuk yang terletak pada ujung tebing ini perlahan meredup. Ada juga banyak lampu yang sudah tidak bisa memancarkan cahayanya lagi. Beruntung gubuk yang aku tempati lampunya masih memancarkan cahaya yang cukup bersinar.
Aku lelaki kecil yang sendirian. Dulu ada beberapa orang tua disini, tetapi entah sejak kapan mereka semua menghilang. Hanya ada aku di dunia yang dikelilingi oleh tanah yang menjulang tinggi entah berapa ratus kilometer sampai atas sana.
Aku hidup di tengah-tengah tebing. Itulah kata-kata orang tua yang pernah ada disini bertahun-tahun yang lalu. Tidak ada jalan keluar dari sini, meskipun sudah berjalan beratus-ratus kilometer.
Pada akhirnya, hanya ada tanah tinggi menjulang yang licin dan mustahil untuk dipanjat. Hanya akan membuatku terjatuh dan terluka meskipun banyak kali mencobanya.
Aku mematikan lampu, lalu mengambil busur dan anak panahku. Aku mengambil lentera untuk menerangiku dan bersiap untuk berburu. Mengendap-endap untuk mendapatkan buruan adalah keseharian ku setelah orang-orang tiada lagi disini. Hanya batu nisan yang bisa mengingatkanku kepada mereka.
Aku melesatkan anak panahku dan mengenai hewan berbulu lebat dan berkuping panjang. Saat aku sudah memastikan dia sudah mati, aku menguliti tubuhnya, membersihkannya, lalu memanggangnya. Aku memakannya dengan lahap sambil menatap ke atas sana.
Hanya kegelapan yang bisa kulihat. Kata orang tua dulu, di atas sana terdapat cahaya yang besarnya berkali-kali lipat dari lampu di gubuk ini. Orang-orang menyebutnya matahari. Ada juga sesuatu yang dinamai langit yang mempunyai warna biru. Langit juga dilapisi dengan gumpalan putih yang bernama awan.
Aku membayangkan sesuatu yang paling indah dari yang pernah dilihat sebelumnya. Aku termenung memikirkan bagaimana bisa diriku hanya hidup di tebing yang gelap dan tidak ada hal yang bisa dilakukan disini. Apalagi aku sendirian.
Di atas sana yang aku tidak tahu ada apa, aku mengagumi langit. Katanya langit sangat luas sampai-sampai melapisi dunia dengan warna birunya. Dari situ aku tahu kalau dunia tidak hanya beberapa gubuk yang berjejer di tebing ini.
Aku sangat ingin melihat yang ada diatas tebing ini. Aku bosan dengan kegelapan yang berada di tebing ini. Langit yang melapisi dunia ini ingin kugapai. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya menyentuh langit. Bagaimana rasanya menyentuh awan yang katanya terlihat sangat lembut dan halus, serta bagaimana rasa hangatnya sinar matahari.
Memanjat tebing saja sudah mustahil, apalagi ingin menyentuh langit yang jauh di atas sana. Namun, aku tidak mau impianku berakhir begitu saja. Aku berpikir lagi. Satu-satunya hal yang terpikirkan olehku saat ini adalah dengan menanam pohon.
Aku menanam sebuah pohon di pinggir rumahku. Ketika pohon itu sudah besar dan menjulang tinggi sampai bisa menyentuh langit, di saat itulah aku akan memanjatnya dan impianku pun tidak berupa angan lagi.
Aku mulai menanam sebuah biji peninggalan orang-orang terdahulu. Katanya biji ini akan tumbuh bila mendapatkan cahaya dan air yang cukup. Aku memutuskan untuk membawa lampu yang masih hidup untuk mengelilingi biji yang aku tanam. Aku juga rajin menyirami biji itu agar bisa tumbuh dengan baik. Agar aku bisa menyentuh langit dengan bantuannya.
Setahun sudah berlalu, tetapi pohon yang kutanam baru setinggi dua kali dari badanku. Satu setengah tahun kemudian, pohon itu hampir mati karena hama. Untung saja aku bisa menangani hal itu. Lima tahun kemudian pohon itu sudah sebesar sepuluh kali dari badanku. Enam, tujuh, lima belas, dua puluh… entahlah aku sudah tidak menghitung berapa usia pohon ini.
Aku menatap pohon itu dari bawah. Sangat tinggi hingga aku tidak bisa melihat ujungnya lagi. Lalu lima tahun kemudian, barulah aku bisa yakin kalau pohon ini sudah menyentuh langit.
Aku sangat bersemangat. Hatiku berdegup kencang, dan tanganku bergemetar saat aku mulai menyiapkan barang-barang yang kubutuhkan untuk memanjat pohon langit itu. Aku akan menyentuh langit.
Angin berhembus sangat kencang, membuatku hampir terjatuh saat memanjat pohon ini dari ketinggian setengah kilometer. Terkadang aku berhenti sebentar di dahan pohon karena pohonnya besar, dahannya juga besar. Bahkan dahannya bisa dijadikan tempat untuk satu rumah besar. Kalau kelelahan aku tinggal beristirahat di dahan itu, lalu memanjat lagi.
Dua Minggu sudah berlalu, tetapi masih belum ada tanda-tanda aku akan segera menyentuh langit. Sudah satu bulan berlalu dan ujung pohon itu masih jauh diatas sana. Lalu dua bulan, empat, lima bulan pun berlalu. Aku kelelahan memanjatnya. Setiap harinya aku hanya memakan daun dari pohon itu karena makanan yang kubawa sudah lama habis.
Tanah yang mengelilingi tebing ini masih terlihat. Mungkin sejak awal keluar dari tebing itu mustahil. Mungkin saja tebing ini tidak berujung dan langit yang kulihat adalah bagian dari tebing, tetapi berwarna biru.
Disaat aku terpuruk ingin kembali ke rumah, aku mengingat jerih payahku bertahun-tahun yang lalu. Aku mengubah pikiranku. Aku akan melanjutkan ini. Tahun-tahunku sebelumnya tidak boleh menjadi sia-sia.
Sudah satu tahun sejak aku memanjat pohon ini. Aku semakin dekat dengan ujung pohon..., dan juga langit. Aku semakin semangat memanjatnya sampai aku tidak sadar kalau tanah yang mengelilingi tebing sudah tidak terlihat lagi. Lalu saat aku sampai di ujung pohon itu aku mengangkat tanganku tinggi-tinggi.
Aku meraih langit. Aku... meraih... langit... aku akan menyentuh awan... menyentuh hangatnya matahari....
Benarkah begitu?
Kosong. Tidak ada apapun. Langit biru yang kukagumi masih jauh disana. Aku hanya menyentuh udara. Kehampaan. Awan yang bergerombol di langit juga masih sangat jauh.
Matahari sedang bersembunyi dibalik awan. Kehangatannya tidak terlalu aku rasakan. Langit mulai menggelap, suara guntur menyambar, tetes-tetes air dari langit mulai membasahi tubuhku.
Aku mengikuti irama langit, ikut mengeluarkan tetesan air dari mataku. Aku menangis. Ternyata pohon yang setinggi ini tidak cukup untuk menyentuh langit. Aku hanya termenung menatap langit yang masih jauh diatas sana, sampai ketika aku melihat sekelilingku. Aku terkesiap, tangisku berhenti.
Beberapa kilo dari pohon di tengah tebing ini, aku melihat rumah yang berjejeran. Ratusan, eh tidak. Ribuan rumah. Bahkan ada banyak bentuk bangunan yang belum pernah lihat aku sebelumnya. Bangunan yang tinggi dan besar sekali.
Aku mendengar sebuah suara. Dari kejauhan aku melihat sebuah benda terbang dengan baling-baling diatasnya. Terdapat seseorang berada didalamnya sedang melambai-lambai ke arahku. Aku terkejut.
Aku bisa melihat orang selain diriku lagi setelah berpuluh-puluh tahun lamanya. Aku ikut melambai ke arahnya, dia mendekat. Udara sangat berhembus kencang saat baling-baling itu berada beberapa meter dari jarakku. Aku melongo. Kehabisan kata-kata.
“Hei, bung. Apa yang kau lakukan disini?” tanyanya dengan akrab.
“Aku datang dari bawah sana. Aku ingin menyentuh langit, tapi sepertinya tidak bisa,” ucapku.
“Wah, ternyata mitos itu benar. Aku tidak menyangka ada yang hidup di bawah sana. Kau beruntung bertemu aku, bung. Naiklah kemari sebelum hujannya bertambah deras,” ujar orang yang menaiki benda terbang dengan baling-baling diatasnya.
“Bagaimana dengan langit?” tanyaku dengan ragu.
“Serius kau masih memikirkan hal itu setelah bertemu denganku? Bukankah seharusnya kau bisa lebih bahagia setelah melihat apa yang kau lihat disini daripada memikirkan langit yang konyol itu?” jawab orang tersebut.
Aku memikirkannya lagi. Cukup lama kami terdiam satu sama lain.
Aku tertawa, lalu menangis. Aku benar-benar tidak tahu apa rencana dunia ini kepadaku. Aku benar-benar tidak mengingat kesepianku setelah bertemu dengan dia.
Di atas sana memang sangat indah, tapi yang lebih indah lagi adalah ketika aku tidak sendirian lagi. Ada banyak orang di dunia ini yang akan menjadi teman hidupku mulai dari sekarang.
Dia memberi isyarat agar aku segera naik. Aku mengangguk dan kami pun mulai terbang menuju ke tempat yang berisikan bangunan-bangunan itu.
“Kapan-kapan kita bisa menjelajahi langit dengan ini. Sekarang kita, kan, teman,” turur orang itu.
“Astaga. Benar-benar perjalanan ini tidak ada yang sia-sia,” kata ku sambil menyeka air mata, lalu tertawa bersamanya.
Ada yang lebih indah dari langit. Aku lelaki yang tidak sendirian lagi.
Karya: Arneta Luna Rizqiana