Ilustrasi kampus hijau. Sumber: Image Generate. |
lpmedukasi.com - Sungguh, tak pernah terbesit di benak seorang gadis yang berasal dari desa kecil, ia bernama Mutia. Mutia tidak pernah terpikirkan sama sekali bahwa ia akan menginjakkan kakinya lagi di kota yang bisa dibilang bikin rindu kalau ditinggal.
Mungkin, apakah rasa rindunya yang masih membekas yang membuatnya kembali lagi ke sini? Entahlah. Tidak ada wish list atau pun mimpi bagi Mutia untuk menempuh pendidikan di kota ini. Namun, ia teringat bahwa “ridho orang tua termasuk ridho Allah.” Sekeras apapun dia memaksa keadaan, kalau orang tua tidak meridhoi, akan terasa sulit, bukan?
Tak dipungkiri, sekarang Mutia menjadi seorang mahasiswa baru yang sudah sejak lama dibayangkannya. Bagaimana rasanya duduk di bangku kuliah, menjadi bagian dari agent of change nantinya? Berteman dengan teriknya panas matahari pada masa orientasi, di situlah Mutia menapaki langkah-langkah awal untuk menuju masa depannya. Ketika di tengah masa orientasi kampus, seorang teman menghampiri Mutia.
“Halo, aku Della. Bolehkah kita bareng terus sampai selesai kegiatan nanti?” celetuk tiba-tiba Della kepada Mutia.
Mendengar ucapan Della tadi, Mutia pun kaget. Dari awal, Mutia sudah overthinking dulu, apakah dirinya akan mempunyai teman.
“Hai Della, aku Mutia. Asyik nih, dapet teman, ehe,” jawab Mutia dengan keexcitedan.
Menyusuri kampus dengan disuguhi gedung-gedung megah di sekelilingnya, membuat Mutia masih tak menyangka dirinya bisa berada di kampus hijau peradaban.
Matahari pagi itu menandakan bahwa Mutia harus segera bergegas berangkat kuliah. Hari pertama dirinya menjadi mahasiswa baru. Ketakutan yang terbayang-bayang di pikirannya selalu membuat Mutia tidak percaya diri ketika berangkat ke kampus.
“Bagaimana ini, apakah aku bisa melewatinya?” batin Mutia yang selalu merasa cemas.
Sampailah di gerbang kampus, melihat para mahasiswa dengan look yang terlihat keren dan smart menambah rasa ketakutan Mutia semakin menjadi-jadi. Dengan langkah kaki kecil, Mutia pun tetap melanjutkan perjalanannya menuju ruang kelas.
Di tengah perjalanannya, Mutia bertemu lagi dengan Della.
“Eh, kamu Della itu, ya?” tanya Mutia kepada Della.
“Ketemu lagi, ya. Btw, apakah kita satu kelas?” sambung Della.
“Hmm, moga aja sih, ehe…” jawab Mutia dengan tawa kecilnya. Dan terjadilah obrolan-obrolan di antara mereka sembari melanjutkan perjalanan ke ruang kelas.
Mutia merasa dirinya satu frekuensi dengan Della, walaupun baru ketemu beberapa hari saja.
“Nanti selesai kuliah, main yuk!” ajak Della dengan semangat.
“Wah, boleh! Main kemana, ya?” ujar Mutia.
“Gimana kalau kita main tapi sambil nugas?” ajakan menarik Della kepada Mutia.
“Ide bagus tuh!” jawab Mutia dengan nada yang terlihat happy.
Sampailah di depan kelas, Mutia pun seketika terdiam dan berkeringat dingin.
“Ayo masuk, kenapa diam aja?” ajak Della.
“Sebentar, kamu duluan aja,” jawab Mutia dengan suara lirih dan tangan dingin.
“Ayo, slow aja, kita semua di sini sama aja, sama-sama cari ilmu,” tegas Della ke Mutia.
Dengan badan yang gemetar, Mutia membuka pintu dengan kepala menunduk. Berjalanlah dia di belakang Della, duduk di paling pojok belakang. Melihat kanan kiri dengan tatapan takut.
“Duh, kenapa aku ketakutan kayak gini?” perasaan Mutia yang ga karuan dari tadi.
Datanglah dosen ke ruangan dengan penuh senyum. Senyum dosen membuat Mutia sedikit tenang. Kebetulan, Mutia duduk berjauhan dengan Della. Terlihat tidak ada yang menyapa Mutia terlebih dahulu. Mau tidak mau, Mutia harus menyapa teman-temannya dulu. Sifat introvertnya membuat Mutia sedikit kesulitan untuk bersosialisasi dengan teman-temannya. Tetapi, kalau dia tidak memulai dulu, alhasil Mutia tidak punya teman.
“Kenalin, aku Mutia. Kamu siapa?” tanya Mutia dengan suara lirihnya.
“Hai, aku Memey. Nice to meet you, Mutia.”
“Kenapa kamu gemeteran gitu? Santai aja, oke?” tanya Memey ke Mutia.
Dan terjadilah obrolan-obrolan singkat di antara mereka. Di tengah obrolan, dosen memulai pembelajaran kelas dengan meminta mahasiswa memperkenalkan dirinya ke depan. Hal ini tentu membuat Mutia merasa tidak percaya diri, apalagi dirinya merupakan seorang introvert. Tetapi, Mutia teringat akan tujuan kuliah itu untuk apa dan dia melakukan ini untuk siapa. Dia mencoba rasa pesimis yang dimilikinya agar tidak terus-menerus membuatnya ketakutan ketika duduk di bangku kuliah. Membuktikan bahwa seseorang yang berasal dari desa kecil sekalipun bisa menempuh pendidikan sampai bangku kuliah.
Mutia pun maju dengan langkah penuh percaya diri, memulai perkenalan dengan sangat baik. Tepuk tangan serentak pun terdengar dari teman-temannya untuk Mutia.
Selesailah hari pertama kuliah. Seperti biasa, Mutia pulang bareng Della, dan kali ini ada Memey juga. Della mengajak mereka untuk main dulu sebelum pulang. Sampailah di sebuah kafe, terjadilah obrolan-obrolan sesama mereka.
“Mut, nggak nyangka kamu tadi keren banget!” rasa bangga Della ke Mutia.
Memey, “Keren lho, good job!”
“Gak ah, gak ada yang spesial, haha.”
“Eh, kalian mau join semacam organisasi nggak?” tanya Mutia.
“Kalau aku sih rencananya, biar nggak jadi kupu-kupu, kuliah pulang-kuliah pulang, hahaha,” jawab Della.
“Boleh sih, dengan berorganisasi skill kita bisa nambah. Ilmu dan pengalaman pasti lebih banyak kita dapetin di luar kelas, ya kan?” tambah Mutia.
Bisa bersosialisasi saja sudah menjadi hal penuh syukur bagi Mutia, apalagi dia terbesit untuk bergabung organisasi kampus, sesuatu yang tidak terbayang sebelumnya. Obrolan tadi terus berlanjut. Mutia ingin menjadi agen perubahan bagi kehidupan lewat pendidikan. Membuktikan bahwa siapapun itu bisa jadi apapun. Ingin memaksimalkan apa yang dimiliki, memperbanyak relasi pertemanan di kampus. Membuktikan bahwa seorang introvert itu bisa. Latar belakang bukan penghalang untuk berkembang dimanapun dia berada. Kisah kasih bangku kuliah ini akan menjadi bagian cerita hidup dari Mutia. Menyelesaikan apa yang telah dimulai adalah tanggung jawab Mutia, karena sejatinya, “hidup yang tidak diperjuangkan tidak akan pernah dimenangkan.”
SELESAI
Karya: Mukti Rahma