Kepulangan

Ilustrasi kepulangan. Sumber: Image Generate.

lpmedukasi.com - Aku kembali menatap jalanan siang hari ini, sambil menikmati sebungkus coklat batang. Sejak memilih untuk berhenti dari pekerjaan, aku pulang kampung dan menjadi pengangguran setelah mengabdikan diri selama delapan tahun di sebuah kampus swasta. Mulanya tak aku sampaikan alasan kenapa berhenti begitu saja pada ibu, meski beliau tak menyetujui aku tetap bersikukuh pulang.

“Tidak ada yang dicari kan di kampung, pekerjaanmu sudah lebih baik dari orang-orang yang bekerja buruh, tak usah pulang.”

Tapi larangan itu tak aku pedulikan, karena bagaimana pun, aku sudah menahan sabar selama enam tahun untuk menahan diri, tapi tepat di tahun ke delapan aku benar-benar tak dapat membendung banyak hal. Di hari tak terduga, aku menemui kepala yayasan sekaligus pemilik. Kuutarakan niat untuk tak lagi mengajar dan ingin pulang. Aku berharap semua akan ditanggapi dengan hangat dan berbicara secara baik, kenyataan berbalik.

“Kau ingin berhenti, kenapa haru sekarang, setelah delapan tahun, kenapa tak dari awal?” ucapnya sambil tersenyum meremehkan. 

Aku ingin menjawab sambil melempar benda ke wajah Pak Dimas, sambil mengatakan,

“Dasar pak tua kurang ajar, tidak tahu terima kasih, sudah baik aku mau memenuhi keinginanmu selama ini, bekerja tanpa mengeluh dan tak protes, seharusnya orang sepertimu yang keluar dari kampus ini, kau tak pantas menjadi kepala dan pemimpin di sini, lelaki tak tahu terima kasih, kenapa pula tak dari awal kau memintaku untuk bekerja di sini sambil memohon, dasar makhluk menjijikkan.”

Up, khayalanku buyar dalam sekejap, aku memastikan panggilan pas Dimas berulang.

“Apa yang kau pikirkan?” tanyanya heran.

“Aanu, hm, jadi pak, apa saya diizinkan?”

Seperti biasa, pak Dimas tersenyum miring, serta aku mengutuk diri sendiri di dalam hati.

“Setelah aku pikir, kenapa dahulu aku memohon padamu untuk bekerja di kampus ini, jika tahu betapa bodohnya kau.”

Mendengar hal itu, aku seperti dirasuki setan. Dengan penuh amarah, tanpa pertimbangan kulemparkan buku yang  di tangan ke wajah pak Dimas.

“Ya, kenapa kau juga bodoh, sudah tahu aku ini bodoh, kenapa membuatku bertahan di tempat yang seperti neraka ini,” ucapku histeris, yang ada di luar ruangan seketika hening, awalnya acuh tak acuh dan berisik, kini sesunyi pemakaman.

Semua staf dosen memandang ke arah ruangan pak Dimas, sedangkan Pak Dimas ternganga tak percaya akan sikapku, aku sendiri berkali-kali menghembuskan napas kasar, kupungut kembali buku absen dan tugas mahasiswa yang berserakan, lalu keluar ruangan tanpa memedulikan tatapan para dosen lain. Pak Dimas yang belagu itu masih tak berkutik, hingga pada akhirnya dia tertawa terbahak-bahak seperti orang gila, dengan tatapan marah dan kesal.

**

        Setelah kehebohan itu, aku langsung mengemas barang, tanpa berpamitan dengan siapa pun, Meli sahabatku hanya mengantar sampai terminal, ia juga prihatin sekaligus sedih.

“Tak usah kasihan denganku,” ujarku sambil mengambil tas dari tangannya untuk dimasukkan ke dalam taksi.

“Kau sudah melakukan dengan baik,” ucapnya menenangkan. Aku hanya tersenyum, sembari memegang bahunya.

“Apa aku terlihat menyedihkan?”

“Sama sekali tidak, kau sudah berusaha dengan baik,” jawabnya mengubah ekspresi sedih, menjadi riang.

“Kau harus selalu sehat dan jangan sedih,” ucapnya memeluk.

“Kau juga, jangan seperti aku,” jawabku sambil membalas pelukannya.

Kami berpisah setelahnya, Meli melambai tangan, sedangkan aku hanya tersenyum, setelah taksi hilang di persimpangan barulah aku menoleh ke depan. 

Aku menghela napas dalam, berpikir bagaimana cara menjelaskan ke ibu tentang banyak hal dan alasan aku berhenti, sedangkan di kampung, kemungkinan menjadi pengangguran lebih besar. Apa yang bisa aku kerjakan, jika pulang. Ibuku hanya memiliki satu toko kecil yang menjual peralatan rumah tangga, tingkat dua sebagai tempat makan kecil yang dikelola adikku yang memutuskan tak bersekolah. 

Setelah bapak tiada, ia tak ingin melanjutkan pendidikan, padahal ibu memiliki tabungan untuk jaminan sekolah kami, tapi Fairan memilih melanjutkan restoran bapak, jadilah aku yang akhirnya kuliah di kota hingga S2 jurusan sastra, lalu bertemu pak Dimas yang awalnya menjanjikan banyak hal. 

Awal-awal mengajar aku disanjung sebagai mahasiswi terbaik di kampus, diperlukan istimewa. Padahal pada waktu itu, setelah menyelesaikan S2 di jurusan sastra, ada dua kampus besar terbaik di kota, meminta untuk menjadi dosen di kampus mereka, demi pak Dimas yang merupakan sahabat baik Bapak, aku hanya berniat membalas Budi. 

Karena semasa Bapak sakit, beliau yang membantu membayar rumah sakit dan membiayai kuliah. Tapi, untungnya hanya selama dua tahun, selebihnya ibu atau pun diriku sendiri yang berjuang. Ibu memiliki tabungan, sedangkan aku memang ingin mandiri. 

Memiliki hutang budi memang tak menyenangkan, tapi bekerja hanya demi balas budi, lalu pada akhirnya diperlakukan semena-mena, bertahan selama delapan tahun apakah itu sudah cukup? Aku rasa bukan salah pada diriku, tapi Pak Dimas yang tak bersyukur dan tak tahu diri. Memanfaatkanku untuk atas nama balas budi juga kemajuan kampus.

**

          Aku belum siap bercerita pada ibu, setelah pulang ke rumah, aku hanya mengatakan bahwa sudah cukup delapan tahun, aku ingin hidup bersama ibu di rumah serta pak Dimas juga memberi izin. Untuk sementara hal itu bisa dipercaya ibu, meski aku khawatir, salah satu rekanku akan datang berkunjung dan bertanya tanpa basa-basi tentang keadaanku, setelah kejadian itu, terutama si Linda. Perempuan satu ini terkenal dengan mulutnya yang bisa tak sadar mengatakan hal-hal di luar dugaan, sangat ringan mengatakan yang seharusnya dirahasiakan. Tapi Linda merupakan sahabat terbaikku selain Meli. Meski mulutnya agak lebih ember dari yang lain, serta tak pandai jaga rahasia dan ceplos-ceplos, dia adalah sahabat yang pertama kali membela dan ada dalam keadaan apa pun, di saat aku kesulitan.

**

  Setelah sebulan di kampung, dugaanku banyak benarnya. Aku selama berhenti hanya diam di rumah. Bukan tak mau bekerja atau bantu ibu ke kebun, hanya di rumah menjaga toko. Pembicaraan tetangga sudah sampai ke telinga, bahkan dugaan yang berlebih. Mereka membicarakanku yang akhirnya pulang kampung. 

Aku dianggap dikeluarkan dari kampus karena bermasalah, ada juga yang beranggapan bahwa selama sekolahku sia-sia hingga S2 toh pada akhirnya aku kembali dan gagal. Sungguh jika aku keluar rumah, mata ibu-ibu yang sering mengobrol akan menatap dengan tatapan, seakan aku memiliki dosa besar. 

Selama sebulan pula, aku habiskan diri diam di rumah, niat hati ingin mengisi kegiatan untuk pergi pada acara-acara rutin di kampung, bersilaturahmi kepada keluarga. Karena selama ini jarang sekali berjumpa jika tidak lebaran, itu pun kalau pulang. Tapi semua berubah, dulu setiap kali pulang kampung, terutama ibu, iya seperti berada di atas awan, saudara, kerabat, dan orang-orang kampung memujiku dan keluarga kami yang mampu menyekolahkan hingga S2. 

Belum lagi prestasi menulis yang aku hasilkan, piala-piala dan piagam yang berjejer, juga penghargaan untuk kampus. Sungguh luar biasa, tapi aku tak dapat menahan dan mempertahankan itu semua. Dalam semalam, hanya karena aku berhenti, semua kepercayaan, kebanggaan, berubah dalam semalam. Aku seperti kembali ke titik asal. Keadaan di mana aku hanya anak orang miskin, sebagai tulang punggung keluarga pada masa itu, dan belum terencana untuk melanjutkan lebih jauh. 

Prestasiku sudah tak ada gunanya, iya hanya sebagai batu yang indah, lalu tenggelam di dasar laut, orang-orang berpaling dan melupakan. Adikku tak peduli, iya satu-satunya orang yang paham. Fairan kini ikut kelas memasak, meski laki-laki ia ingin memasak dan tetap membuka tempat makan. Cita-citanya sederhana, katanya ia ingin menjadi Koki dan memperbesar restoran kami. 

Aku selalu mendukung keputusannya itu, sayangnya untuk saat ini aku menjadi wanita pengangguran. Ibu sepertinya tak peduli, entah ia tahu atau hanya berpura-pura tak tahu. Meski orang-orang bergosip, ia terlihat tenang dan tak bertanya apa pun padaku. Sesuatu sikap yang tak biasa, aku mulai gelisah dengan sikap itu.

**

        Bulan ke tiga hingga ke empat, aku masih tak bekerja. Beberapa teman kampusku datang hari ini secara tiba-tiba, saat aku lagi disibukkan oleh restoran Fairan, mereka datang dan aku sangat terkejut. Antara senang dan cemas, takut mereka membahas hal yang tak ingin aku ceritakan. Kami mengobrol sepanjang pertemuan, lalu di sela-sela pertemuan, Meli menyerahkan surat pengunduran diri. Aku terpaku menatap surat pengunduran diriku, dengan sikap tak mengerti.

“Bukankah ini sudah sampai ke tangan pak Dimas?” ujarku bertanya-tanya.

“Benar, tapi kemarin siang, pak Dimas menyerahkan surat ini dan katanya itu milikmu, ia tak menerimanya.”

“Maksudnya?” aku kian heran.

“Sepertinya beliau ingin kau kembali, ia menolak pengunduran dirimu, katanya selama empat bulan adalah masa libur yang ia berikan padamu.”

“Liburan, siapa bilang ia memberikan libur, aku berhenti dan tak pernah berkomunikasi lagi dengannya, semua itu atas kehendak dan aku serius untuk berhenti.”

Meli tampak menggaruk kepala bingung,

“Aku hanya menyampaikan ucapan pak Dimas,” jawabnya canggung.

“Sepertinya dia memintaku kembali bukan karena merasa bersalah, apa di kampus sedang kesulitan?”

Meli menatapku dengan tatapan gusar, dari ekspresinya aku paham.

“Kau tahu, sejak ketiadaanmu di kampus, kelas sastra menjadi kacau, kami tak menemukan pengganti, siapa juga yang mau masuk ke kampus itu, kau tahu sendiri bukan.” Ucap Meli menghela napas.

“Sungguh menyebalkan, ia bermain tarik ulur padaku.”

“Aku minta maaf Ra, sepertinya aku tak bisa membantumu banyak hal, jadi apakah kau akan kembali atau tetap di sini.”

Aku memegang kedua bahunya, sambil menatap kedua bola matanya.

“Kau sudah menjadi teman baikku, tetaplah di sana, bantu Kampus, jika bukan kamu, siapa lagi yang peduli, pak tua itu hanya peduli soal kualitas bukan, setelah kesulitan begini dia meminta bantuan, dasar tak tahu terima kasih.

..

Meli pulang, aku menatap jalanan dengan tatapan kosong, sebuah sentuhan menyentuh bahu. Ibu menatapku dengan tatapan bahwa semuanya baik-baik saja. Ia memelukku tanpa aba-aba. Aku tak berbicara, tapi ibu mendengar, aku tak meminta, ibu memberi. Dalam pelukan ibu, aku hanya terisak dan meminta maaf karena tak jujur selama ini. Aku tahu, ibu telah mengetahui segalanya selama ini. Beliau hanya diam, karena mengerti bahwa keadaanku sulit. 

Pada akhirnya aku kembali melempar surat lamaran ke banyak kampus, tapi namaku terlanjur buruk sebab pak tua itu, isu-isu buruk terus terdengar hingga ke kampus-kampus, setelah aku menolak kembali ke kampus. Pak Dimas sengaja menyebar isu buruk, tentangku sebagai dosen yang mencaci atasan. Hingga setahun kemudian, tak ada kampus yang memedulikan surat lamaran itu. 

Aku berakhir menjadi wanita bekerja di restoran Fairan, mengikuti kelas masak dan menghabiskan waktu di restoran peninggalan ayah. Fairan semakin mahir memasak, kami membuka restoran lagi, karena pengunjung semakin padat.

**

     Tahun ke tiga aku masih bekerja di restoran adikku, alih-alih mencari pekerjaan aku malah keasyikan dengan hobi baru, yaitu memasak. Tahun ini aku akan membuka kembali satu cabang restoran. Ekonomi kami juga kian membaik, pembicaraan  tentang karierku yang gagal itu sudah tak dibicarakan lagi. Pelan-pelan aku membangun reputasi, aku juga tak membalas perbuatan pak Dimas.

Meski awalnya aku sempat kesulitan oleh ulahnya itu, lama-lama sifatnya sendiri yang mengungkapkan segalanya. Kampus masih terbuka lebar, tapi aku tak ingin kembali. Tapi tidak dengan kampus lain, isu yang beredar sudah terlanjur mengambil hati banyak orang. Sulit mengubah keadaan, hingga akhirnya aku hanya berlapang dada menerima. Ibu juga tak lagi terobsesi agar aku pergi ke kota mencari pekerjaan yang bergengsi. Terpenting saat ini adalah kebahagiaanku dan keluarga kami.

Riau, 2024

Bionarasi

Nama Riska Widiana. Berdomisili di Riau kabupaten Indragiri hilir. Karyanya termuat ke dalam media cetak dan online seperti Klasika kompas, Babel post, Merapi, Nusa Bali, Waspada Medan, Serawak Malaysia, Suara Merdeka, Lombok post, Magrib id. Cendana News. Dunia santri, Barisan co. Metafor id. Ayo Bandung.com. Bali politika, Majalah elipsis, Hadila, semesta seni Dll. Juga di antologi seperti (FISGB 2022) (Hari Puisi Indonesia, Masyarakat jember 2022) (Suatu hari dari balik jendela rumah sakit, Bali 2021) (Dokterku Cintaku, Denpasar 2022) (100 Tahun Chairil Anwar, 2022) (Madukoro Baru 1, 2022) (Negeri poci 12. Raja kelana, 2022) (puisi sepanjang zaman, Satria Publisher 2022) (Sebagai juara satu dalam lomba tingkat Nasional, Jakarta dan Kolaburasi) (Peraih Anugerah sebagai puisi terbaik, Negeri kertas 2022) kategori puisi terbaik nasional oleh penerbit Alqalam batang dan Salam Pedia, 2021).

 


 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak