Memahami Filsafat Kebenaran Dalam Epos Mahabharata

Dok: Quora.

lpmedukasi.com - Mahabharata bukan sekadar kisah epik yang memukau dengan perang besar dan intrik keluarga. Dari istana Hastinapura hingga berakhir di medan perang Kurukshetra, debu dan darah bercampur menjadi saksi bisu dari konflik terbesar dalam sejarah manusia. Namun, di balik gemuruh senjata dan teriakan perang, ada pertempuran lain yang jauh lebih sunyi—pertempuran dalam jiwa manusia, sebuah pencarian abadi untuk menemukan kebenaran. Mahabharata tidak hanya menghadirkan kisah heroik dan pengkhianatan, tetapi juga menggali pertanyaan mendasar: Apa itu kebenaran? Apakah kebenaran selalu mutlak, ataukah ia bertransformasi seiring dengan waktu, tempat, dan niat? Dalam setiap langkah para tokohnya—dari kebimbangan Yudhistira, keberanian Bhishma, kelicikan Sangkuni, hingga kebijaksanaan Krishna—Mahabharata mengajak kita untuk memahami bahwa kebenaran sering kali tidak sesederhana hitam dan putih.

Hal pertama yang perlu kita sadari adalah Mahabharata mengajarkan kepada kita bahwa kebenaran bersifat tidak mutlak dipegang atau berpihak pada satu kubu tertentu. Dalam epos Mahabharata, pihak yang diceritakan sebagai protagonis pun bisa berbuat kejahatan, dan pihak yang diceritakan sebagai antagonis pun bisa berbuat kebaikan. Bahkan dewa-dewi pun bisa melakukan sebuah kesalahan dan skandal yang luar biasa besar. Salah satu contoh adalah ketika Karna mencoba melepaskan diri dari statusnya sebagai putra dari kasta rendah dengan menunjukkan keahlian memanahnya dengan menantang Arjuna, hal itu justru menjadi bahan tertawaan para Pandawa yang digambarkan sebagai tokoh protagonis utama. Bima bahkan mencelanya dengan kalimat:

“Pergilah kau putra suta (kusir kereta). Kau tidak pantas bersaing dengan Arjuna.”

Di sisi lain, Duryudana yang digambarkan sebagai pihak antagonis utama justru membela Karna dengan mengatakan bahwa kesaktian, keilmuan, dan kekuatan seseorang tidak bisa ditakar hanya dengan melihat kastanya (meskipun Duryudana juga memiliki kepentingan tersendiri), namun yang dikatakannya tetaplah kebenaran.

Ilustrasi Karna melawan Arjuna. Dok: wordpress.

Filosofi kebenaran yang tak mutlak ini tentu berbanding terbalik dengan apa yang terjadi dalam dunia sekarang. Masyarakat kita terbiasa untuk mengkotak-kotakkan suatu golongan/kaum dengan baik atau tidak baik. Masyarakat kita tidak terbiasa untuk melihat segala sesuatu dari dua sisi. Sehingga baik atau buruk dalam versi mereka menjadi tidak objektif dan seringkali hanya berdasarkan preferensi mereka masing-masing.

Hal berikutnya yang diajarkan dari Mahabharata adalah kebenaran (dharma) dan kejahatan (adharma) yang ada di dunia saling terikat dengan Karmaphala (sebab-akibat). Salah satu ciri khas penulisan epos Mahabharata adalah penggambaran latar belakang setiap karakter yang sangat detail. Latar belakang inilah yang digambarkan mengapa akhirnya karakter itu menjadi benar/jahat. Sebagai contoh, mengapa Duryudhana bisa sangat jahat? Karena ia diceritakan sangat dimanjakan oleh ayahnya (Drestarastra). Mengapa Dretarastra memanjakan Duryudhana? Karena ia iri dengan anak-anak adiknya (Pandu). Karena itu, ia ingin anaknya menjadi sekuat mungkin (nama Duryudhana berarti tak terkalahkan) agar bisa menyaingi anak-anak dari Pandu.

Latar belakang perwatakan karakter Duryudhana yang jahat ini juga bisa dipahami lebih dalam jika kita menganalogikan jalan hidupnya apabila terjadi dalam kehidupan kita. Bayangkan jika anda (Duryudhana) adalah putra tertua raja yang sedang berkuasa, tiba-tiba datang sepupu-sepupu anda yang selama ini tidak pernah anda lihat (Pandawa tinggal di hutan sebelumnya) ke istana dan langsung digadang-gadang sebagai calon pewaris tahta. Apa yang anda rasakan? Mungkin tentu saja marah, kecewa, iri, dan sedih bercampur dalam benak anda. Itu juga mungkin yang dirasakan Duryudhana yang menjadi penyebab mengapa ia menjadi jahat. Hal ini mengajarkan pada kita bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi, dan kisah para tokoh dalam epos ini menunjukkan bagaimana tindakan mereka, baik atau buruk, membawa dampak pada kehidupan mereka dan orang lain. Hal ini mengajarkan pentingnya memahami dan mempertimbangkan konsekuensi dari setiap perbuatan dalam menjalani kehidupan yang beretika.

Selain itu, Mahabharata menekankan bahwa kebenaran tidak hanya ditentukan oleh tindakan itu sendiri, tetapi juga oleh konteks, niat, dan situasi. Sebagai contoh, dalam perang besar Baratayudha, Arjuna merasakan keraguan moral tentang berperang melawan saudara-saudaranya sendiri. Namun, Krishna menjelaskan bahwa melawan kejahatan adalah perlu untuk menjaga tatanan kebajikan, dan bahwa kematian jasad bukanlah akhir dari jiwa yang abadi. Dialog ini, yang dikenal sebagai Bhagavadgita, menggambarkan kompleksitas moral dan etika dalam menentukan apa yang benar.

Mahabharata, lebih dari sekadar epos besar, adalah refleksi mendalam tentang kompleksitas kebenaran dan moralitas. Melalui karakter dan konflik yang penuh dilema, kisah ini mengajarkan bahwa kebenaran bukanlah konsep sederhana yang hanya berisi hitam dan putih. Ia melibatkan lapisan konteks, niat, dan perspektif, yang semuanya saling berkelindan untuk membentuk realitas yang kita hadapi. Epos ini menantang pembacanya untuk tidak hanya memahami kebenaran secara intelektual, tetapi juga merasakannya secara emosional dan menghidupinya dalam tindakan. Pada akhirnya, Mahabharata mengajarkan bahwa mencari kebenaran adalah perjalanan seumur hidup, sebuah upaya untuk menjaga keseimbangan antara dharma dan karma dalam menghadapi kekacauan dunia.

Penulis: Rangga

Editor: Agustin

 

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak