Pembuli Berdiri, Korban Berjongkok

Ilustrasi dihantui pembuli. Doc. Google.

lpmedukasi.com - Aku berlari bersama sepatu hitamku yang kusam dan bolong di ujung kanan. Lagi-lagi aku terlambat. Bukan karena malas, tapi karena ibu hanya punya satu sepatu bekas untuk dua anaknya. Sebagai anak kedua, aku dapat giliran terakhir memakainya.

Sore itu, dari luar kelas sudah terdengar suara gaduh seperti biasa. Meja paling belakang, di pojok, adalah milikku. Aku melihat tempat nyaman itu, tempat di mana aku bisa berpura-pura menghilang. Tapi mereka selalu menemukanku. Sial! 

“Wah, si bolong datang!” teriak Arman, si juara basket. Semua orang tertawa. Aku tertawa juga, meski tanganku mengeras saat menggenggam tas lusuhku.

Arman selalu punya sesuatu yang tidak kumiliki. Wajah tampan, barang-barang mewah, dan satu hal yang hanya bisa dimiliki Arman; rambut klimis yang seolah tak pernah berantakan. Dia seperti memiliki kesempurnaan di mana pun dia berdiri.

Sedangkan aku? Aku hanya si ‘bolong’. 

Hari-hariku di sekolah seperti lembaran kamus yang penuh kosakata ejekan dan omongan tajam. "Kampungan", "Sepatu super", "Bolong", atau "Putih Mangkak" karena seragamku yang kudapat dari bekas-bekas seragam kakak kelas. Nama panggungku dari mereka lebih menempel dan erat denganku daripada namaku sendiri, Arka. Tapi anehnya, aku selalu menemukan mereka yang membuli berdiri di atas panggung kehidupan. Sedangkan Arka masih jongkok. 

Arman, misalnya, selalu menang lomba basket. Teman-temannya mengelilinginya di mana saja, seperti semut mengerubungi gula. Mereka tertawa saat Arman menceritakan lelucon garing tentang aku.

Lalu ada Cepi, ketua OSIS. Aku sering mendengar dia membicarakanku dengan teman-temannya di toilet. Tapi Cepi selalu dielu-elukan sebagai sosok “panutan.” Dia cantik, pintar, dan punya segala yang diinginkan banyak orang.

Aku bertanya-tanya, apa sebenarnya yang salah denganku? Mengapa mereka yang selalu membuatku merasa jongkok justru memiliki segalanya? Apakah dunia ini memang bukan untuk Arka, si bolong?

Sore di awal bulan Maret, aku tak sengaja mendengar percakapan Arman di lapangan basket. "Aku capek banget, bro. Ibuk sama Ayah tiap hari ribut soal uang. Kadang aku pengen mereka cerai aja."

Aku tertegun. Jadi, hidup Arman juga tidak seindah yang terlihat?

Lalu, di sudut lain, aku melihat Cepi duduk sendirian di taman belakang sekolah. Dia menangis sambil memegang ponselnya. Aku ingin mendekat, tapi takut. Tapi dari kejauhan, aku mendengar bisikannya, "Aku capek harus pura-pura jadi sempurna..."

Hari itu, aku belajar sesuatu. Mereka, para pembuli yang tampak selalu berdiri lebih tinggi, sebenarnya juga jatuh—dalam cara mereka sendiri. Mereka memakai topeng keberhasilan untuk menutupi luka yang mungkin lebih besar dari milikku.

Tapi apa bedanya? Luka mereka tak pernah membuat luka-lukaku sembuh. Anehnya walaupun mereka juga jatuh, mereka jatuh di atasku. 

Meski begitu, aku berfikir jika hidup adalah panggung, biarkan mereka berdiri di atas. Aku akan bergeser dan mencoba berdiri, aku tak ingin naik jika itu berarti harus menginjak orang lain. 

Arka, si bolong tidak akan pernah balas dendam. 

Dan hari itu, si bolong yang jongkok akan berdiri dengan senyuman.


Karya: Shihatud Diniyah

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak